Kemeriahan Ramadhan dan Semangat Ibadah


TANPA terasa kita umat Islam telah berada dipenghujung bulan Ramadhan. Tinggal menghitung hari, bulan yang penuh keberkahan ini pun akan ‘berangkat’ dan pergi jauh meninggalkan kita. Dan, sudah barang tentu, ditahun selanjutnya kita pun tidak bisa memastikan untuk dapat ‘berjumpa’ kembali dengan bulan tersebut. Soalnya, nikmat umur panjang yang Allah berikan belum tentu masih dipersinggahkan di raga kita. Karena itu, sungguh merugi andaikata bulan Ramadhan yang mulia ini tidak dapat kita maksimalkan guna peningkatan amal ibadah kepada Allah SWT.


Adalah sebuah hal wajar ketika dipenghujung bulan Ramadhan yang tersisa beberapa hari lagi, umat Islam disibukkan dengan aktivitas ibadah yang terus menerus, baik di siang harinya maupun dimalam harinya. Maka tak heran, dilingkungan masyarakat yang kental dengan nuansa Islam, saat tibanya penghujung Ramadhan mesjid-mesjid penuh dengan orang-orang yang aktivitasnya ibadah kepada Allah. Lebih-lebih lagi, dipenghujung Ramadhan Allah telah mengisyaratkan akan datangnya sebuah malam (lailatul qadar) yang jika kita beribadah di saat malam tersebut lebih baik dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan selama 1000 bulan atau 83 tahun 4 bulan. 83 tahun 4 bulan merupakan jumlah umur rata-rata yang dimiliki oleh umat Nabi Muhammad atau umat akhir zaman. Karena itu, sekali saja berkesempatan ibadah di malam Lailatul Qadar maka sama dengan telah beribadah seumur hidup. 

Namun, fakta atau kenyataan yang terjadi lingkungan kita justru berbeda. Jika kita mengimpikan dipenghujung Ramadhan kemeriahannya semakin besar, aktivitas masyarakat dalam hal beribadah semakin meningkat, maka yang kita lihat justru sebaliknya. Di penghujung Ramadhan kemeriahannya tidak begitu terasa lagi, aktivitas ibadah masyarakatpun mulai menurun. Ini terlihat dari banyaknya mesjid-mesjid, menasah-menasah atau mushala-mushalla, mulai berkurang jamaah shalatnya. Aktivitas tadarus Al-Quran dimalam hari pun yang sebelumnya begitu menggema, seakan hilang sudah ‘nilai tawarnya’. Padahal, orang yang tadarus Alquran merupakan golongan orang yang dirindukan oleh surga, apalagi dilakukan di bulan Ramadhan yang sangat mulia ini.

Jika dicermati (mungkin) meredupnya kemeriahan Ramadhan punya korelasi dengan semangat yang dimiliki oleh masyarakat, dimana kalau kita ibaratkan semangatnya laksana ikue tikoh atau ekor tikus. Ekor tikus ukurannya semakin ke ujung maka semakin aloeh (mengecil).

Nah, semangat Ramadhan yang dimiliki oleh masyarakatpun sepertinya juga demikian. Diawal Ramadhan semangat yang dimilikinya besar, sehingga pola perilaku masyarakatpun dibandingkan sebelum Ramadhan dengan sesudah memasuki Ramadhan terlihat begitu kontras. Mesjid-mesjid, menasah-menasah atau mushalla-mushalla yang sebelumnya terlihat sepi menjadi penuh dengan aktivitas ibadah kepada Allah, baik yang terlihat dari aktivitas ibadah dimalam harinya seperti shalat terawih secara berjamaah, tadarus Al-quran secara individu atau bersama, maupun disiang harinya dengan ibadah-ibadah lainnya. Namun, ketika tibanya penghujung Ramadhan, semangatnyapun menjadi kecil dan terus mengecil, hingga aktivitas ibadah yang dilakukannya pun mengalami penurunan.

Ironisnya lagi, aktivitas konsumsi dipenghujung Ramadhan yang notabenenya hanya untuk menunjang kebutuhan duniawi justru meningkat. Hal ini terlihat dari membludaknya pasar atau pertokoan oleh masyarakat dalam hal ‘tradisinya’ untuk menyambut lebaran. Sekarang coba kita renungi, bagaimana kita mengharapkan akhir Ramadhan untuk mendapatkan ‘predikat’ taqwa dari Allah, sementara dipenghujung Ramadhan aktivitas ibadah kita justru melempem? Nah!

Artikel ini telah dipublikasi di media berita LintasNasional
http://www.lintasnasional.com/2017/06/20/kemeriahan-ramadhan-dan-semangat-ibadah/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »