DIAKUI atau tidak, Islam telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Aceh. Dalam istilah lain, Islam dengan konsep hukum
syariahnya telah menjadi identitas kita masyarakat Aceh. Karena itu, tidak
mengherankan jika pola perilaku masyarakat Aceh banyak sekali yang mendapat
sentuhan atau pengaruh dari Islam. Tersebab itu pula, di Aceh ada adagium, Hukom
ngon Adat lage zat ngon sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan
sifatnya, tidak terpisah).
Yang dimaksud hukum disini ialah hukum Islam seperti
yang diajarkan oleh ulama-ulama kita dan seperti yang sudah kita dapati dalam sejarah
endatu kita yang pernah merasakan kejayaan dan kesejahteraan karena berkehidupan
dengan konsep hukum Islam.
Dalam lintasan sejarah Aceh pun, Islam dengan
konsep hukum syariahnya (baca: syariat Islam, selalu menjadi perhatian para
tokoh-tokoh besar Aceh. Bahkan, beragam gejolak yang pernah terjadi di bumi
Aceh, salah satu faktornya didasari oleh hasrat untuk penegakan hukum Islam. Dulu,
Abu Daud Breueh pernah bersitegang dengan pemerintah pusat, sehingga rela naik
gunung dan menggerakan sebuah perlawanan yang kita kenal dengan gerakan DI/TII
Aceh, didasari oleh hasrat untuk memberlakukan hukum Islam.
Kemudian, setelah itu, ketika ramai-ramai
masyarakat Aceh bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan
oleh Hasan Tiro, juga berangkat dari semangat untuk menerapkan hukum Islam di
bumi Aceh. Singkat kata, Islam dengan konsep hukum syariahnya telah menjadi sebuah
standar hidup yang diinginkan oleh masyarakat Aceh.
Tentunya salah satu bagian dari konsep hukum
Islam adalah adanya hukuman cambuk. Hukuman cambuk merupakan semacam hukuman
badan yang diberikan kepada orang yang terbukti melanggar norma-norma Islam
seperti berzina, berjudi, minum minuman keras, dan menuduh orang mukmin berzina
tanpa kelengkapan bukti. Dalam proses penjatuhan hukumannya pun dibuat semacam
pengadilan rakyat, dilaksanakan didepan khalayah ramai dan proses cambuknya tergantung
dari bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh si pelaku. Dengan adanya hukuman
cambuk diharapkan agar si pelaku merasa malu dengan kesalahannya dan masyarakat
lain terhindar dari perbuatan yang mengarah kepada pelanggaran nilai dan norma
Islam tersebut.
Prosesi hukuman cambuk ini tak pernah sepi dari
sorotan publik, khususnya dari pihak luar Aceh. Banyak pihak luar Aceh – ada
juga dari kalangan Aceh – melemparkan kritik bahwa, hukum cambuk telah
melanggar HAM. Ada pula yang mengatakan hukum cambuk tidak relevan lagi dengan
konsep dunia saat ini, dimana manusianya sudah semakin modern. Ada lagi yang lebih
aneh, katanya memberlakukan hukum cambuk bagi orang dewasa yang melakukan zina
dan didasari atas unsur rasa sama-sama suka merupakan bentuk kriminalisasi
hukum. Memberlakukan hukum cambuk sama dengan kembali kepada masa silam atau sebuah
kemunduran.
Beberapa hari lalu, prosesi hukuman cambuk
tersebut kembali diperdebatkan. Ini terkait dengan wacana dari pemerintah Aceh
sendiri yang berkeinginan untuk memodifikasi atau menghendaki agar pelaksanaan
hukum cambuk di digelar secara tertutup, tidak lagi digelar secara terbuka
didepan umum. Konon, alasannya syariat Islam dengan hukuman cambuknya telah
membuat persepsi negatif bagi para investor. Sehingga para investor enggan
untuk berinvestasi di Aceh.
Timbul pertanyaan, apakah benar prosesi hukum
cambuk membuat para investor tidak mau berinvestasi di Aceh? Jangan-jangan
wacana pemerintah untuk memodifikasi hukum cambuk merupakan bagian dari bentuk
olahan pihak asing yang tidak menginginkan adanya penerapan hukum Islam di
Aceh, sehingga mereka mencoba bermain “politik” dalam pemerintahan kita dan pemerintah
kita sudah termakan dengan “olahan politik” mereka.
Kalaupun pemerintah masih berasumsi bahwa prosesi
hukum cambuk telah membuat investor lari, bagaimana dengan negara-negara Islam
lain, seperti Arab Saudi, mereka memberlakukan hukum cambuk dan investor datang
kesana untuk berinvestasi. Menurut hemat penulis, justru yang membuat investor
enggan berinvestasi di Aceh karena ada faktor “X” , baik berkaitan dengan
keamanan atau berkaitan dengan kesiapan dalam menerima investor. Seperti kita
ketahui bersama, di Aceh, banyak sekali pungutan-pungutan liar yang tidak
rasional. Pungutan-pungutan liar inilah membuat investor “ciut” dalam
berinvestasi.
Dengan demikian, merupakan sebuah kesalahan
besar jika pemerintah Aceh mengkambinghitamkan (baca: menuduh) hukuman cambuk sebagai
faktor kurangnya minat investor untuk berinvestasi di Aceh. Pemerintah Aceh
harus berupaya bagaimana memberikan persepsi positif kepada investor agar mau
berinvestasi di Aceh dengan cara memberikan kenyamanan dalam berinvestasi bagi
investor, baik dalam bentuk keamanan di lapangan, kesiapan sumber daya manusia,
ataupun sumber daya pendukung lainnya.
Artikel ini telah dipublikasi di media Aceh trend
http://www.acehtrend.co/menyikapi-polemik-hukuman-cambuk/
EmoticonEmoticon