Muqaddam; Budaya Aceh, Warisan Ulama

Oleh: Muhammad Syawal Djamil

Tokoh gampong sedang persiapan pembacaan Muqaddam. (Foto by: Khalid Muttaqin)

PROVINSI Aceh yang  terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Internasional. Sejak berabad-abad lamanya Aceh sudah menjadi tujuan utama para pedagang Arab, India, Cina, Persia, dan negara lainnya. Persinggahan  masyarakat dari lintas negara tidak hanya memberi dampak dari segi ekonomi, agama, pendidikan, lebih jauh dari itu telah berdampak pada segi budaya.

Masyarakat Aceh dikenal heterogen, berbagai suku hidup secara berdampingan walaupun berbeda bahasa, sosial bahkan budaya sekalipun. Namun, perbedaan tersebut menjadi sebuah tolak ukur, bahwa masyarakat Aceh sudah terbentuk sebagai civil society (masyarakat berperadaban tinggi). Hal yang sama juga diakui oleh orientalis berkebangsaan Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje. Dia menulis pada pembukaan buku The Achehnese yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa, Aceh harus dimasukkan  ke dalam lingkungan negara-negara yang beradab yang saling menghormati (Christiaan Snouck Hurgronje, 1985: XX)

Bukti tingginya peradaban Aceh dapat dilihat dari banyaknya warisan budaya yang ditinggalkan, sebagian dari warisan itu dapat ditemui dalam kehidupan masyarakat. Salah satu warisan budaya Aceh yang tergolong unik adalah budaya Muqaddam.

Secara etimologi Muqaddam berasal dari bahasa Arab, kata dasarnya qadama yang berarti pendahuluan. Sedangkan secara terminologi dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang dilakukan oleh petani sebagai upaya memohon perlindungan kepada Allah SWT atas padi yang ditanam. Pemberian nama Muqaddam sebenarnya diambil dari nama kitab yang dibacakan pada saat prosesi awal memulai ritual, sehingga banyak masyarakat menyebut ritual ini dengan sebutan Muqaddam.

Kitab Muqaddam (Foto by: Khalid Muttaqin)

Ritual ini terdapat di Pidie, namun tidak semua wilayah pertanian di Pidie melaksanakan ritual tersebut, hanya terdapat beberapa daerah saja yang dialiri lueng bintang (nama tempat aliran air). Aliran ini menjadi sumber utama masyarakat setempat untuk mengairi sawahnya.

Pelopor ritual Muqaddam adalah seorang ulama karismatik Pidie yang hidup pada abad ke- 16, memiliki nama lengkap Syaikh Abdus Salam bin Syaikh Burhanuddin bin Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi al-Madani bin Syaikh Muhammad Al-Madani al-Anshary bin Syaikh Yunus bin Syaikh Ahmad ad-Dijani. Masyarakat setempat memberi dua laqab kepada beliau dengan nama Teungku Syik di Pasi atau Teungku Syik di Waido.

Selain alim dalam disiplin ilmu agama beliau juga memiliki kapasitas dalam ilmu terapan, salah satunya ilmu agricultural science yang mengkaji bidang pertanian. Banyak kontribusi yang beliau berikan dalam bidang pertanian, diantaranya mencetus pembuatan irigasi untuk pengairan sawah masyarakat, bekas irigasi masih dapat dilihat di Gampong Waido, Kecamatan Peukan Baro. Hasil usaha lain yang tidak kalah pentingn dari Teungku Syik di Pasi adalah memberi gagasan lahirnya kegiatan Muqaddam.

Tujuan diadakan muqaddam sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang Maha memberi rezeki, diharapkan padi yang ditanam bebas dari gangguan hama dan penyakit. Tujuan ritual ini memiliki korelasi dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surah al- A’raf ayat 96:

“Kalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi jika mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Selain sebagai bentuk mendekatkan diri pada Allah, tujuan lainnya ritual ini untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik masyarakat yang berprofesi sebagai petani atau bukan, diharapkan memberi kesan positif terhadap masyarakat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan muqaddam tidak lain untuk menata hubungan baik antara makhluk dengan pencipta dan hubungan sesama makhluk.

Muqaddam biasanya dilakukan saat dara pade (usia padi 40-55 hari), jika dikaji dari perspektif ilmu pertanian, usia tersebut dapat dikategorikan bahwa tanaman padi masih dalam fase vegetatif, pada fase ini terjadi perkembangan akar, daun, dan batang baru pada tanaman padi.

Adapun untuk melaksanakan ritual ini, masyarakat mengadakan muafakat terlebih dahulu, dikoordinasi langsung oleh Keujruen blang (pemimpin lembaga adat yang mengurus bidang persawahan), kedudukan lembaga ini sudah diatur dalam Pasal 25 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat (Badruzzaman Ismail, 2013: 11)

Saat tiba  pada hari yang disepakati, masyarakat datang ke area persawahan yang telah ditentukan untuk mengikuti ritual muqaddam. Kegiatan awal dalam ritual ditandai dengan pembacaaan kitab muqaddam oleh Teungku imum (pemuka agama tingkat desa) dan diikuti oleh masyarakat.

Dalam kitab itu berisi surah-surah al-Quran pilihan, zikir, dan kumpulan doa-doa. Uniknya, kitab tersebut bukan hasil cetakan, melainkan tulis tangan Teungku Syik semasa hidupnya. Keuunikan lainnya yaitu kitab disimpan dalam wadah berbentuk persegi empat, berbahan dasar kulit kambing kemudian dibunungkus dengan kain putih.

Kegiatan kedua yaitu makan bersama, makanan berasal dari masyarakat yang dibawa pada acara ritual. Dalam hal ini, anak yatim, fakir, miskin menjadi prioritas utama, dipastikan terlebih dahulu mereka sudah mendapatkan jatah makanan, agar memperoleh keberkahan dari Allah Swt.

Kegiatan ketiga dalam ritual muqaddam adalah peusijuk (menepung tawar) dan menulis doa-doa pada helaian kain putih, kegiatan ini menjadi puncak ritual. Masyarakat sebelumny telah menyediakan air bunga yang ditampung dalam wadah besar.
Selain air bunga, masyarakat turut membawa beberapa jenis tumbuhan yang sudah diikat menjadi satu ikatan, tumbuhan tersebut antara lain oen seunijuek (cocor bebek), oen manek manoe (daun warna warni), oen naleung samboe (rumput saut), oen gaca (daun inai), oen seuke pulot (daun pandan wangi), oen pineung (daun pinang), oen rehan (daun raihan) , dan oen sitawa (daun sitawa). 

Tidak hanya itu, Teungku imum juga menulis doa-doa pada helaian kain berwarna putih, kain tersebut nantinya akan disobek menjadi ukuran kecil dan dibagikan kepada petani. Sebelum disobek, kain yang sudah ditulis doa, air bunga serta jenis tumbuhan yang telah tersedia dipeusijuek (ditepungtawari) terlebih dahulu.

Teungku Imum sedang menulis doa-doa di kain berwarna putih. (Foto by: Khalid Muttaqin)

Tujuan digunakan air bunga dan beberapa jenis tumbuhan lainnya, besar kemungkinan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan hama pada masa itu, mengingat tidak tersedianya Pestisida kimia seperti zaman sekarang, sehingga harus menggunakan bahan-bahan organik yang tersedia.
Setelah proses peusijuek, Teungku Imum secara simbolis menaruh bahan-bahan yang di peusijuek  pada sawah warga, selebihnya diberikan kepada warga. Sebelum mengakhiri ritual, Keujruen memberi pengumuman kepada petani agar tidak kesawah tiga hari setelah melakukan ritual karena menjadi pantangan. Demikian runut kegiatan ritual muqaddam berdasarkan hasil observasi di Desa Bunien, Kecamatan Simpang Tiga.
Menjadi tanggung jawab bersama melestarikan budaya muqaddam, terutama bagi generasi milenial, agar budaya ini tidak tergerus oleh zaman. Selain dipandang sebagai warisan dari leluhur, budaya muqaddam telah menjadi identitas Aceh yang tidak terpisahkan  khusunya bagi masyarakat di Kabupaten Pidie.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »