PEMBANTAIAN DI BEUTONG (ACEH)
Upaya
Pemusnahan Peradaban Muslim Paling Biadab Sepanjang Sejarah Indonesia
PEMBANTAIAN di Aceh semasa rezim Soeharto jauh lebih biadab dan kejam dibanding
kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah, karena mereka juga
membantai wanita dan anak-anak yang tak bersalah. Militer yang didatangkan ke
Aceh pada rezim Soeharto ini, lebih kejam bila dibandingkan dengan Abu Lahab
dan Abu Jahal pada zaman jahiliyah. Pada za-man jahiliyah yang dipelopori Abu
Jahal dan Abu Lahab pada waktu itu memburu Rasulullah untuk dibunuh. Pada suatu
malam, Abu Jahal dan Abu Lahab datang mencari Rasul di rumahnya. Ternyata
Rasulullah tidak ada, yang dilihat hanya Sayidina Ali yang sedang tidur di
tempat pembaringan. Kedua pelopor jahiliyah itu, ternyata sedikitpun tidak mengusik
Sayidina Ali dan keluarganya. Setelah mengetahui Rasulullah tidak bera-da di
rumah itu mereka lalu pergi mencarinya ke tempat lain. Sementara Sayidina Ali
sendiri bersama keluarga diketahui sebagai pejuang pembela Rasulullah.
Peristiwa tersebut menggambarkan, bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab tidak membunuh
dan mengusik orang lain yang bukan divonis mati oleh kelompok kafir Quraisy.
Kualitas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh
sebagai hal yang luar biasa. Kejahatan ini juga terencana, terorganisir, dan
sistematis. Di antara data yang diserah-kan pegiat LSM kepada Komnas HAM antara
lain, ada korban yang diculik, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di
depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya.
Beberapa bagian bentuk kejahatan itu, ada kemiripan dengan modus operandi
penculikan aktivis prodemokrasi yang melibatkan Kopassus di Jakarta.
Peristiwa
pembantaian, penyiksaan, perkosaan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan
militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh
bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti
Belanda dan Jepang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer,
misalnya ada wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan
kabel, ada pula yang diperkosa di depan anaknya, telinga disayat dan ditetesi
jeruk nipis, kepala dipukul dengan balok lalu dikuliti di depan anaknya, kepala
digantung dan dipukuli dengan kayu, leher digorok dan kepalanya ditenteng, dan
suami dipaksa keluar dari rumah sementara istrinya ditelanjangi lalu diperkosa
sambil berdiri. Selain itu, ada pula yang ditelanjangi dan diarak sambil
disiksa di tengah keramaian pasar dan terakhir ditembak di depan massa.
Wanita
disetrum pada payu dara dan kemaluannya, giginya dicabut dengan tang, ditembak
dalam sumur, pria yang dibakar kemaluannya lalu disiksa dengan kabel dan gagang
cangkul, disalib dan ditembak, diseret pakai tali lalu didor, dipaksa
bersenggama sesama tahanan, tidak boleh menutup aurat saat shalat, ada juga
yang ditembak di atas pentas lalu diperton-tonkan, dikubur separoh badan lalu
ditembak. Yang ironisnya ada juga wanita yang diperkosa secara bergiliran dan
dimasukkan botol sprite ke dalam vaginanya, rumah dibakar, harta dijarah.
Itulah antara lain ber-bagai cara penyiksaan dilakukan militer terhadap rakyat
Aceh, sehingga para korban kini masih mengalami trauma berat.
Di tengah operasi yang berlangsung, terjadi serpihan-serpihan
peristiwa yang sangat sulit diterima oleh siapa saja yang masih mempunyai hati
nurani. Penyiksaan dan penjarahan terhadap “milik” perempuan yang berharga,
mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan justru dilakukan oleh aparat
yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya.
Tetapi, yang namanya bau busuk tidak pernah bisa ditutupi
selama-nya. Setidaknya
LSM, LBH, dan aktifis mahasiswa sudah mengawali mengungkapkan fakta tersebut,
bahkan langsung membawa korban ke Komnas HAM. Usaha pendampingan terhadap
korban sudah dilakukan. Namun sampai saat ini sebagian besar korban belum
tertangani. Sejak turunnya TPF DPR RI ke Aceh, sejumlah kasus perkosaan dan
pembunu-han terhadap perempuan juga dimulai terungkap dan menghiasi hala-man
muka surat kabar.
Kasus-kasus
dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami perempuan yang terjadi dari
ratusan kekerasan yang terjadi seputar diberlakukannya Daerah Operasi Militer
selama ini tidak pernah terungkap. Ada beberapa alasan yang menyebabkan
informasi ini tidak diketahui oleh masyarakat luas dan dunia internasional,
seperti:
1. Korban pemerkosaan terutama Aceh, sering dianggap aib
dan memalukan. Akibatnya korban atau keluarga selalu berusaha untuk menutupi
kejadian tersebut.
2. Adanya ancaman dari pelaku untuk “tidak mengungkap”
kejadian tersebut pada orang lain, kerena pelakunya aparat yang sedang bertugas
di daerah tersebut, membuat korban/keluarga selalu berada dalam kondisi
diintimidasi.
3. Penderitaan dan trauma yang dialami korban sangat
mendalam, sehingga sangat sulit bagi korban untuk menceritakan pengalaman
buruknya, apalagi kepada orang yang tidak terlalu dikenalnya.
4. Adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu terhadap
orang ataupun LSM yang mendampingi korban.
Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh pola
kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di Aceh, selama berlakunya Operasi
Militer.1
Dari pemaparan fakta di atas dapat dilihat betapa
kejamnya perla-kukan kekerasan oleh aparat terhadap kaum perempuan. Beberapa
diantaranya korban meninggal dunia, beberapa yang lain berada dalam kondisi
fisik dan psikologi yang sangat berat. Sampai saat ini jumlah korban yang
mengalami perkosaan, pelecehan seksual dan pembunuhan belum sepenuhnya terdata
lengkap. Data di atas, hanya contoh kasus dari berbagai bentuk kekerasan yang
dialami perempuan akibat pemberlakuan Daerah Operasi Militer baik secara langsung
dan tidak langsung.
Ada data lapangan yang menunjukkan beberapa wanita Aceh
dihamili aparat keamananan selama DOM, bahkan ada yang sudah punya anak.
Wanita-wanita malang ini mencemaskan kalau pasukan ditarik, yang menyebabkan
anak mereka tak (lagi) punya ayah. Dalam proses- proses begini, selalu ada
pemerkosaan dan ada anak yang dilahirkan oleh proses yang semacam itu, atau
adanya bentuk-bentuk penistaan kemanusiaan.
Di luar data hampir 2.000 orang yang dinyatakan hilang
sejak 1989, khusus di tahun 1998 ini sedikitnya ada 34 orang hilang di Aceh.
Mereka rata-rata dibawa ke Pos Sattis Kopassus. Karena baru diculik.
Kelihatannya masih berpeluang “diselamatkan”. Kalau penculiknya jelas dan
mereka dibawa ke mana, otomatis tinggal dilepaskan saja dari tempat
penye-kapannya. Tempat-tempat penyekapan di seluruh Aceh merupakan bukti
tentang adanya operasi militer di Aceh.
Masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang dibuat ketakutan
sekian tahun. Secara otomatis, pemulangan mereka yang masih dimungkinkan dari
tempat-tempat yang begitu, menjadi bagian dari rehabilitasi situasi ketakutan
masyarakat. Yang prinsipil saat ini tidak saja ABRI, tapi juga pemerintah
daerah (Pemda) punya kewajiban untuk mengembalikan situasi ini. Merehabilitasi
kondisi ketakutan-ketakutan masyarakat. Ter-masuk di beberapa daerah lain bahwa
ini tidak saja termasuk penghi-langan orang, tapi juga diikuti dengan
penghilangan harta, penjarahan, bahkan pembakaran rumah. Rehabilitasi itu
mencakup juga ganti rugi barang-barang yang dirampas aparat dari masyarakat,
tanah, kendaraan, perhiasan, uang, dan sebagainya, serta menjadi bagian dari
proses rehabi-litasi yang bertahap dan harus dilakukan.
Rehabilitasi terhadap fisik korban secara langsung,
misalnya ada yang cacat, terluka, dan sebagainya. Harus ada upaya pemerintah
untuk mela-kukan itu. Pemerintah harus mengumumkan secara terbuka siapa-siapa
saja yang menjadi korban kekerasan ini untuk mendaftar di rumah
sakit-rumahsakit untuk diberi pengobatan gratis, untuk menunjukkan itikad
pemerintah memperbaiki kondisi atau merehabilitasinya. Hal yang demikian akan
membawa dampak psikologis juga terhadap proses pemu-lihan di masyarakat.
Kasus orang hilang di Aceh sama dengan kasus penculikan
aktivis prodemokrasi di Jakarta. Digunakan cara-cara pelaku penculikan selama
ini banyak dilakukan pemerintahan Soeharto. Umpamanya, korbannya di-pressure,
ditekan, dan dianiaya, setelah itu dibunuh dan mayatnya dibuang dengan keadaan
fisik yang rusak, serta wajah yang sukar diidentifikasi lagi, agar masyarakat
atau keluarganya tidak dapat mengenalinya lagi.
Mungkin setelah di luar ada yang dihabisi, tapi itu yang
seharusnya tak boleh terjadi. Maka, yang terbaik adalah pelepasan secara
formal. Dimulai, misalnya, ABRI membuat daftar tentang orang dan keadaan mereka
yang berada di tempat-tempat penyekapan itu. Kemudian, mengundang
keluarga-keluarga mereka dan tempat (lembaga-lembaga) di mana mereka selama ini
mengadu, untuk menyerahkan mereka yang diculik. Termasuk menjelaskan secara
jujur kalau di antara mereka ada yang sudah meninggal kepada keluarganya
masing-masing. Dan ABRI menyatakan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang
sudah meninggal tersebut. Pelepasan dengan pola pembebasan aktivis di Jakarta
malah menambah masalah pelanggaran hak asasi. Jangan sampai penyelesaian
masalah ini malah membuka ruang bagi pelanggaran HAM lainnya. Bentuk-bentuk
kekuasaan, pressure, dan lain-lain, haruslah dihindari.
Yang sekarang jadi persoalan, peta persoalan akibat dari
semua proses yang terjadi di Aceh sejak 1989 itu belum terekam dengan baik.
Baik oleh ABRI sendiri, maupun oleh masyarakat. Saya kira, saat ini kalau
memang pemerintah beritikad baik memperbaiki kondisi di Aceh, secara otomatis
mereka memiliki kewajiban membangun ruang rasa aman masyarakat agar persoalan ini
lebih menjadi mudah untuk lebih terbuka. Sebab, jika masyarakat masih ketakutan
untuk memberikan informasi, sepanjang situasi ketakutan masyarakat masih belum
mampu dikubur, maka kita masih akan menghadapi hambatan-hambatan proses
pertanggung-jawaban. Dengan begitu, pencabutan DOM masih terlalu formil untuk
dinilai sebagai suatu keputusan politik yang berarti, sebelum situasi itu
diikuti dengan perbaikan kondisi masyarakat Aceh.
Pernyataan-pernyataan yang berbau mengancam, mestinya itu
tak dilakukan lagi, karena hal itu bagian dari proses menghambat perbaikan
kondisi di Aceh. Dari hasil investigasi LSM dan laporan keluarga korban,
ternyata banyak anggota masyarakat yang dimobilisir ABRI ikut operasi,
sekaligus sebagai tameng saat ABRI berhadapan dengan GPK. Ketika mereka
terbunuh, tak pernah dipertanggungjawabkan.
Satu hal yang mendasar yang terjadi di Aceh, bahwa yang
terjadi di sini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Berbagai pelanggaran HAM
selama berlangsungnya operasi militer di Aceh seperti yang belakangan ini
terungkap benar adanya, maka itu tergolong kejahatan luar biasa dan menjurus
pada pemusnahan peradaban etnis Aceh.2 Dia tidak termasuk hukum perang, karena
di Aceh tidak ada perang. Kejahatan terhadap kemanusiaan secara otomatis harus
dipertanggung-jawabkan oleh pemerintah yang mengambil keputusan untuk kemudian
menimbulkan ruang bagi orang untuk melakukan berbagai kejahatan bagi
kemanusiaan. Maupun terhadap individual yang kemudian menim-bulkan
persoalan-persoalan mendasar lainnya. Lagi pula, gara-gara DOM ini, bukan saja
militer yang melakukan itu, tapi juga banyak orang yang memanfaatkan situasi
DOM itu untuk, misalnya, memperoleh akses ekonomi dan sebagainya. Dan ini semua
harus dipertanggungjawabkan. Tapi, tetap bukan hukum perang.
Tapi,
bukan berarti mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan itu tidak
bisa dikenakan sanksi, yang di dunia internasional, apa yang disebut dengan
istilah dipersona non-gratakan atas suatu tindakan yang dianggap melanggar
kemanusiaan. Ini seperti yang dilakukan terhadap Sintong Panjaitan. Beliau
dipersona non-grata di beberapa negara Eropa. Kalau dia ke sana akan ditangkap.
Yang penting, asal ada laporan dan pengaduan dari masyarakat.
Tapi, yang juga penting, karena hal ini merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan, sebetulnya warga Aceh, baik secara individual,
maupun melalui organisasi, bisa melapor resmi langsung atau melalui faks atau
surat, perorangan pun boleh, kepada Komisi HAM PBB. Bila itu disam-paikan,
komisi tersebut niscaya akan melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk
kekerasan di Aceh.
Sejauh ini, secara umum dikenal pembantaian para jenderal
dalam peristiwa G30S/PKI sebagai sesuatu yang sadis. Dibanding apa yang
terjadi di Aceh, sadisme yang terjadi di Aceh adalah kejahatan paling
tradisional, yang masih berlangsung di negara yang relatif berkehidupan modern
ini. Ini kejahatan paling kasar dan tradisional, cuma beberapa negara yang
masih melakukannya. Di Asia ini, yang terakhir mempraktek-kannya itu Burma.
Marcos saja di Filipina tak melakukannya. Kemudian, pernah ada di beberapa
negara Afrika dan beberapa negara Amerika Latin yang relatif tertinggal. Dan
Indonesia termasuk negara yang terting-gal dalam menjauhi tindak kejahatan
tradisional itu. Padahal, agama (Islam) mengajarkan bahwa membunuh satu orang
itu sama dengan membunuh seluruh isi bumi dan langit. Itu artinya, kejahatan
kemanusia-an itu nilainya sangat tinggi.
Dengan pernyataan pencabutan DOM di Aceh oleh Pangab di
Lhok-seumawe, para janda yang suaminya diduga diculik aparat keamanan di daerah
itu berharap agar suami mereka bisa dikembalikan. Kalau ia sudah dibunuh,
hendaknya bisa diketahui di mana kuburnya dan memin-ta pemerintah mengusut para
pelakunya, ujar beberapa janda asal Lhoksukon3 melalui LBH Iskandar Muda dan
LSM YAPDA Lhokseumawe. Seperti diakui seorang ibu rumah tangga Kasmawati (30)
warga Desa Matang Reudeup, Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara, ia berharap suaminya
Amiruddin (30) bisa menyaksikan HUT-RI ke-53 bersama anaknya. Saya tidak mampu
jawab pertanyaan anak yang ditinggalkan. Mereka tiap hari menanyakan ke mana
ayah pergi. Selama ini ia mengaku hatinya tersiksa dan terpaksa menangis. Ibu
rumah tangga yang sekarang tinggal bersama anaknya di gubuk reot tiga kilo
meter bagian timur Kota Lhoksukon, didampingi Direktur LSM-YAPDA Sugito Tassan
Lhokseumawe mengatakan, pertama suaminya di jemput petugas ke rumah. Tapi, kala
petugas datang, kata Kasmawati, korban tidak di rumah, lantas petugas
berinitial IRF, menitip pesan pada kepala lorong jika ia sudah pulang segera
datang ke pos penculik. Begitu suaminya Amiruddin pulang dari kerjanya sebagai
petani, kata Kasmawati, korban mendapat kabar dari kepala lorong M Yusuf bahwa
ada pesan dari petugas Kopassus. Setelah dapat kabar itu, korban mendayung
sepeda langsung datang ke pos Matang Ubi Lhoksukon menjumpai oknum itu. Namun,
beberapa jam kemudian korban pulang ke rumah menitip sepeda, kala itu ia
didampingi seorang petugas berpakaian preman dan kepada isterinya korban
memberitahukan ia dibawa Kopassus ke Pos Alue Bilie, Kecamatan Baktia
Pantonlabu.
Sejak korban dibawa ke Pos Alue Bili 30 Maret 1997, kata
Kasmawati, sampai sekarang belum pernah pulang ke rumah. Tiga hari setelah ia
dibawa ke Pos Kopassus Alue Bili, Kasmawati datang sekaligus membawa pakaian
dengan harapan bisa ketemu dengan Amiruddin. Seorang petugas berinitial IRF
yang dijumpai di pos tersebut tidak tahu ke mana korban dibawa, tapi IRF
mengaku pernah memesan Amiruddin ke pos lewat kepala lorong, tapi tidak datang
ke pos, mungkin ditangkap orang lain, kata Kasmawati meniru ucapan oknum IRF
didampingi Direktur YAPDA Lhokseumawe. Ia yakin yang mengambil itu aparat
keamanan. Karena, korban sendiri ketika minta pamit memberitahukan dan
dikuatkan keterangan kepala lorong, kata Kasmawati. Bahkan, wanita hitam manis
itu punya firasat bahwa suaminya masih hidup, tapi ia berada dalam tahanan
petugas dan selama korban dijemput, ia pernah bermimpi tiga kali seolah-olah
korban pulang ke rumah bersenda gurau dengan anak-anaknya. Selama suaminya
ditahan penculik, kata Kasmawati, pihaknya bersama anak bersandar hidup pada
orang tuanya. Bahkan, biaya sekolah dua di antara empat anaknya ditanggung
ayahnya yang sudah uzur itu, tak mungkin anak itu bisa melanjutkan sekolah ke
SMP nanti, kata Kasmawati menunjukkan wajah sedih. Selain Kasmawati, juga
beberapa janda lainnya di desa Matang Reudeup Lhoksukon, yakni Ny Rukiyah (35).
Isteri M Yusuf Husen itu mengisahkan bahwa suaminya dijemput petugas tahun 1991
lalu, sampai sekarang belum diketahui nasibnya.
Pemda Aceh berjanji akan terus membina dan menyantuni para
keluarga korban orang hilang dan tindak kekerasan akibat operasi militer yang
berlangsung di daerah ini sejak 1991.4 Hal itu dikemukakan gubernur seusai
membuka Masa Sidang ke-2 1998/1999 DPRD Tk I Aceh di Banda Aceh. Pemda
mengakui, masih banyak para janda dan anak yatim dari keluarga korban yang
perlu mendapat perhatian, baik moril maupun meteril, sehingga para janda dan
anak yatim tidak merasa tertekan batinnya. Meski jumlah janda dan yatim belum
diketahui persis, namun Pemda Aceh akan terus berupaya membantu para keluarga
korban akibat operasi meliter di daerah ini, terutama para janda dan anak-anak
mereka yang telah menjadi yatim. Data sementara yang berhasil dihimpun Forum
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh menyebutkan, jumlah janda akibat operasi
militer di daerah ini mencapai sekitar 1.480 orang, sedangkan anak yatim
sekitar 6.000 orang.
Penderitaan panjang yang dialami telah meninggalkan
luka-luka yang kasat mata
karena merupakan luka fisik, atau luka-luka dalam jiwa yang sulit untuk dipandang,
apalagi diraba. Trauma psikis yang dialami para korban DOM, baik laki-laki atau
perempuan, tua atau muda, bahkan anak-anak, terjadi karena berbagai peristiwa
yang secara langsung maupun tidak langsung dialami, dilihat, didengar, atau
bahkan dirasakan. Seorang srikandi Aceh, sarjana psikologi, Nurjannah Bachtiar
Nitura, mengungkapkan bahwa trauma psikis yang dialami oleh mereka yang
langsung mengalami-nya tentunya lebih berat. Namun, tidak menutup kemungkinan
trauma psikis tersebut juga dapat terimbas pada mereka yang secara tidak
langsung meng-alaminya. Hanya Nurjannahlah yang menyumbangkan ilmu psikologinya
untuk Aceh bagi rehabilitasi mental-psikis rakyat yang sudah sangat menderita
ini. Sebagai contoh, Sum yang menjadi korban perkosaan oknum aparat tentu akan
mengalami trauma psikis yang berat. Namun, gadis-gadis yang tinggal di sekitar
Sum juga dapat terimbas kecemasan karena jiwanya, harga dirinya sebagai wanita,
eksistensinya, dan sebagainya terancam. Situasi yang serba mencekam,
menakutkan, fitnah, ekspose kekerasan, dan ketidakadilan, menghadirkan sebuah
situasi ketidakpastian dalam kehidupan seseorang. Hal ini akan mempengaruhi
kondisi psikis seseorang sehingga ia merasa serba tidak pasti dan terancam
keselamatannya.
Yang
jelas dalam situasi demikian, peluang timbulnya kekacauan mental (mental
disorder) semakin tinggi.5 Bentuknya antara lain:
1. Neurosa histerik ditandai dengan hilangnya fungsi
mental atau fisik tanpa dikehendaki. Manifestasi gangguan ini dapat berupa
reaksi konversi yang merupakan konversi kecemasan dalam bentuk gangguan
fungsional syaraf, misal: lumpuh, tuli, buta dan lain-lain setelah mengalami
pengalaman traumatis. Namun, dapat juga berupa reaksi disosiasi di mana
beberapa fungsi kepribadian terpisah satu dengan yang lain. Sebagai contoh
pecah kepribadian, berusaha melupakan traumanya hingga terjadi amnesia.
2. Neurosa phobia ditandai dengan ketakutan yang hebat
terhadap sesuatu yang pernah menghadirkan pengalaman traumatis pada dirinya.
Misalnya seorang gadis yang diperkosa menjadi takut dengan laki-laki atau
seseorang yang menyerupai laki-laki (misal gadis tomboy).
3. Neurosa depresif merupakan suatu gangguan perasaan
dengan ciri-ciri harga diri rendah, murung, kurang bersemangat, menyalahkan
diri sendiri, apatis. Bahkan, pada kondisi tertentu ada keinginan untuk bunuh
diri.
4. Paranoid dicirikan dengan adanya kecurigaan yang
tinggi dan rasa bermu-suhan yang hebat.
5. Beberapa gangguan seksual, misalnya vaginismus
(ketegangan otot vagina sehingga perempuan tak dapat berkoitus secara normal
dengan suaminya), frigid (dingin), dan lain-lain akibat diperkosa atau disakiti
pada kemaluannya (dise-trum).
6. Gangguan psikis lainnya, baik jenis neurosa (mengenai
sebagian kepri-badi-an, temporer, tidak melukai diri sendiri atau orang lain,
peluang kesembuhan masih tinggi) atau bahkan psikosa (mengenai seluruh
kepribadian, terus-menerus dan penyakitnya progresif, dapat memba-hayakan diri
sendiri atau orang lain, sering hilang orientasi terhadap lingkungan dan
kesembuhan permanen jarang sekali) yang pada kesempatan ini tak mungkin
disebutkan satu per satu.6
Di antara 10 Dati II di Aceh, Pidie diperkirakan memiliki
jumlah janda tertinggi. Hasil sensus penduduk terakhir (1990), jumlah janda di
Pidie mencapai angka 23.366 orang, yakni 5,5 % dari jumlah penduduknya waktu
itu. Dan, dalam tahun 1991 yang sedang marak operasi militer untuk memberantas
gerombolan pengacau itu pula, tingkat pertumbuhan penduduk Pidie anjlok
drastis, dari rata-rata 1,4 % per tahun menjadi 0,4 %.7 Sayangnya, Kantor Statistik
Kabupaten Pidie tak mendata jumlah janda ini secara rutin tiap tahun. Angka
jumlah cerai mati dan cerai hidup ini hanya didata pada setiap sensus penduduk
secara nasional sepuluh tahun sekali. Sensus terakhir tahun 1990. Angka 23.366
janda di Pidie yang didata sampai akhir 1990 itu, meliputi 19.498 janda cerai
mati, dan 3.868 janda cerai hidup. Jumlah janda cerai mati tersebut bukan
semuanya janda korban operasi militer, termasuk jumlah janda akibat kematian
biasa, atau penyebab lain. Tapi, akibat operasi militer yang mulai gencar pada
1990 memang telah mendongkrak jumlah janda di Pidie. Juga pada operasi 1991,
janda cerai mati meningkat hingga totalnya melampaui jumlah 24.000 janda. Data
akurat menyangkut janda korban operasi militer sendiri hingga kini belum
terdata. Yang menarik, pertumbuhan penduduk di Pidie pada tahun 1990 dan 1991
hanya 0,4 %. Padahal, masa itu, di tingkat nasional pertumbuhan pendu-duk
Indonesia rata-rata 2 % per tahun.
Rendahnya angka pertumbuhan penduduk di Pidie pada dua
tahun itu memang bukan merupakan keberhasilan KB. Melainkan, besar kemungkinan
karena angka kematian lebih besar dibandingkan jumlah kelahiran, disamping
faktor budaya merantau di kalangan masyarakat Pidie, baik ke luar negeri maupun
luar daerah. Angka kematian di Pidie baru didata mulai 1996.8 Pertumbuhan yang
hanya 0,4 % per tahun hanya ditemukan pada 1990 dan 1991. Sedang-kan pada
tahun-tahun selanjutnya pertumbuhan rata-rata 1,4 persen. Jumlah penduduk Pidie
selama delapan tahun terakhir berturut-turut 421.377 jiwa (1990), 423.217
(1991), 433.011 (1992), 440.700 (1993), 446.654 (1994), 454.924 (1995), 457.547
(1996), dan 460.391 (1997).
Akibat banyaknya jumlah janda di Pidie, maka tak heran
perbandi-ngan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan terlihat cukup mencolok.
Pada 1990 terdapat 216.477 perempuan serta 204.900 laki-laki, dan pada 1991
217.608 perempuan serta 205.549 laki-laki. Sampai dua tahun terakhir pun tak
jauh beda. Pada 1996 terdapat 238.012 penduduk perem-puan serta 219.533
laki-laki, dan pada 1997 239.547 perempu-an serta 220.844 laki-laki. Jumlah
janda di Pidie merata di semua kecamatan. Peringkat enam teratas ditempati
berturut-turut Kecamatan Mutiara, Glumpang Tiga, Bandar Baru, Meuredu, Bandar
Dua, dan Kecamatan Pidie. Padahal, enam kecamatan ini tidak semua masuk enam
teratas dari segi jumlah penduduk.
Atas tingkah-laku sege-lintir prajurit ABRI selama
beroperasi di Aceh, perempuan Aceh belum bisa mem-aafkan semua peristiwa pedih
itu. Permintaan maaf harus diiri-ngi dengan menyantuni para janda, anak- anak
yatim, mere-hab dan membangun rumah-rumah yang dirusak dan dibakar serta
menghukum aparat-apa-rat yang bertindak di luar kepatut-an. Permintaan maaf
itu, juga tidak cukup dilakukan Panglima ABRI, tapi Pemerintah Daerah Aceh dan tokoh-tokoh
yang menghadirkan “DOM” di Aceh juga harus meminta maaf. Rakyat Aceh sejak
zaman perjuangan telah memberi sumban-gan yang luar biasa kepada bangsa dan
negara yang tercinta ini termasuk nyawa para syuhada yang memper-juangkan
kemerdeka-an dari tangan penjajah. Bila semua kita merenung-kan sumb-angan
rakyat Aceh itu, sama sekali tidak patut kalau orang Aceh diba-ntai disiksa
seperti yang terjadi pada era operasi militer digelar. Peristiwa pembantaian,
penyiksaan, dan perkosaan semakin pedih dirasa-kan karena hal itu dilakukan
bangsa sendiri. Inilah peristiwa pedih yang pelakunya harus dihukum. Meskipun
pencabutan DOM sudah dilaku-kan, perempuan Aceh masih harus terus berjuang
karena realisasi dari pernyataan itu belum dilak-ukan.
Kaum perempuan di Aceh ingin menikmati peringatan hari
kemerde-kaan dalam suasana penuh kekhusyukan tanpa ada pemaksaan-pemak-saan
dari siapa pun. Perempuan-perempuan Aceh biasan-ya merayakan hari kemerdekaan
pada 17 Agustus dengan men-ggendong anak dan membawa nasi bungkus turun dari
desa ke kota-kota kecamatan, tapi belakangan ini suasana me-mper-ingati hari
kem-erde-kaan dilakukan secara terpaksa karena adanya tekan-an. Terakhir ini,
banyak perempuan Aceh menggendong anak bukan merayakan kemerdekaan, tapi
mencari di mana suami dan ayah anak-anak mereka. Banyak sekali, istri
kehilan-gan suami dan anak-anak kehilangan ayahnya.
Forum Perempuan Aceh pada kesempatan itu menguraikan
sebagian kecil rincian peristiwa pilu yang dialami kaum wanita di daerah yang
diberlakukan operasi militer, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Dalam
sambutan tertulis yang dibacakan salah seorang peng-urusnya, Forum Perempuan
Aceh mengajak semua unsur bangsa ini untuk melihat apa yang terjadi pada
perempuan di Aceh terakhir ini. Ketika Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer,
atau apa pun istilahnya yang dipakai pemerintah, berbagai tindak kekerasan terjadi.
Penjarahan harta rakyat, penculikan, penganiayaan, pembakaran rumah tempat
tinggal bahkan pembu-nuhan. Di tengah operasi, terjadi serpihan-serpiha-n
peristiwa yang sangat sulit diterima siapa saja yang masih mempunyai hati
nurani. Penyiksaan dan penjarahan terhadap “milik” perempuan yang sangat
berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai ke pembunuhan justru dilakukan
aparat yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya. Tetapi, yang namanya
bau busuk tidak pernah bisa ditutupi selamanya. Paling tidak, mereka yang
berada dalam forum LSM, LBH, dan aktivis mahasiswa sudah mengungkapkannya,
bahkan ada korban yang lang-sung dibawa ke Komnas HAM.
Apa yang tak biasa dilakukan Soeharto ketika menjabat
Presiden RI tujuh periode, kini dilakukan Presiden BJ Habibie. Kepala Negara
yang menggantikan Soeharto itu menyampaikan penyesalan sedalam- dalamnya atas
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di beberapa daerah pada masa lalu, yang
dilakukan oknum petugas dalam operasi mengha-dapi gerakan separatis.
Seluruh masyarakat merasa prihatin dengan terjadinya
pelanggaran terhadap harkat dan martabat warga negara dan kemanusiaan tersebut.
Pimpinan ABRI harus melakukan penyelidikan seksama atas kejadian itu dan
mengajak semua pihak, khususnya pemuka agama dan pimpinan masyarakat,
mendukung, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya pada ABRI dalam meneliti
peristiwa tersebut sekaligus menyelesaikannya secara hukum. Pemerintah,
termasuk pimpinan ABRI, bertekad bahwa kejadian itu tidak terulang dan
menjadikan prinsip HAM sebagai tolok ukur dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. HAM adalah komitmen bangsa untuk menghormati harkat
dan martabat manusia, terlepas dari agama, ras, etnik, warna kulit, jenis
kelamin atau status sosialnya.
Wakil Ketua DPR/MPR Ismail Hasan Metareum yang juga putra
asli Aceh menyambut baik permohonan maaf Presiden Habibie atas terja-dinya
pelanggaran HAM di berbagai daerah, termasuk di Aceh. Tapi, permohonan maaf itu
tidak berarti menggugurkan upaya pengusutan atas pelanggaran HAM yang terjadi.9
Terhadap permohonan maaf Habibie itu, Ismail Metareum mengomentari, “Itu bagus,
paling tidak perasaan para keluarga korban bisa terobati,” kata sarjana hukum
yang akrab dipanggil Buya itu di Jakarta. Presiden Habibie dalam pidato kenegaraan
di DPR/MPR antara lain menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas
terjadinya pelanggaran HAM di beberapa daerah pada masa lalu, yang dilakukan
oknum aparat dalam operasi mengha-dapi gerakan separatis. Metareum menyatakan,
pelanggaran HAM yang dilakukan oknum aparat di Aceh, sehubungan dengan
dinyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989-1998, telah
menimbul-kan banyak korban.
Pelanggaran HAM yang telah terjadi perlu terus diusut dan
ditun-taskan. Kemudian, terhadap keluarga korban, misalnya anak-anak yatim atau
janda-janda korban pelanggaran HAM tersebut juga perlu dilindungi dan dijamin
kesejahteraan hidupnya. Rakyat Aceh sangat membutuhkan rasa keadilan, keamanan,
kesejahteraan, serta tidak merasa terancam lagi dengan kehadiran aparat
keamanan di daerah itu. Perlu pendekatan psikologis kepada rakyat Aceh agar
mereka merasa aman hidupnya, tidak lagi dihantui oleh berbagai rasa cemas dan
ketakutan. Permintaan maaf pemerintah sudah termasuk dalam kasus orang-orang
yang hilang di Aceh, meskipun tidak secara gamblang disebutkan. Kasus Aceh ini
kan faktanya lebih besar dari kasus-kasus orang hilang selama Orba. Yang
diinginkan kelanjutannya adalah langkah konkret melakukan pengadilan terhadap
oknum-oknum yang bersalah.
Menurutnya, FKP tidak saja menginventarisir orang-orang
yang hilang, tapi juga menginventarisir oknum-oknum yang melakukannya. Hasil
inventarisir FKP terhadap oknum-oknum yang melakukan baru sementara, jadi belum
final. Dengan data-data yang kami kumpul, kami ingin melihat orang-orang itu
diadili,” kata Suriansyah tanpa menyebut oknum dari kesatuan mana. Suriansyah
berpendapat, selain pemerintah wajib memberikan santunan kepada keluarga korban
ekses dari DOM, seharusnya dibentuk yayasan yang khusus menangani korban-korban
Aceh. Pemerintah harus membentuk yayasan itu, sehingga penyaluran dananya
melalui yayasan tersebut. Mengenai apakah Hubda FKP Aceh akan menyampaikan ini
kepada DPP Golkar untuk membantu, menurut-nya, itu bukan masalah Golkar saja,
karena kasus Aceh sudah menjadi masalah bangsa. “Jadi, semua pihak harus
memikirkan, karena korban Aceh yang paling banyak. Otomatis negara harus
bertanggung jawab. Negaralah yang harus bertanggung jawab terhadap keluarga-
keluarga korban. Pemerintah tidak cukup hanya dengan minta maaf. Secara
politis, pernyataan Presiden Habibie sudah benar mengungkapkan hal itu di
hadapan Dewan. Seharusnya lebih detail lagi dengan menindak lanjuti suatu
program pengusutan, misalnya, kasus orang-orang hilang di Aceh, pemerintah
harus buktikan, jangan mau pemerintah difitnah. Kendati hal itu dilakukan
pemerintah yang lalu, tapi pemerintah harus diminta pertanggungjawaban, kalau
pemerintah mau menegakkan HAM secara total.
Pernyataan
permohonan maaf secara terbuka dari Presiden BJ Habibie atas berbagai
pelanggaran HAM selama ini merupakan sesuatu yang baik. Jika ada pernyataan
terbuka seperti itu, meski dinilai merupakan hal yang wajar, namun dalam era
reformasi seperti ini jelas menunjukkan sesuatu yang baik. Mengapa pernyataan
permintaan maaf itu dinilainya wajar, karena sebelumnya Panglima ABRI
Wiranto—ketika mengumum-kan pencabutan soal Daerah Operasi Militer (DOM)—secara
terbuka juga menyatakan permintaan maaf mengenai hal itu. “Tapi, kalau
kemu-dian ada penegasan lagi dari Presiden, jelas itu merupakan sesuatu yang
baik,” kata kandidat doktor yang kini sedang melakukan penelitian tentang
hubungan Islam dan ABRI itu. Ia mengatakan, bisa jadi perminta-an maaf yang
disampaikan secara terbuka itu merupakan suatu wujud mengenai banyaknya
tuntutan tokoh kritis tentang perlunya permintaan maaf dari pemerintah atas
berbagai pelanggaran HAM di masa lalu. Tak kalah sengitnya adalah tuntutan dari
pegiat LSM di Aceh. Sementara itu, dua pengamat politik, Dr Indria Samego dari
Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, dan Dr Joshep Kristiadi dari CSIS,
berpendapat senada bahwa pidato Presiden Habibie itu memerlukan pembuktian
dalam bentuk implementasi kebijakan politiknya sehingga benar-benar dipercaya
rakyat. Menurut Direktur Politik CSIS Joseph Kristiadi, dalam tataran verbal
harus diakui pidato kenegaraan Presiden memang selalu berusaha mengarah pada
hal yang ideal dan baik. “Namun, satu hal yang kini ditunggu rakyat adalah
apakah ada kesesuaian antara apa yang disam-paikan itu bisa menjadi kenyataan,”
katanya. Namun, doktor Ilmu Politik lulusan UGM Yogyakarta itu, tidak percaya
bahwa hal ideal yang baik dari isi pidato Presiden itu tiba-tiba langsung bisa
menjadi sebuah mukjizat. “Tentu tidak mungkin bahwa tataran verbal yang ideal
itu, tiba-tiba kemudian menjadi kenyataan semua. Tapi, di era reformasi ini
itulah yang ditunggu semua rakyat,” ujarnya.
Ditetapkannya Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)
adalah suatu keputusan politik. Karenanya, pencabutan status DOM harus diikuti
dengan pertanggungjawaban politik, hukum, dan sosial-ekonomi dari pemerintah.
Untuk semua itu, maka Presidenlah yang paling bertanggung jawab.10 Yang paling
bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusia-an di Aceh selain Pangab adalah
Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Panglima Tinggi (Pangti)
ABRI. Sebab, sebagai sebuah keputusan politik, itu ada di tingkat Presiden.
Kalau kemudian secara teknis muncul persoalan-persoalan—pelanggaran HAM dan
hukum, serta perkosaan—di lapangan, bisa saja diusut oknum lainnya. Tapi,
pertanggungjawaban paling makro adalah keputusan memberlakukan sebagai daerah
operasi.
Pertanggungjawaban politik yang dimaksudkan adalah
pemerintah harus mengakui bahwa operasi militer di Aceh itu salah, kemudian
mengeluarkan daftar orang-orang yang menjadi korban operasi, serta mengumumkan
langkah-langkah apa yang diambil pemerintah dengan kesalahannya itu. Nyatanya,
sampai hari ini pemerintah belum melaku-kan pertanggungjawaban politik,
pertanggungjawaban hukum, apalagi pertanggungjawaban sosial. Pertanggungjawaban
hukum meliputi siapa yang paling bersalah dan siapa yang bertanggungjawab
secara hukum. Sedangkan pertanggungjawaban sosial menyangkut rehabilitasi
ekonomi bagi janda-janda dan anak yatim korban operasi militer.
Pemerintah belum melakukan pertanggungjawaban seperti
itu. Pencabutan DOM baru start awal dan harus ditindaklanjuti. Bila tidak, maka
ini tidak ada makna. Jadi, pencabutan itu hanya di tingkat formal, tapi di
tingkat riil kondisi masyarakat Aceh tidak ada perubahan secara substansial.
Apa yang terjadi di Aceh merupakan tragedi kemanusiaan yang telah merusakkan
sendi-sendi budaya manusia. Dalam bahasa lain, kasus Aceh adalah perusakan
peradaban. Golkar juga ikut memainkan peranan dalam tragedi di Aceh. Kemenangan
Golkar di Aceh tidak terlepas dari keterli-batan aparat militer. Ghazali memang
tidak menampik keberhasilan pembangunan di Aceh selama ini. “Namun, apakah demi
pembangunan lantas rakyat dizalimi, ditindas? Inilah yang kita tentang,” tegas
mantan “Abang Jakarta” yang duduk di Komisi I DPR RI ini. Pembicara lainnya HM
Kaoy Syah menceritakan secara singkat munculnya aksi sekelompok orang yang
kemudian dicap GPK. “Memang dulunya saya mendengar ada pos-pos polisi yang
diserbu, ada perampasan senjata dan lain-lain. Namun, apakah kemudian harus
menurunkan aparat sedemikian besar?” tanya mantan Wakil Ketua DPRD I Aceh ini.
Kuburan para korban pembantaian aparat keamanan semasih berlangsungnya
operasi militer di Aceh, mulai diungkapkan warga dua desa di Aceh Timur.
Diperkirakan, pada dua lokasi itu ditanam secara massal 50 korban pembantaian,
yakni di Desa Blang Gleum Arakundo, Kecamatan Sulok, dan di Desa Alue Ie Mirah,
Kecamatan Simpang Ulim.11 TPF ketika turun ke lokasi di Desa Blang Gleum,
persis di Dusun Meureubo kawasan kompleks PT Irwim, menangkap kesan bahwa
kawasan itu sangat angker.
Penduduk setempat saja tak berani mendekat ke sana.
Namum, hampir semua warga di situ tahu kalau di kompleks itu pernah ditanam
setidaknya 45 jasad korban keganasan oknum aparat antara tahun 1991-1993.
“Umumnya korban memang bukan penduduk setem-pat,” kata Ilyas, penduduk Desa
Alue Meuh, di lokasi tersebut. Bahkan, dalam kunjungan TPF ke lokasi PT Irwim,
berhasil ditemukan sehelai celana panjang warna abu-abu dan satu set rahang
gigi palsu yang berisikan 14 biji gigi. Satu di antaranya gigi perak. Gigi plus
celana panjang tersebut diperkirakan milik korban pembantaian oknum aparat
keama-nan yang kala operasi militer berlangsung tempat itu digunakan sebagai
camp pembantaian dan penyiksaan para korban. Beberapa penduduk kawasan itu
mengatakan, selagi aparat keamanan masih berkantor di PT Irwim, hampir tiap
malam terdengar suara ledakan senjata api. “Malah, banyak warga melihat para
tahanan dibawa ke lokasi itu dengan mata tertutup,” ujar M Kasem (45) penduduk
Arakundo, Kecamatan Julok Rayeuk. Warga memperkirakan selain ditanam di
kompleks perusa-haan itu, banyak juga yang dibuang ke tempat lain namun masih
dalam kawasan itu. “Beberapa penduduk juga pernah menemukan mayat di pinggir
jalan,” ujar Muhammad Amin, penduduk Desa Tanjung Tok Blang. Sementara, Teungku
Mustafa alias Teungku Nek, penduduk Desa Blang Gleum mengatakan, pihaknya
pernah memandikan dan menanam seorang korban pembantaian. Orang itu tak dikenal
dan ditemukan tewas dengan beberapa luka tembak, wajahnya sulit dikenal, tapi
diperkirakan warga Desa Simpang Paloh, Kecamatan Peureulak.
Jenazah
korban dikebumikan masyarakat di kebun milik Halimah Bansu Dusun Meureubo 50
meter dengan kompleks PT Irwim. Kuburan tersebut masih ditandai dengan pohon
Muku. Ketika menemukan celana panjang dan satu set gigi palsu di lokasi yang
sama, beberapa penduduk yakin, kalau gigi dan celana itu milik korban yang
terbunuh dalam operasi militer. Mengingat, lokasi itu tidak pernah didatangi
penduduk. “Kami tak pernah datang ke sini, kecuali karena Anda ajak,” ucap M.
Nur dan Hasni yang ikut bersama TPF ke lokasi yang angker itu. Lokasi kuburan
massal itu memang jauh dengan rumah penduduk, sehingga warga tak berani ke
sana, apalagi sekarang kawasan itu ditumbuhi hutan lebat.
Untuk itu Komnas HAM harus bersungguh-sungguh
mengungkap-nya, bahkan bila perlu dengan mempertaruhkan kredibilitas serta
independensi lembaga tersebut. Di tempat ini, tim berdialog dengan aktivis LSM.
Kemudian, tim yang dipimpin Lopa itu merancang jadwal serta sasaran kunjungan
berikutnya yang mereka rahasiakan setelah mening-galkan Banda Aceh menuju
Sigli.
Sebelumnya, Tim Lopa juga mengun-jungi Forum Peduli HAM
yang selama ini juga aktif menghimpun data orang hilang/korban tindak
kekerasan. Dari hampir 800 kasus yang terdata di kantor tersebut, Lopa lebih
tertarik pada kasus perkosaan, mengingat beberapa korbannya masih mungkin
ditemui oleh Tim Komnas HAM. Ibrahim (25), salah seorang korban penembakan
oknum militer pada Juli 1990 di Desa Teurucot, Kecamatan Geumpang, Pidie, yang
kebetulan sedang berada di Banda Aceh. Tanpa kesalahan yang jelas, ia bersama
empat warga lainnya—termasuk ayahnya—yang siang itu berada di sebuah kedai
dipaksa ke luar dan disuruh berbaris oleh petugas. Lalu, dari jarak kurang dari
10 meter, mereka dihujani peluru. Dua warga tewas di tempat, sedangkan Ibrahim
bersama ayahnya, serta seorang lainnya luput dari maut. Namun, di paha Ibrahim
sempat bersarang peluru yang kemudian dioperasi di RSU Dokter Zainal Abidin,
Banda Aceh. Bekas luka tembak di paha kirinya itu ia perlihatkan kepada Tim
Lopa dan difoto dengan cermat oleh Koesparmono Irsan. Melihat luka tembak yang
tak kecil itu Pak Koes geleng-geleng kepala. Apalagi, setelah mendengar cerita
Ibrahim bahwa tak lama setelah kejadian itu ayahnya meninggal karena
sakit-sakitan.
Data sementara yang sudah terhimpun sebagai ekses DOM di
Aceh sepanjang 1989-1998. Yakni 871 orang tewas di TKP karena tindak
kekera-san, 387 orang hilang kemudian ditemukan mati, 550 orang hilang, 368
korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 korban perkosaan.
Kalau diteliti intensif angkanya bisa mencapai dua atau tiga kali lipat.
Begitupun, karena data sementara itu saja sudah cukup besar, Komnas HAM hanya
memilih beberapa sampel untuk dicek ulang di lapangan. Untuk menghubungi dan
menemui semua korban dan saksi mata, adalah hampir tak mungkin, mengingat
jumlahnya demikian banyak, tersebar di tiga kabupaten (Pidie, Aceh Utara, dan
Aceh Timur) sedangkan Komnas HAM hanya tiga hari di Aceh. Itulah sebabnya,
mereka hanya memilih sampel kasus. Di antaranya mereka sepakati untuk bertemu
dengan hanya tujuh janda, 10 anak yatim dari 10 orangtua yang berbeda, dua
korban perkosaan, dua korban yang rumahnya dibakar/dijarah, dan dua kuburan
massal yang akan dibongkar oleh Tim Komnas HAM. Untuk pembongkaran kuburan
massal, dokter forensik dari Medan didatangkan ke Sigli, dan hadir serta
membuat berita acara mengenai pembongkaran dan apa-apa yang ditemukan di dalam
kuburan tersebut.
Tapi, untuk mempertautkan apakah benar pembantaian di
Aceh itu berkait langsung dengan apa yang dilakukan Kopassus di Jakarta di
bawah komando Prabowo Subianto, Lopa masih belum berani menyim-pulkannya. “Ya,
masih kita pelajari,” ujarnya diplomatis. Menurut Lopa, langkah klarifikasi
yang dilakukannya bersama anggota tim sangat penting untuk mengungkap apa yang
benar terjadi dan yang tidak terjadi selama operasi militer di Aceh. Mata dunia
dan harapan masyarakat internasional saat ini memang tertumpu pada Komnas HAM
untuk me-ngungkap Kasus Aceh ini sebenar-benarnya dan supaya tak perlu
menyangsikan itikad dan independensi tim yang dipimpinnya itu. Setelah ada
data, harus dianalisa, mengapa itu terjadi, lalu dilaporkan kepada pemerintah,
bahwa ini yang terjadi di Aceh. Yang terjadi di Aceh adalah pelanggaran HAM
yang sudah menjurus kepada pemusnahan perada-ban. Cuma, ia keberatan ketika
didesak untuk menggolongkan pembantai-an di Aceh ini sebagai tragedi Bosnia
kedua, semacam pembersihan etnis. “Tak usah bilang seperti Bosnia dululah.
Soalnya saya belum pernah ke Bosnia dan tak tahu persis bagaimana kejadian di
sana.
Saya itu tak mau omong kalau tak lihat. Makanya, harus
saya lihat dulu, baru saya omong. Tunggu sajalah hasil investigasi kami. Tapi,
yang jelas di Aceh, kalau apa yang sudah terungkap itu benar semua, ya kasus
Aceh ini luar biasa. Luar biasa.” Apa yang dikatakan Lopa itu juga diamini
Koesparmono Irsan. “Iya, ini luar biasa, luar biasa,” ujarnya yakin. Lalu, apa
yang bisa di-janjikan Komnas HAM dengan kedatangannya ke Aceh kali ini? “Kita
akan rekomendasikan kepada pemerintah untuk memulihkan kembali kondisi di Aceh
seperti semula, sebelum terjadi operasi militer,” jawab Lopa.
DOM, The Killing Field Aceh
DOM dengan Operasi Jaring Merah di daerah Aceh telah
diberla-kukan sejak tahun 1989 lalu, yang pada mulanya diperuntukkan
menga-mankan situasi dari tindakan suatu gerakan, yang disebut pemerintah
sebagai GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang selanjutnya disebut Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK) ini12 telah begitu kejam sehingga melebihi dari apa yang pernah
dikenal dalam sejarah Asia tenggara sebagai the killing field (ladang
pembantaian) di Kamboja. Namun sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata
telah terjadi bukan hanya pelang-garan hukum dan hak asasi manusia yang begitu nyata,
seperti tindak kekerasan/penyiksaan yang langsung maupun tidak langsung
dirasakan sendiri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban
religius yang sudah berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. Ironisnya
masyarakat yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan GAM atau GPK telah pula
menjadi korban. GAM adalah rekayasa politik Orde Baru untuk menghabisi umat
Islam di Indonesia. Bagi masyarakat Aceh, Operasi Jaring Merah/DOM menjadi
momok yang sangat mena-kutkan dan traumatik, sebab aparat ABRI cenderung
bertindak semena- mena terhadap rakyat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
GPK atau GAM, akan tetapi selalu direkayasa bahwasannya rakyat yang tidak
terlibat tindak kriminalitas apalagi melanggar hukum lainnya, pun dianggap
sebagai anggota gerakan tersebut.
Akibatnya, tindak kekerasan/penyiksaan atau penangkapan
tanpa prosedur atau penculikan atau pelecehan seks dan pemerkosaan, atau
penghilangan nyawa manusia maupun praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM
lainnya berlangsung hampir setiap saat. Beberapa contoh dari tindakan kekerasan
dalam bentuk penyiksaan melebihi penyiksaan terhadap binatang yang dihadapi
oleh rakyat Aceh dapat dilihat dengan penderitaan seorang anak yatim piatu
bernama M Yusuf (12 tahun), penduduk Desa Blang Talon, Kecamatan Kuta Makmur,
Aceh Utara, yang pada saat berumur 6 tahun ayahnya, Mustafa, telah disiksa oleh
tiga petugas berpakaian loreng hitam, di mana kepala sang ayah dikoyak sadis
dan dikuliti secara paksa, selanjutnya begitu saja dicam-pakkan ke dalam
kendaraan Kijang. Begitu juga halnya yang dialami seorang ibu muda bernama Nyak
Maneh13 Abdullah (35), selain diper-kosa, mendapat siksaan dengan cara payudara
dan kemaluannya disetrum, serta ditahan beberapa hari di pos Pinti I Tiro. Hal
sama dialami Muhammad Jalil, penduduk Desa Maneh, Kecamatan Geumpang Pidie,
yang telah ditembak petugas dan kepalanya ditebas hingga terpisah dengan
badannya, sebagaimana diuraikan oleh istrinya, Saodah Saleh (41). Tindakan
kekerasan/penyiksaan juga dialami seorang Kepala Desa Rengkam, Aceh Utara,
yaitu Aman Ismail, yang pernah ditangkap dan digebuki di pekarangan suatu
sekolah dasar, hingga mengalami muntah darah.
Contoh-contoh
di atas hanya sekelumit penderitaan rakyat Aceh yang mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan tidak manusiawi selama berlangsungnya Operasi Jaring Merah, dan
kemungkinan banyak lagi hal-hal yang pasti dialami oleh rakyat Aceh itu
sendiri. Apa yang dialami oleh Muslim Bosnia di Eropa ternyata juga terjadi di
Indonesia. Kalau di Bosnia dilakukan oleh Serdadu Biadab (Serbia), maka serdadu
biadab dari bangsa sendiri melakukan aksi yang sama di Aceh. Dari hasil
investi-gasi di lapangan maupun keterangan dari beberapa anggota masyarakat,
terdapat beberapa tempat yang disinyalir sebagai kuburan massal. Di tempat itu
diperkirakan dikuburkan mayat-mayat warga Aceh akibat tindak
kekerasan/penyiksaan selama ini. Menurut penuturan Teungku Ayub, seorang warga
Seureuke, Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara, dia melihat ratusan jenazah
bergelimpangan di dalam satu lubang yang kemudian dikenal sebagai Bukit
Tengkorak, terletak di Seurueke, Kecama-tan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara
(lebih kurang 60 km dari Lhokseu-mawe). Keterangan Teungku Ayub ini diperkuat
dengan keterangan salah seorang warga Desa Menye VII Kecamatan Matang Kulit,
bernama Adnan Kelana, yang menemui banyak mayat di sekitar Bukit Tengkorak
tersebut. Di sini terdapat mayat yang masih berdaging maupun yang tinggal
tulang-belulang saja. Penemuan mayat-mayat tersebut oleh Adnan Kelana karena
upayanya mencari mayat orangtuanya, Bem prang, dan tujuh warga lainnya, yang
telah dianiaya sebelumnya.
Selain Bukit Tengkorak, ada satu bukit lagi sebagai tempat
yang disinyalir dijadikan kuburan massal, yaitu Bukit Seuntang (5 km dari jalan
raya Medan-Lhokseumawe). Menurut salah seorang penduduk, di lokasi ini ada tiga
lubang yang belum ditutup dan dua lubang lainnya sudah tertutup. Adanya lubang
berisi mayat yang terdapat di daerah Alue, Aceh Timur, sebelumnya juga pernah
diberitakan oleh Reuters pada sekitar tahun 1990, namun berita tersebut tidak
pernah ditanggapi pemerintah.
Selain di kedua bukit tersebut, diperkirakan terdapat
kuburan-kuburan massal di tempat lainnya, seperti di Jalan Mobil Oil Industri
(MOI) Kecamatan Suka Makmur (27 km dari Lhoukseumawe), perkebunan PTP V Hutan
Seureuke, dan hutan Krueng Campli Pidie (30 km dari Lhoukseumawe). Juga di
perkebunan Alue Nireh (44 km dari Langsa) dan Sungai Tamiang, Aceh Timur (25 km
dari Langsa), serta jurang di Jalan Tangse Beurenun (20 km dari Sigli).
Terdapatnya kuburan massal di daerah Aceh sebagaimana hasil temuan tim pencari
fakta maupun dari hasil keterangan masyarakat, seharusnya ditindaklanjuti dengan
melakukan pembongkaran kuburan-kuburan tersebut, sehingga diperoleh kejelasan
dan kepastian atas diri mayat-mayat yang ada di dalamnya. Artinya, apakah
mayat-mayat tersebut termasuk korban kekerasan/penyiksaan akibat
diberlakukannya Operasi Jaring Merah/DOM atau bukan.14
Dengan
banyaknya orang hilang di Aceh, perlu dibentuk Tim Pencari Fakta yang
independen untuk menyelidikinya. Artinya, apakah hilangnya orang-orang tersebut
karena masih dalam tahanan,
dan kalau ditahan di mana rumah tahanannya, atau kalau
sudah menjadi mayat di mana tempat kuburannya, atau kalau berada di tempat lain
di mana tempatnya. Dalam era reformasi sekarang, hendaknya tidak terjadi tindak
diskriminasi menyangkut upaya pembebasan para tapol/napol yang telah dilakukan,
mengingat Aceh merupakan kawasan DOM yang sarat dengan pelanggaran HAM.
Berdasarkan daftar yang diperoleh, ada sebagian napol Aceh yang masih menjalani
hukuman atas tuduhan subversi. Para napol Aceh tersebar di beberapa lembaga
pemasyarakatan, yang ada di Banda Aceh, Langsa, Sigli, Bireuen, Takengon,
Lhokseumawe, serta Tanjung Gusta-Medan. Hendaknya pemerintah melalui Menteri
Kehakiman segera membebaskan para napol tersebut, sebagaimana yang telah
dilakukan terhadap para napol yang ada di Jakarta. Menjadikan suatu daerah
menjadi DOM memang belum pasti menyelesaikan masalah. Hal ini dapat
diperhatikan dengan DOM-nya Irian Jaya, Timor Timur, maupun Aceh.
Apalagi mengingat daerah Aceh lain dengan kedua daerah
tersebut, karena Aceh begitu kuat kultur keagamaan dan adat istiadatnya.
Seharus-nya untuk menyelesaikan permasalahan Aceh harus terlebih dahulu
memanfaatkan jasa para ulama, tokoh adat dan pemerintah setempat. Apa pun
alasannya, akibat diberlakukannya Operasi Jaring Merah dan dijadikannya DOM di
Aceh telah menimbulkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Dan menurut
pernyataan Komnas HAM, pelang-garan HAM di daerah Aceh lebih tinggi dibanding
di Irian Jaya maupun di Timor Timur. Konsekuensinya dari semua itu, pemerintah
melalui Panglima ABRI mengusut tuntas keberadaan aparat ABRI, yang diduga
melakukan tindak kekerasan/penyiksaan terhadap rakyat, serta memba-wanya ke
hadapan Mahkamah Militer. Artinya, tidak cukup hanya meminta maaf saja. Selain
itu, demi kepastian hukum, kuburan- kuburan massal harus segera dibongkar
kembali.
Menyangkut diberlakukannya Operasi Jaring Merah di daerah
Aceh, pelanggaran HAM di Aceh harus diusut tuntas terutama para pelaku dan
aktor intelektualnya. Dengan pengusutan secara transparan dan tuntas
pelanggaran hukum dan HAM di daerah Aceh, hal ini tidak akan menimbulkan
spekulasi yang dapat merugikan pihak ABRI dan/ atau tidak akan ada upaya balas
dendam dari generasi yang akan datang. Dunia internasional pun akan lebih
percaya terhadap negara kita ini, sebagai negara yang selalu memperhatikan
penegakan hukum dan HAM.
Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan penderitaan
rakyat di Aceh kecuali satu kata: biadab. Kalau di Kamboja dikenal dengan
istilah the killing field, maka di Aceh realitas ladang pembantaian itu adalah
“Bukit Tengkorak” yang jumlahnya sekitar 35 tempat, suatu jumlah yang melebihi
jumlah ladang pembantaian di Kamboja. Semoga saja kedepan tidak ada
lagi pembantaian di Aceh dan dimana pun!.
EmoticonEmoticon