Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan

Merawat Sejarah Tragedi Rumoh Geudong

RASA-RASANYA tidak ada orang yang darahnya tidak mendidih jika mengingat sejarah kelam masa konflik di Aceh. Yang dengan ragam tragedi mengenaskan terjadi di berbagai pelosok daerah di Aceh. Ada yang pada akhirnya diakui oleh Pemerintah sebagai sebuah pelanggaran HAM, ada juga yang dilupakan begitu saja. Seolah tindakan kekerasan masa konflik itu adalah hal normal.




Menyambut Kaukus Pemuda Pidie {Teras Emsyawall}

 Menyambut Kaukus Pemuda Pidie

 



Sudah puluhan tahun tidak melihat pemuda Pidie bersatu dalam sebuah kegiatan yang besar. Terlacak momentum terakhir padunya kesatuan pemuda adalah pada saat referendum Aceh, yang kala itu pemuda Pidie dengan semangat kesatuannya, menjadi yang terdepan bersama dengan pemuda dari beberapa kabupaten lain, guna menyuarakan aspirasi rakyat secara komunal berupa restu untuk menentukan self government untuk Aceh dari Pemerintah Pusat, laiknya restu yang diberikan pada masyarakat Timor Leste —dulu bernama Timor Timur.

Kini, sebuah kegiatan besar, bernuansa sosial-agama dilakukan oleh pemuda Pidie, dengan identitas yang dipanggul bernama Kaukus Pemuda Pidie.

Kaukus Pemuda Pidie merupakan sebuah forum persatuan pemuda yang masih sangat hijau di Pidie, yang lahirnya tepat pada pertengahan Oktober lalu,  di mana dalam Kaukus ini puluhan organisasi kepemudaan dan atau komunitas anak muda di Pidie bersepakat saling menyatukan diri. Hal ini juga didukung oleh hadirnya pemuka agama, tokoh masyarakat, akademisi dan intelektual muda Pidie.

Jika ditelisik, dengan menimbang proses bergabungnya puluhan organisasi kepemudaan di Kabupaten penghasil emping melinjo dalam Kaukus Pemuda Pidie ini, maka sedikit banyak kita dapat melihat akan kesamaan geraknya dengan proses lahirnya ikrar sumpah pemuda, pada oktober tahun 1928.

Kala itu sejumlah organisasi kepemudaan di Indonesia bersatu dalam kongres kepemudaan untuk menyuarakan kegelisahan akan pedihnya kehidupan penjajahan. Semua pemuda yang tergabung dalam perkumpulan yang dinamakan dengan kongres pemuda kala itu bersepakat untuk bersuara dengan visi yang sama, dengan muara pada penegasan perjuangan akan cita-cita; bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia.

Hasil dari duduk-kumpulnya pemuda inilah, yang pada akhirnya melahirkan sebuah semangat dengan dibarengi kalimat sumpah yang sakral; ikrar sumpah pemuda. Dan berangkat semangat itu pula, kita merasakan buah-manisnya berupa persatuan dan kemerdekaan bagi Nusantara dari penjajahan.

Nah, sedikit banyak kita dapat melihat gerak kesamaan pada lahirnya Kaukus Pemuda Pidie. Pertama, organisasi plat merah ini lahir di bulan Oktober dan kemudian kehadirannya berangkat dari fakta pemuda Pidie hari ini yang sudah terpecah konsentrasi sebagai kesatuan pemuda.

Kita harus mengakui jika pemuda di Pidie hari ini sudah tercerai ke dalam beberapa bagian dengan egoismenya masing-masing. Seturut dengan itu, antagonisme pada pemuda Pidie, sudah berimbas pada menurunnya eksistensi pemuda dan terciptanya ruang kontravensi, yang bahkan memuai hingga munculnya embrio konflik di tatanan anak muda Pidie.

Kita harus mengakui jika pemuda di Pidie hari ini sudah tercerai ke dalam beberapa bagian dengan egoismenya masing-masing. Seturut dengan itu, antagonisme pada pemuda Pidie, sudah berimbas pada menurunnya eksistensi pemuda dan terciptanya ruang kontravensi, yang bahkan memuai hingga munculnya embrio konflik di tatanan anak muda Pidie.

Hal yang tak bisa dimungkiri, fakta Komunitas Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pidie yang status keberlanjutan kepengurusannya masih dalam mode jalan di tempat, menjadi faktor pendorong pada terpecahnya pemuda Pidie sebagai sebuah kelompok yang utuh.

Dua tahun berjalan, tentu dengan berbagai dinamika, Pemuda di Pidie menunggu hasil dari kenduri politik di strata anak muda yang tak kunjung nampak hilalnya, dimana sebelumnya sempat tergagap-gagap di proses musyawarah daerah (Musda), dan kemudian berlanjut pula ke proses penetapan kepengurusannya yang turut mengalami hal sama; gelagapan.


Oasis Pemuda Pidie
Maka itu, dengan melihat hadirnya Kaukus Pemuda Pidie, menjadi semacam oasis bagi keruh keringnya eksistensi pemuda Pidie di mata masyarakat —juga di mata para pemuda kabupaten lain.

Berangkat dari itu pula, kita harus berani dan berbesar hati untuk berdiri dan mengangkat topi serta memberikan salam tabik kepada mentor atau aktor di balik latar lahirnya organisasi ini. Racikan ide dan gagasannya patut diacungi dua jempol!

Hari ini, Kaukus Pemuda Pidie sudah (dan tentu telah berhasil) menelurkan sebuah kegiatan berupa maulid akbar. Yang juga bersama dengan itu, kegiatan sosial lainnya berupa bakti sosial, santunan anak yatim, donor darah, diskusi kepemudaan dan doa bersama untuk ulama kharismatik Pidie, Abu Keune, juga dijadikan agenda pelaksanaan.

Tentu kita berharap, Kaukus Pemuda Pidie ini berumur panjang dan ajeg bersama dengan pemuda dan masyarakat Pidie secara umum. Selaras dengan itu, acara-acara yang tidak sebatas seremonial sosial-keagamaan, harus menjadi prioritas untuk dilaksanakan di masa akan datang.

Berbagai isu dan juga masalah sosial yang menyelimuti Pidie hari ini seperti kemiskinan, stunting, degradasi moral pada remaja, serta kualitas pendidikan yang masih rendah, harus menjadi pokok perhatian untuk dicarikan solusinya oleh dan di Kaukus Pemuda Pidie. 

Baca juga: Remaja dan Kecantikan Semu
Dengan demikian, Kaukus Pemuda Pidie, menjadi sebenar-benarnya Kaukus, yang dalam Kaukus itu, solusi terhadap problema sosial masyarakat, juga referensi kebijakan bagi pemerintah lahir mengemuka. Karena sesuai dengan akar katanya, Kaukus, berasal dari bahasa Algonquin —salah satu daerah bagian di Amerika Utara— dengan maknanya yaitu menasehati.

Tentu kita tidak berharap jika Kaukus Pemuda Pidie ini, hadirnya seperti purnama lima belas yang sinarnya makin kedepan makin hilang. Dan hadirnya hanya indah dipandang, tapi cahayanya tidak dapat menyinari untuk tumbuh dan kembangnya tanaman.

Pun, kita tidak mengharapkan juga, bila pemuda Pidie yang sudah berhasil meramupadan sebuah forum ini bersemangat laiknya ekor tikus, yang makin ke ujung, bobot dan ukurannya makin mengerucut. Nyan ban!

 ***

Sudah tayang di Komparatif.id

 Fenomena People In {Teras Emsyawall}

 Fenomena People In 

 


Istilah people in kembali mengemuka, seiring dengan telah dan sedang dibukanya perekrutan penyelenggara hajatan politik lima tahunan, yakni pemilu 2024.

People in merupakan terjemahan kasar dalam bahasa Inggris, yang berangkat dari istilah “orang dalam” tak ubahnya cerita misteri yang dengan nyaring, kini, digunjingkan oleh masyarakat secara terang-terangan.

Jika kita membuat penelitian murahan dengan mendatangi sejumlah warung kopi, lalu kemudian kita menyimak perspektif masyarakat dalam melihat fenomena people in, maka didapat fakta di mana masyarakat terurai ke dalam dua kutub pemikiran; pro dan kontra.

Baca juga: Quo Vadis Kupiah Meukutop
Bagi golongan yang berada pada kutub pro dengan people in, tentu kita dapat menebak, bahwa hadirnya mereka adalah karena diuntungkan oleh fenomena people in. Sementara golongan yang berada pada kutub kontra,sudah dapat ditebak juga, itulah mereka-mereka yang terzalimi oleh fenomena tersebut.

Lalu, siapakah yang disebut sebagai people in?

Jika melihat pada istilah people in yang berangkat dari apa yang disebut dengan ”orang dalam”, maka kita dapat menyandarkan rujukannya pada kitab andalannya masyarakat umum, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI arti orang dalam adalah orang yang berada di dalam suatu lingkungan baik itu pekerjaan, golongan, dan sebagainya.  Dengan demikian, siapa itu people in jawabannya adalah apa yang dimaksud dalam artiannya orang dalam.

Tak dipungkiri memang, people in acapkali memiliki koneksi khusus dengan orang penting dalam suatu pekerjaan atau golongan. Sehingga, dengan “keistimewaannya” itu mereka bisa memberi peluang, mengubah keputusan, dan memudahkan jalan bagi kerabat keluarganya atau kroninya untuk menjadi bagian dari pekerjaan atau golongan tersebut.

People in menjadi hal yang kontradiktif dengan budaya masyarakat kita, yang konon katanya mengikuti budaya timur yang jujur dan berintegritas pada setiap bidang. Namun sayangnya, di era sekarang, menemukan orang jujur sama sulitnya dengan menemukan jarum yang jatuh dalam tumpukan jerami.

Satu sisi, adanya fenomena people in mengingatkan kita akan betapa pentingnya network atau link dalam sistem kerja –sistem dunia. Orang-orang yang memiliki network yang lebih luas, meskipun punya kapasitas yang rata-rata –dan bahkan di bawah rata-rata, seringkali memuncaki beberapa bidang kehidupan.

Sedangkan di lain sisi, pada kutub yang berbeda, ada orang yang kemampuannya di atas rata-rata, dibuktikan oleh legacy pendidikannya yang tinggi dan pengalaman yang mumpuni, serta soft skill lainnya, yang singkat kata, bisa dikatakan ia memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan dalam bidang atau profesi, tapi ia “terhempas”, “meulungkop”, “meugom” oleh pesaingnya yang berhasil mendapat bantuan dari orang dalam.

Dengan demikian, dalam kaitan ini, kita bisa memahami, bahwa ada hukum yang sebenarnya sangat menyakitkan untuk kita akui dan berlaku dalam masyarakat. Mau tidak mau, secara jujur kita harus mengakui, bahwa kepakaran pada satu bidang atau beberapa bidang, tidak akan menjamin posisi seseorang mendapatkan pekerjaannya.

 Ruang People In Harus Dilawan

Nah, di tengah pengaruh lingkungan yang memberi peluang pada tumbuh subur dan menggeliatnya fenomena itu, tidak mengikuti arus sistem seperti hal tersebut di atas, maka kita dipandang sebagai bagian dari tindakan yang mempersulit diri, dan bahkan juga kadang mempersulit orang lain. Konotasi dari hadih maja: jujor meupalet sulet glah, adalah lahir dari hal ini.

Namun demikian, sebagai kaum terpelajar, kita harus mengupayakan agar adanya jalan bagi terciptanya budaya jujur pada lintas sektor masyarakat. Dengan harapannya adalah, meminimalisir gerak untuk para kaum penganut keyakinan hidup sukses harus punya awak dalam. Upaya-upaya dalam memenuhi harapan itu dapat dilakukan oleh kita masyarakat secara bersama. Baik itu oleh orang tua dalam pranata keluarga, para guru di sekolah-sekolah, dan ustad atau teungku melalui balai-balai pengajiannya.

 

 ***

 Sudah tayang di Komparatif.id

 

 

Indonesia dan Semangat Keberagaman

Merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dimungkiri bahwasanya keragaman pada masyarakat Indonesia menjadi warna indah yang patut disyukuri. Secara geografis, Indonesia saat ini terdiri dari kurang lebih 13.000 pulau besar maupun kecil yang dihuni oleh lebih dari 250 juta jiwa, terdiri dari 300 suku, dan 200 bahasa. 

Selain itu, masyarakat Indonesia juga menganut 6 agama yang juga diakui  resmi oleh negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Di luar 6 agama itu, terdapat pula masyarakat Indonesia yang menjadi penganut berbagai macam aliran kepercayaan.


Realitas tersebut tentunya menjadi anugerah yang mesti dijaga dan dirawat dengan baik oleh kita sebagai sebuah entitas bangsa Indonesa. Karena padanya tersimpan potensi kemajuan bagi kita bersama. Akan tetapi, jika tidak mampu dirawat atau dikelola dengan baik, maka bukan tak mungkin keragaman ini akan menjelma sebagai musibah yang mengancam bangunan rumah Indonesia. 

Dewasa ini, serangkaian peristiwa besar terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penistaan agama, pengrusakan rumah ibadah, rasisme dan berbagai kasus lainnya ikut mewarnai perjalanan Indonesia.

Melihat fakta ini, mau tidak mau kita harus mengakui, bahwasanya rumah Indonesia sedang terancam; kesadaran dan semangat masyarakat untuk hidup dalam bingkai keberagaman sudah mulai melemah. Dan sudah tentu pula, realitas ini memunculkan keresahan baru yang membutuhkan jalan keluar atau mekanisme yang solutif dan harmonis bagi masyarakat Indonesia.

Tentu kita tidak mengharapkan jika bangunan rumah Indonesia yang sudah berdiri utuh hampir satu abad ini runtuh hanya karena problema keberagaman. Oleh karena demikian, semangat keberagaman atau multikulturalisme merupakan sebuah kemestian untuk dihidupkan kembali saat ini. 

Penulis yakin, ideologi Pancasila  yang oleh para founding father menjadikannya sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bermula dari semangat multikulturalisme –meskipun gagasan multikulturalisme di Indonesia baru muncul ke permukaan pada tahun 2002.

Multikulturalisme adalah sebuah sistem nilai yang ditandai dengan adanya sikap masyarakat dalam mengapresiasi keragaman atau perbedaan yang didasarkan pada kerelaannya dalam menerima eksistensi komunitas lain yang berbeda budaya, suku, ras atau agama.

Gerakan multikulturalisme sendiri, pertama sekali muncul di Kanada dan Australia sekitar 1970-an, kemudian disusul di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lainnya. Di mana persoalan rasisme dan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya yang dialamatkan kepada orang-orang yang berasal dari Afrika (negro) melatarbelakangi munculnya gerakan multikulturalisme pada di negara-negara tersebut.

Sementara itu, Pahrurozi M.Bukhari (2003) mengemukakan beberapa faktor yang  mendorong hidupnya multikulturalisme. Pertama, keterbukaan masyarakat yang memiliki kekayaan budaya, modal dan pengalaman sejarah. Kedua, banyaknya lembaga pendidikan keagamaan yang membuat kehidupan lebih dinamis. 

Ketiga, semakin banyaknya industri di daerah, sehingga menjadi latar belakang budaya yang semakin beragam. Keempat, adanya sejumlah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi muda militan. Dan, kelima, semakin banyaknya daerah yang memiliki pluralitas dari berbagai ras, etnis, agama, budaya dan bangsa.

Mewujudkan Pendidikan multikultural

Menghidupkan semangat multikulturalisme dapat dilakukan melalui salah satu lembaga sosial masyarakat, yakni melalui pendidikan. Di berbagai negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam latar suku, ras dan agama, sudah mengenal dan mulai memberlakukan konsep pendidikan semacam ini, yang dirumuskan dengan nama pendidikan multikultural. 


Pendidikan multikultural dipahami sebagai pendidikan yang menempatkan para peserta didik sebagai individu yang dapat berperan dan bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan menuju kehidupan masyarakat yang aman dan damai.

Hj. Sulalah dalam bukunya berjudul Pendidikan Multikultural; Didaktika Nilai-Nilai Universitas Kebangsaan (2012:48) mengatakan, konsep pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbhinneka ras, etnik, kelas sosial, agama dan kelompok budaya.

Senada dengan itu, Chaerol Mahfud (2010) menyebutkan pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memberikan peserta didik sebuah edukasi yang dapat mengubah perspektif monokulturalnya yang penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikultural yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran, dan terbuka/inklusif.

Sikap inklusif penting bagi terbentuknya pemahaman pada anak didik dalam memahami disparitas kesenjangan sosial dalam masyarakat seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan di sekitarnya, sehingga mampu melakukan aksi-aksi yang nyata yang berbuah pada terciptanya kehidupan yang harmoni.

Jika melihat sistem demokrasi yang sudah berlaku di Indonesia, yang memberikan ruang dan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk dapat bersuara mengeluarkan pendapat, dan hak untuk dipilih dan memilih dengan tidak diskriminatif. Tercermin secara implisit semangat untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam sistem demokrasi.

Di era peradaban manusia yang penuh dengan gempuran nilai-nilai global, sudah sepatutnya nilai-nilai multikultural diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Karena itu, seyogianya pendidikan jangan lagi terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan peserta didik saja, melainkan pendidikan harus mampu memberikan perubahan pada dimensi afektifnya (kesadaran) dan juga psikomotoriknya (perilaku). 

Penyemaian sikap multikulturalisme semisal empati dan toleransi harus dijadikan fokus utama oleh pemerintah dan pelaku pendidikan untuk diwujudkan pada peserta didik dalam aktivitas kesehariannya.

Bagi Indonesia, dengan tingkat keragaman atau perbedaan yang sangat kompleks baik secara kultural dan sosial, gerakan multikulturalisme memang sangat penting untuk direduksi dalam pendidikan. Terutama untuk kelompok masyarakat kelas bawah, yang secara psikologisnya masih sangat rentan atau terpancing pada isu-isu yang bernuansa SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan). 

SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimental mengenai identitas diri yang menyangkut latar belakang seperti keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.

Mengakhiri Stigma atau Pelabelan Negatif

Sampai dengan saat ini, disadari atau tidak, gerakan multikulturalisme belum begitu berjalan dan menyatu dalam sanubari masyarakat kita. Terbukti, dalam aktivitas keseharian, kita sering kali menjumpai adanya stigma atau pelabelan tertentu terhadap suatu kelompok masyarakat, semisal masyarakat Jawa suka berpolitik kotor, masyarakat Padang penuh perhitungan atau pelit, masyarakat Aceh suka berperang, dan beragam macam stigma lainnya.

Ironisnya lagi, stigma ini tumbuh subur tatkala kelompok masyarakat yang satu memiliki sikap ketidaksalingpercayaan atau kecurigaan terhadap kelompok lainnya, yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman bahwa kelompok kita lebih baik dari pada kelompok mereka atau orang lain. 

Asmaul Husna dalam tulisannya di Serambi Indonesia berjudul  Kegagalan Multikulturalisme memberikan ulasan menarik. Bahwa adanya stigma  anggapan “agama ini identik dengan teroris, suku itu tak lebih dari penjajah, dan ras yang lain juga tidak lebih berkelas”, menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan multikultiralisme dalam denyut nadi kehidupan, (Serambi Indonesia, 4/4/2013).

Stigma atau pelabelan terhadap suatu kelompok tidak boleh dibiarkan tumbuh. Implikasi dari adanya stigma dalam masyarakat yang multikultural berisiko pada munculnya ego jiwa, yang tentu saja melahirkan disentegrasi sosial dan rusaknya persatuan dan keutuhan bangsa.

Akhir kata, kita berharap, melalui pendidikan multikultural keberagaman di negara kita Indonesia dapat terawat dengan baik. Dan segala pengaruh negatif yang bermuasal pada perbedaan yang menjadi benih-benih konflik –meski tidak bisa dihilangkan secara total--setidaknya dapat diminimalisir. Semoga saja, kehidupan keberagaman di Indonesia yang harmonis, aman dan damai terjaga dan abadi selama-lamanya.

***

Artikel ini sudah tayang di media: Whatyutink

Pentingnya Ketegasan Seorang Pemimpin

  
SELAIN jujur, disiplin, dan kompeten (ahliyyah), seorang pemimpin dalam sebuah kelompok masyarakat --khususnya masyarakat yang heterogen-- mesti memiliki sikap tegas. Sikap ini dibutuhkan agar pemimpin tersebut menjadi pemimpin yang integritas.

Seorang pemimpin dikatakan berintegritas ialah ketika dia memiliki sikap tegas --selain, berkompeten, jujur dan disiplin. Ketika seorang pemimpin sudah memiliki integritas maka semua pihakpun akan segan dan hormat kepadanya. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang pemimpin tidak memiliki integritas maka semua pihakpun akan menyepelekan dan melecehkannya. Untuk contohnya, yang mana dan siapa pemimpin yang dikatakan berintegritas atau tidaknya, saya yakin anda semua pasti dapat menilai dan mengukurnya sendiri.

Ketika Orang Kurang Waras Kritik Infrastruktur Pidie


Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal pembangunan. Disamping membicarakan soal politik, agama, sosial dan budaya masyarakat. Baik itu tempatnya di ruang akademis semisal kelas-kelas perkuliahan atau di ruang umum semisal warung kopi dan poskamling (pos jaga). Khusus tentang pembangunan, orang selalu tertarik untuk membicarakannya. Sebab saban hari, sepanjang hidup dalam aktivitas sosial, orang selalu berhubungan dengan pembangunan.

Pembangunan dalam suatu kelompok masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam; pertama, pembangunan dibidang manusianya (sumber daya manusia), dan yang kedua, pembangunan dibidang prasarana dan sarananya (infrastruktur). Pembangunan manusia diartikan sebagai pembangunan yang merujuk pada peningkatan individu manusia untuk lebih berkualitas, baik dari segi intelektualnya maupun finansialnya.  Sedangkan pembangunan dibidang infrastuktur meliputi pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang bersifat fisik seperti jalan, rumah sakit, pelabuhan, jembatan, dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan ekonomi dan sosial masyarakat.

Semua Kita Adalah Ibrahim



Dalam kurun waktu setahun, umat Islam memiliki lima hari raya. Hari yang dalam persepsi umat Islam sebagai hari sakral dan menjadi momentum untuk mengumpulkan pahala sesuai dengan anjuran Allah. Satu hari di awal bulan Syawal, yang dinamakan dengan hari raya idul Fitri, dan empat hari lagi di bulan Zulhijjah (10,11,12, dan 13) yang dinamakan dengan hari raya idul Adha.  Kelima hari ini merupakan hari yang disambut dengan suka cita oleh semua umat Islam di dunia.

Pekan ini, umat Islam dimanapun keberadaanya, dipastikan sedang dalam euforia gembira merayakan hari raya Idul Adha.

Menyikapi Polemik Hukuman Cambuk


 
DIAKUI atau tidak, Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Dalam istilah lain, Islam dengan konsep hukum syariahnya telah menjadi identitas kita masyarakat Aceh. Karena itu, tidak mengherankan jika pola perilaku masyarakat Aceh banyak sekali yang mendapat sentuhan atau pengaruh dari Islam. Tersebab itu pula, di Aceh ada adagium, Hukom ngon Adat lage zat ngon sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). 

Kemeriahan Ramadhan dan Semangat Ibadah


TANPA terasa kita umat Islam telah berada dipenghujung bulan Ramadhan. Tinggal menghitung hari, bulan yang penuh keberkahan ini pun akan ‘berangkat’ dan pergi jauh meninggalkan kita. Dan, sudah barang tentu, ditahun selanjutnya kita pun tidak bisa memastikan untuk dapat ‘berjumpa’ kembali dengan bulan tersebut. Soalnya, nikmat umur panjang yang Allah berikan belum tentu masih dipersinggahkan di raga kita. Karena itu, sungguh merugi andaikata bulan Ramadhan yang mulia ini tidak dapat kita maksimalkan guna peningkatan amal ibadah kepada Allah SWT.

Menggapai Predikat Taqwa di Bulan Ramadhan


ADALAH hal yang membuat manusia berbeda dan derajatnya lebih tinggi dihadapan Allah SWT yaitu ketaqwaanya. Taqwa secara bahasa memiliki arti menjaga diri, berhati-hati atau waspada. Karena itu, orang yang berhati-hati ketika berkendaraan di jalan raya baik ketika bersepeda motor, atau mengendarai mobil, orang tersebut dapat disebut taqwa dalam berkendaraan. Begitu juga orang yang berhati-hati ketika berbicara, agar kata-katanya atau pembicaraanya tidak mengenai atau melukai perasaan orang lain, maka orang tersebut dapat dikatakan taqwa dalam berbicara.

Mengamuk saat Berbuka, Sebuah Ironi ramadhan



Sebuah bulan yang sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam dalam setiap tahun adalah bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT atas setiap kebajikan yang dilakukan oleh umat Islam.  

Ada sebuah kewajiban yang dilakukan oleh semua umat Islam di bulan Ramadhan yaitu berpuasa satu bulan penuh. Puasa (secara istilah) diartikan sebagai sebuah bentuk aktivitas ibadah kepada Allah dengan menahan diri atau berpantang dari segala makanan, minuman, dan dari segala hawa nafsu yang dapat membatalkan puasa dari sejak terbit matahari atau shubuh hingga terbenam matahari atau magrib.

Karena itu, kalau kita cermati ketika bulan Ramadhan tiba, durasi waktu puasa umat Islam didunia sangatlah bervariasi. Ada durasi puasanya terpendek atau tersingkat seperti negara Chili (9,43 jam) dan ada yang terlama seperti Islandia (22 jam). Bagi umat Islam yang beriman, singkat atau lamanya durasi puasa bukanlah sebuah masalah. Karena yang terpenting esensi dari puasa itu dan predikat taqwa yang Allah janjikan bagi orang yang berpuasa. Pun dalam Al-Quran telah dinyatakan, bahwa orang berpredikat taqwa diampuni segala dosanya, dimudahkan urusannya dan dikucurkan rezeki yang tak terhingga.

Bulan Ramadhan dapat dijadikan oleh umat Islam sebagai media untuk melatih kesabaran dan mengendalikan nafsu, baik nafsu amarahnya, nafsu syahwatnya maupun nafsu terhadap makanan atau minuman. Puasa juga berdampak positif terhadap kesehatan raga manusia dan juga berdampak positif terhadap keseharan jiwa manusia. Karena itu pula, bagi orang-orang yang ingin jiwa dan raganya sehat maka puasa adalah solusinya.

Dalam bulan Ramadhan juga terdapat sebuah kebahagian yang tiada tara dan hanya dirasakan oleh orang yang berpuasa. Sesuai dengan Rasulullah sabdakan dalam haditsnya, bahwa bagi orang yang berpuasa terdapat dua kebahagian, yaitu kebahagian saat berbuka dan kebagiaan saat bertemu dengan Tuhannya.

Namun, dewasa ini terdapat sebuah ironi dibulan Ramadhan yang berkaitan dengan berbuka. Hal ini terlihat dari pola konsumsi makanan dan minuman yang lebih banyak dan meningkat dibandingkan dengan hari-hari biasa (hari non puasa). Bahkan anehnya, dibulan puasa banyak kalangan kita mengonsumsi makanan atau minum yang tidak populer dibulan lain, seperti makanan atau minuman dari buah aren muda, dan lain sebagainya. Seolah semua makanan yang tidak dikonsumsi dibulan lain derajat kenikmatan atau seleranya menjadi bertambah ketika bulan puasa tiba.

Tentunya, hal ini sungguh telah jauh melenceng dari esensi puasa yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Logikanya, dengan berpuasa (tidak makan satu waktu) tingkat konsumsi kita akan menurun dibandingkan dengan hari-hari biasa, bukan sebaliknya, tingkat konsumsi kita naik dan berlipat ganda ketika bulan Ramadhan tiba.

Memang, menghadirkan sedikit makanan dan minuman bernutrisi tinggi dan yang bisa mengembalikan energi lebih cepat karena berpuasa siang harinya dianjurkan ketika berbuka, seperti berbuka dengan memakan buah kurma (sesuai dengan yang Nabi lakukan ketika puasanya). Namun bukan dengan melipatgandakan makanan dan minuman untuk dimakan disatu waktu.

Padahal, dengan berpuasa umat Islam diharapkan (setidaknya) bisa menghayati dan mendapatkan sebuah nilai moral yang berhubungan dengan kepekaannya terhadap lingkungan sosial atau sesama manusia lain. Karena dalam lingkungan sosial kita tidak semuanya sama dan terdiri dari ragam golongan, yang jika kita klasifikasikan secara umum akan terdapat golongan kaya, golongan menengah, dan golongan miskin. Standar hidup yang dimiliki dan dijalani oleh setiap kelompok ini pun berbeda.

Semestinya dengan berpuasa umat Islam (golongan yang standar hidupnya kaya) dapat merasakan bagaimana hidup dengan status miskin dimana semuanya terbatas, bahkan untuk makan sekalipun. Sehingga selepas bulan Ramadhan rasa empati atau kepekaan sosial mereka menjadi bertambah terhadap golongan yang lain. Nah!

Artikel ini telah dipublikasi di media berita online AcehTrend

http://www.acehtrend.co/mengamuk-saat-berbuka-sebuah-ironi-ramadhan/

Selamat Datang Abusyiek

 
Terhitung mulai tanggal 7 April 2017, pasangan Roni Ahmad (Abusyik) dan Fadlullah TM Daud, resmi ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati Pidie untuk periode 2017-2022 mendatang. Abusyiek merupakan salah satu dari beberapa mantan kombatan GAM yang maju dan menang dalam pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) 2017 melalui jalur independen.

Menarik sekali melihat perjuangan Abusyiek dalam menggapai singgasana Pidie. Layaknya sebuah pertunjukan yang menyajikan drama dengan rasa yang campur aduk namun endingnya adalah bahagia.

Mengenang Jiwa Muda Hasan Tiro


Penulis: Muhammad Syawal Djamil

Siapa yang tak kenal dengan sosok yang satu ini ? Sosok yang penuh kharisma, dipuji, dan penuh inspiratif.  Hasan Tiro –sebutan yang populer bagi masyarakat Aceh- merupakan sosok yang selalu menarik untuk di bahas, dan rasanya tak akan pernah bosan untuk “menyisir” setiap sendi kehidupannya.

Hasan Tiro adalah anak kedua dari pasangan teungku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah, yang lahir di kampong Tanjong Bungong, Kabupaten Pidie, tepatnya tanggal 25 September 1925. Hasan Tiro meninggal di Banda Aceh pada tanggal 3 Juni 2010 (dalam umur 84 tahun). Beliau adalah keturunan ketiga dari Tgk Chik Muhammad Saman di Tiro, yang tak lain adalah pahlawan nasional Indonesia.

Melihat aktivitas semasa hidupnya yang lebih suka “kekirian”,  mungkin wajar  apa yang dikatakan oleh orang “diseberang sana” bahwa Hasan Tiro merupakan sosok yang keras, pembangkang, dan penebar benih-benih kebencian  terhadap keutuhan Nusantara atau kesatuan negara Republik Indonesia. Namun siapa yang menyangka, Hasan tiro ketika muda adalah sosok yang mempunyai nasionalisme tinggi terhadap Nusantara.

Sejarah mencatat orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di pulau Sumatra pasca presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah Hasan Tiro. Saat itu dia masih berumur  20 tahun. Merupakan sesuatu yang sangat berani dilakukan oleh seorang pemuda yang berumur 20 tahun, megingat keadaan saat itu Indonesia masih jauh dalam katagori rawan.

Hasan Tiro ketika muda adalah sosok yang aktif dalam organisasi. Beliau termasuk sebagai salah satu pengurus dari organisasi Barisan Pemuda Indonesia. Bahkan tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya bulan November Hasan Tiro terlibat dalam rapat untuk membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Laskar Mujahidin. Dalam rapat itu, bersama dengan pemuda lain , beliau mengikrarkan sumpah setia untuk mempertahankan kemerdekaan dan membentuk barisan perang guna mengusir penjajah.

Hal lainnya dari Hasan Tiro yang begitu menginspiratif adalah ketika mudanya yang sangat berbeda dengan pemuda-pemuda sekarang,  beliau dengan beraninya mengirim sepucuk surat yang berisi kritikan terhadap apa yang dilakukan oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu yaitu Ali Sastroamidjojo. Tak heran perihal surat itu begitu menarik perhatian masyarakat lain didunia. Hal ini terbukti dengan pemberitaannya yang tak hanya di media massa dalam negeri, tapi juga media massa yang ada di luar negeri. Surat itu pula yang menjadi perbincangan hangat baik dikalangan nasional maupun kalangan dunia internasional saat itu. 

Menurut berbagai sumber,  dalam surat itu Hasan Tiro mengutarakan sikap ketidaksetujuannya terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menumpaskan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII).  Menurutnya, kebijakan itu membuat suku bangsa yang ada seperti di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan yang merupakan daerah basis DI/TII, terhimpit kembali dalam lingkungan yang konflik yang bersimbah darah. 

Sebagai implikasi dari kebijakan tersebut banyak rakyat yang tak bersalah pun terbunuh hanya karena dianggap atau terduga sebagai anggota DI/TII. Keadaan itulah yang membuat batin  Hasan Tiro bergolak, dan memberanikan diri untuk menentang Pemerintah. Dan puncak dari rasa pergolakan batinnya terhadap bentuk kesewenang-wenangan pemerintah, Hasan Tiro pulang ke Aceh dan memproklamasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka di perbukitan Hutan Aceh, Gunung Halimun.

Dibalik jiwanya yang kritis itu, Hasan Tiro rupanya menekuni dunia menulis. Hal ini terbukti dari banyaknya buku yang telah dituliskannya, seperti Perang Atjeh 1873-1927, Revolusi Desember ’45 di Atjeh atau Pembasmian Pengchianat Tanah Air , Demokrasi untuk Indonesia, Masa Depan Politik Dunia Melayu, Atjeh bak Mata Donja  (Aceh di Mata Dunia), dan The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro

Tak hanya tekun dalam menulis buku, Hasan Tiro juga pandai dalam menerjemahkan buku asing. Seperti yang kita ketahui bersama, Hasan Tiro telah menerjemahkan buku karya Prof. Abdul Wahab Khalaf  yaitu As-Siyâsah asy-Syar’iyyah atau Dasar-dasar Negara Islam pada umur yang relative sangat muda, yaitu pada usia 22 tahun.

Semoga jiwa Hasan Tiro muda dapat memotivasi dan menginspirasi kita semua.

**
Artikel ini telah dimuat di media: Harian Aceh

Tragedi Pembantaian Paling Biadab Di Aceh

PEMBANTAIAN DI BEUTONG (ACEH)

Upaya Pemusnahan Peradaban Muslim Paling Biadab Sepanjang Sejarah Indonesia PEMBANTAIAN di Aceh semasa rezim Soeharto jauh lebih biadab dan kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah, karena mereka juga membantai wanita dan anak-anak yang tak bersalah. Militer yang didatangkan ke Aceh pada rezim Soeharto ini, lebih kejam bila dibandingkan dengan Abu Lahab dan Abu Jahal pada zaman jahiliyah. Pada za-man jahiliyah yang dipelopori Abu Jahal dan Abu Lahab pada waktu itu memburu Rasulullah untuk dibunuh. Pada suatu malam, Abu Jahal dan Abu Lahab datang mencari Rasul di rumahnya. Ternyata Rasulullah tidak ada, yang dilihat hanya Sayidina Ali yang sedang tidur di tempat pembaringan. Kedua pelopor jahiliyah itu, ternyata sedikitpun tidak mengusik Sayidina Ali dan keluarganya. Setelah mengetahui Rasulullah tidak bera-da di rumah itu mereka lalu pergi mencarinya ke tempat lain. Sementara Sayidina Ali sendiri bersama keluarga diketahui sebagai pejuang pembela Rasulullah. Peristiwa tersebut menggambarkan, bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab tidak membunuh dan mengusik orang lain yang bukan divonis mati oleh kelompok kafir Quraisy.