Merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dimungkiri bahwasanya keragaman pada masyarakat Indonesia menjadi warna indah yang patut disyukuri. Secara geografis, Indonesia saat ini terdiri dari kurang lebih 13.000 pulau besar maupun kecil yang dihuni oleh lebih dari 250 juta jiwa, terdiri dari 300 suku, dan 200 bahasa.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga menganut 6 agama yang juga diakui resmi oleh negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Di luar 6 agama itu, terdapat pula masyarakat Indonesia yang menjadi penganut berbagai macam aliran kepercayaan.
Realitas tersebut tentunya menjadi anugerah yang mesti dijaga dan dirawat dengan baik oleh kita sebagai sebuah entitas bangsa Indonesa. Karena padanya tersimpan potensi kemajuan bagi kita bersama. Akan tetapi, jika tidak mampu dirawat atau dikelola dengan baik, maka bukan tak mungkin keragaman ini akan menjelma sebagai musibah yang mengancam bangunan rumah Indonesia.
Dewasa ini, serangkaian peristiwa besar terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penistaan agama, pengrusakan rumah ibadah, rasisme dan berbagai kasus lainnya ikut mewarnai perjalanan Indonesia.
Melihat fakta ini, mau tidak mau kita harus mengakui, bahwasanya rumah Indonesia sedang terancam; kesadaran dan semangat masyarakat untuk hidup dalam bingkai keberagaman sudah mulai melemah. Dan sudah tentu pula, realitas ini memunculkan keresahan baru yang membutuhkan jalan keluar atau mekanisme yang solutif dan harmonis bagi masyarakat Indonesia.
Tentu kita tidak mengharapkan jika bangunan rumah Indonesia yang sudah berdiri utuh hampir satu abad ini runtuh hanya karena problema keberagaman. Oleh karena demikian, semangat keberagaman atau multikulturalisme merupakan sebuah kemestian untuk dihidupkan kembali saat ini.
Penulis yakin, ideologi Pancasila yang oleh para founding father menjadikannya sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bermula dari semangat multikulturalisme –meskipun gagasan multikulturalisme di Indonesia baru muncul ke permukaan pada tahun 2002.
Multikulturalisme adalah sebuah sistem nilai yang ditandai dengan adanya sikap masyarakat dalam mengapresiasi keragaman atau perbedaan yang didasarkan pada kerelaannya dalam menerima eksistensi komunitas lain yang berbeda budaya, suku, ras atau agama.
Gerakan multikulturalisme sendiri, pertama sekali muncul di Kanada dan Australia sekitar 1970-an, kemudian disusul di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lainnya. Di mana persoalan rasisme dan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya yang dialamatkan kepada orang-orang yang berasal dari Afrika (negro) melatarbelakangi munculnya gerakan multikulturalisme pada di negara-negara tersebut.
Sementara itu, Pahrurozi M.Bukhari (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mendorong hidupnya multikulturalisme. Pertama, keterbukaan masyarakat yang memiliki kekayaan budaya, modal dan pengalaman sejarah. Kedua, banyaknya lembaga pendidikan keagamaan yang membuat kehidupan lebih dinamis.
Ketiga, semakin banyaknya industri di daerah, sehingga menjadi latar belakang budaya yang semakin beragam. Keempat, adanya sejumlah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi muda militan. Dan, kelima, semakin banyaknya daerah yang memiliki pluralitas dari berbagai ras, etnis, agama, budaya dan bangsa.
Mewujudkan Pendidikan multikultural
Menghidupkan semangat multikulturalisme dapat dilakukan melalui salah satu lembaga sosial masyarakat, yakni melalui pendidikan. Di berbagai negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam latar suku, ras dan agama, sudah mengenal dan mulai memberlakukan konsep pendidikan semacam ini, yang dirumuskan dengan nama pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural dipahami sebagai pendidikan yang menempatkan para peserta didik sebagai individu yang dapat berperan dan bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan menuju kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
Hj. Sulalah dalam bukunya berjudul Pendidikan Multikultural; Didaktika Nilai-Nilai Universitas Kebangsaan (2012:48) mengatakan, konsep pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbhinneka ras, etnik, kelas sosial, agama dan kelompok budaya.
Senada dengan itu, Chaerol Mahfud (2010) menyebutkan pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memberikan peserta didik sebuah edukasi yang dapat mengubah perspektif monokulturalnya yang penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikultural yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran, dan terbuka/inklusif.
Sikap inklusif penting bagi terbentuknya pemahaman pada anak didik dalam memahami disparitas kesenjangan sosial dalam masyarakat seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan di sekitarnya, sehingga mampu melakukan aksi-aksi yang nyata yang berbuah pada terciptanya kehidupan yang harmoni.
Jika melihat sistem demokrasi yang sudah berlaku di Indonesia, yang memberikan ruang dan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk dapat bersuara mengeluarkan pendapat, dan hak untuk dipilih dan memilih dengan tidak diskriminatif. Tercermin secara implisit semangat untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam sistem demokrasi.
Di era peradaban manusia yang penuh dengan gempuran nilai-nilai global, sudah sepatutnya nilai-nilai multikultural diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Karena itu, seyogianya pendidikan jangan lagi terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan peserta didik saja, melainkan pendidikan harus mampu memberikan perubahan pada dimensi afektifnya (kesadaran) dan juga psikomotoriknya (perilaku).
Penyemaian sikap multikulturalisme semisal empati dan toleransi harus dijadikan fokus utama oleh pemerintah dan pelaku pendidikan untuk diwujudkan pada peserta didik dalam aktivitas kesehariannya.
Bagi Indonesia, dengan tingkat keragaman atau perbedaan yang sangat kompleks baik secara kultural dan sosial, gerakan multikulturalisme memang sangat penting untuk direduksi dalam pendidikan. Terutama untuk kelompok masyarakat kelas bawah, yang secara psikologisnya masih sangat rentan atau terpancing pada isu-isu yang bernuansa SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan).
SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimental mengenai identitas diri yang menyangkut latar belakang seperti keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.
Mengakhiri Stigma atau Pelabelan Negatif
Sampai dengan saat ini, disadari atau tidak, gerakan multikulturalisme belum begitu berjalan dan menyatu dalam sanubari masyarakat kita. Terbukti, dalam aktivitas keseharian, kita sering kali menjumpai adanya stigma atau pelabelan tertentu terhadap suatu kelompok masyarakat, semisal masyarakat Jawa suka berpolitik kotor, masyarakat Padang penuh perhitungan atau pelit, masyarakat Aceh suka berperang, dan beragam macam stigma lainnya.
Ironisnya lagi, stigma ini tumbuh subur tatkala kelompok masyarakat yang satu memiliki sikap ketidaksalingpercayaan atau kecurigaan terhadap kelompok lainnya, yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman bahwa kelompok kita lebih baik dari pada kelompok mereka atau orang lain.
Asmaul Husna dalam tulisannya di Serambi Indonesia berjudul Kegagalan Multikulturalisme memberikan ulasan menarik. Bahwa adanya stigma anggapan “agama ini identik dengan teroris, suku itu tak lebih dari penjajah, dan ras yang lain juga tidak lebih berkelas”, menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan multikultiralisme dalam denyut nadi kehidupan, (Serambi Indonesia, 4/4/2013).
Stigma atau pelabelan terhadap suatu kelompok tidak boleh dibiarkan tumbuh. Implikasi dari adanya stigma dalam masyarakat yang multikultural berisiko pada munculnya ego jiwa, yang tentu saja melahirkan disentegrasi sosial dan rusaknya persatuan dan keutuhan bangsa.
Akhir kata, kita berharap, melalui pendidikan multikultural keberagaman di negara kita Indonesia dapat terawat dengan baik. Dan segala pengaruh negatif yang bermuasal pada perbedaan yang menjadi benih-benih konflik –meski tidak bisa dihilangkan secara total--setidaknya dapat diminimalisir. Semoga saja, kehidupan keberagaman di Indonesia yang harmonis, aman dan damai terjaga dan abadi selama-lamanya.
***
Artikel ini sudah tayang di media: Whatyutink
***
Artikel ini sudah tayang di media: Whatyutink
EmoticonEmoticon