Geudeu-geudeu merupakan olahraga bela diri
tradisional yang hanya dan dimainkan oleh kaum laki-laki di Pidie dan Pidie
Jaya. Oleh karena itu, Geudeu-geudeu dikatakan sebagai seni bela diri
tradisional miliknya orang Pidie dan Pidie Jaya (kabupaten pecahan dari Pidie).
Dilihat dari beberapa literatur sejarah,
Geudeu-geudeu berasal dari kata due-due yang memiliki makna tunduk atau
menunduk. Namun, ada juga sebagian masyarakat mengistilahkan kosakata due-due
dengan makna lincah dan ulet.
Lahirnya Geudeu-geudeu diyakini berawal dari
usaha para raja di Aceh (Pidie) yang menginginkan para laskar kerajaannya
memiliki ketangkasan, ketahanan fisik dan mental yang kuat. Sehingga dibuatlah
semacam pertandingan yang berguna untuk mengasah ketangkasan dan ketahan fisik
para laskar kerajaan.
Tradisi itu kemudian dilembagakan oleh
masyarakat secara turun-temurun, hingga saat ini kita kenal dengan nama
Geudeu-geudeu. Di era modern, Geudeu-geudeu tidak hanya bertujuan untuk melatih
ketangkasan, namun lebih dari itu. Geudeu-geudeu menjadi ajang pemersatu kelompok
masyarakat.
Bahkan, Mr. Teuku Muhammad Hasan, mantan Gubernur
Sumatera pertama, pernah menjadikan Geudeu-geudeu sebagai strategi dalam
menghidupkan perekonomian masyarakat di suatu tempat. Realitas ini diceritakan
sendiri oleh Beliau dalam bukunya yang berjudul Mr. Teuku Muhammad Hasan; Dari
Aceh ke Pemersatu Bangsa.
Konon, diceritakan olehnya --sebagaimana
dikutip oleh Amarullah Yacob (dalam Pernak Pernik Pidie, 2018: 108-109), Mr Hasan sepulang dari Belanda melihat pasar
Lampoih Saka tidak seramai pasar Caleu. Lalu muncul inisiatif untuk meramaikan
pasar Lampoih Saka dengan membuat suatu pertandingan, yakni Geudeu-geudeu. Dalam
pendapat beliau, jika di suatu tempat (pasar) masyarakatnya ramai, maka
berpengaruh pada peningkatan transaksi jual-beli yang pada ujungnya membuat
roda ekonomi masyarakat di tempat tersebut meningkat.
Geudeu-geudeu memiliki kemiripan dan hampir
sama dengan Sumo, olahraga tradisional Jepang yang begitu populer. Dari segi konsep
misalnya, Sumo dimainkan oleh oleh dua orang Petarung atau Pesumo yang berbadan
gemuk dan terlibat saling dorong antar keduanya, hingga salah satu dari mereka
terjatuh atau keluar dari lingkaran yang ditentukan, dan yang tetap berada
dalam lingkaran dikatakan sebagai pemenangnya. Sementara yang jatuh dan keluar
dari lingkaran dinyatakan kalah.
Sumber foto: baleangen.wordpress.com
Dalam pertandingan Geudeu-geudeu, petarung juga terlibat aksi dorong mendorong hingga salah satu pihak petarung terjatuh. Hanya saja, dalam Geudeu-geudeu dibolehkan bagi petarung penantang atau ureung tueng untuk memukul dua petarung yang ditantang, dengan syarat pukulannya tidak mengarah pada organ vital, seperti ke arah organ di bawah perut. Namun demikian, perlu digarisbawahi Geudeu-geudeu bukan budaya turunan atau sesuatu yang memiliki kaitan dengan Sumo, yang tak lain bagian dari budaya Jepang tersebut.
Geudeu-geudeu dimainkan sebanyak dua babak
dan dilangsungkan di atas tanah lapang yang diberikan alas Jerami (Aceh; Jumpueng).
Bisa dikatakan Jerami menjadi semacam
matras bagi petarung, guna meminimalkan kemungkinan terjadi cedera.
Babak pertama, dimulai ketika salah satu dari
kelompok yang sudah dibagi tampil ke arena untuk menantang kelompok lainnya.
Petarung pertama atau yang dinamakan penantang atau disebut dengan istilah ureueng
tueng, datang dengan cara sedikit “berdansa” dan mengkacak-kacak jemarinya
--bahasa Aceh keutep-keutep jaroe (membunyikan jari).
Tak ayal kesempatan ini digunakan oleh ureung tueng untuk mengolok-olok dengan tujuan memprovokasi kelompok lawan, yang ditantang. Lalu kelompok yang ditantang mengutus dua orang petarung yang kedua orang ini dinamakan dengan penerima tantangan atau disebut dengan istilah ureung pok.
Tak ayal kesempatan ini digunakan oleh ureung tueng untuk mengolok-olok dengan tujuan memprovokasi kelompok lawan, yang ditantang. Lalu kelompok yang ditantang mengutus dua orang petarung yang kedua orang ini dinamakan dengan penerima tantangan atau disebut dengan istilah ureung pok.
Ureueng tueng dibolehkan untuk menggunakan
gempalan tanganya untuk memukul di mana saja, kecuali ke bagian organ vital
seperti ke bawah pusar. Sedangkan ureueng pok dibolehkan untuk menggunakan
beragam cara, kemampuan dan sekuat tenaganya untuk merobohkan atau membanting
ureueng tueng sambil berpegangan tangan dengan teman petarungnya ureueng pok.
Ureueng tueng baru dianggap menang apabila
kedua ureung pok tidak mampu menbantingkannya atau saat membanting pegangan tangan kedua ureueng pok
terlepas. Akan tetapi, bila ureung tueng berhasil dibanting oleh ureung pok
maka ureung tueng dinyatakan kalah.
Nah, ketika masuk babak kedua, maka status
atau posisi petarung dibalik. Posisi ureueng tueng akan beralih
menjadi ureueng pok, dan begitu juga ureung pok akan beralih menjadi ureung
tueng. Hal ini terus berlangsung dalam limit waktu tertentu sesuai dengan ketentuan
dan kesepakatan kedua kelompok. Hingga salah satu pihak dinyatakan sebagai pemenang.
Sebagaimana lumrah pada olahraga bela diri
lainnya, Geudeu-geudeu juga dipimpin oleh beberapa orang wasit, yang
disebut sebagai ureung seumeugla (tukang melerai) yang berjumlah sebanyak
empat hingga lima orang. Para ureng seumeugla tersebut bukanlah orang
sembarang. Namun mereka adalah orang yang dianggap memiliki ketangkasan dan
memiliki fisik yang kuat, sehingga mampu melerai petarung.
Biasanya yang menjadi ureung seumegla tersebut
merupakan para mantan petarung geudeu-geudeu yang memiliki pengalaman dan wawasan
luas tentang geudeu-geudeu. Dalam mengambil penilaian, ureueng semeugla
akan melihat apakah masing-masing petarung itu “bermain” dengan sikap profesionalismenya
ataukah dalam keadaan emosional. Bila didapati salah satu kubu petarung
terlihat emosional maka ureung seumeugla yang berfungsi sebagai wasit tidak segan-segan
menghentikan pertandingannya.
Sumber foto: Iwan Andespu
Dalam permainan Geudeu-geudeu, kekuatan fisik
dan kestabilan emosi (mental) sangat diperlukan. Bila tidak, maka bisa berujung
pada pertikaian dan berakibat fatal. Bagi petarung, Geudeu-geudeu menjadi semacam arena
untuk menunjukkan kejantanannya sebagai seorang Laki-laki, serta menjadi suatu
kebanggaan tersendiri bagi diri petarung bila berhasil menang dalam setiap
pertandingan yang dimainkan olehnya.
Namun sayangnnya, di era kini, Geudeu-geudeu yang sarat nilai sejarah ini kurang mendapat
perhatian dari Pemerintah dan mulai dipinggirkan oleh masyarakat Aceh. Padahal
Geudeu-geudeu menjadi sebuah simbol identitas budaya masyarakat Aceh, khususnya bagi Pidie. Mudah-mudahan saja, Pemerintah Aceh memiliki inisiatif untuk mengkreasikan olahraga tradisional yang satu ini agar tetap eksis ditengah derasnya arus budaya global yang masuk ke dalam masyarakat. Nyanban
EmoticonEmoticon