Saat ini penampilan fisik kerap kali menghantui remaja. Bahkan membuat mereka terjerumus ke dalam penyakit mental yakni; insecure atau perasaan minder. Padahal, fisik tiap individu manusia itu sudah di-setting secara default oleh Sang Pencipta dengan standar kecantikan dan keunikannya tersendiri.
Beberapa pekan lalu, saya menerima keluhan dari seorang anak didik berinisial Bunga. Kepada saya Bunga mengaku seringkali dihinggapi oleh perasaan minder dengan penampilannya.
Ia melihat teman-temannya lebih cantik dari dirinya. Bunga melihat temannya lebih percaya diri karena dianugerahi kecantikan yang luar biasa. Mereka memiliki warna kulit putih bening, tinggi maksimal, kurus, dan juga pintar. Bunga ingin seperti teman-temannya. Dia tidak nyaman dengan kondisinya saat ini.
Apa yang dialami oleh Bunga, saya yakin, bukanlah sebuah masalah sepele. Ada banyak sekali Bunga di daerah lain yang memiliki persoalan serupa yakni; insecure. Memang perasaan minder pada anak kerap muncul saat rasa syukur atau afirmasi terhadap penampilan fisik yang dimiliki tidak sesuai dengan keinginannya.
Ditambah lagi dengan konsumsi media sosial yang tak terbendung oleh si anak. Kondisi ini diperparah karena remaja masih masuk kategori usia labil, mudah sekali terpengaruh dengan perubahan di sekitarnya.
Remaja kita saat ini dihadapkan oleh promosi produk kecantikan oleh industry. Setiap hari mereka “diserang” oleh tawaran produk yang diklaim bisa mengubah arang menjadi salju. Remaja kita terjebak di dalamnya.
Derasnya “kampanye” untuk mengutamakan penampilan fisik dengan indikator tertentu, seperti harus putih bening, berhidung mancung, kurus atau lain sebagainya, secara langsung membuat anak atau remaja mengukur kecantikan dengan semua indikator tersebut. Sehingga ketika didapati hasil yang tidak selaras dengan indikator semu tersebut, mereka tidak percaya diri dengan standar fisik yang dimilikinya.
Konon lagi, dengan kemajuan teknologi internet yang menghadirkan sesuatu sesuai dengan algoritma. Maka gempuran produk kecantikan hasil produksi industri yang menjanjikan kecantikan semu nan palsu, mengalir deras bak air bah. Tidak ada yang bisa membendungnya.
Majaila dan Pehkonen mengungkapkan bahwa (dalam juliana dan surya, 2017) menyebutkan,“selfconfidence another variable that seems to be an important predictor for future development.” Artinya percaya diri merupakan suatu variabel lainnya yang tampak menjadi prediktor penting untuk pengembanggan masa depan.
Sebanding dengan itu,Yoder dan Proctor (dalam Rahayu, 2013) mengungkapkan bahwa, anak-anak yang dapat dikatakan memiliki kepercayaan diri tinggi adalah jika anak tersebut aktif namun tidak berlebihan, tidak mudah terpengaruh dengan orang lain, mudah bergaul, berpikir positif, penuh tanggung jawab, energik, dan tidak mudah putus asa, dapat bekerja sama, serta mempunyai jiwa pemimpin.
Terkait dengan hal tersebut, tentunya sebagai orangtua dan pendidik (perpanjangan tugas orangtua dalam keluarga) guru harus turun tangan untuk segera mencari solusinya.
Baca juga: Menumbuhkan Empati pada Anak
Keluarga di rumah seyogyanya menyediakan waktu untuk duduk bersama dengan anak untuk mendiskusikan dan merumuskan apa saja informasi yang dirasa keliru atau belum sewajarnya diterima oleh anak. Apa lagi ibu, sebagai orangtua yang sangat dekat dengan anak secara emosional memiliki pengaruh besar dalam pembentukan mental yang tangguh dalam diri anak.
Anak yang insecure dalam artian tidak memiliki rasa percaya diri sejak kecil, cenderung menjadi anak berperasaan negatif seperti pemalu, pendiam, dan kesulitan untuk bergaul hingga ia dewasa.
Menurut (Hendra, 2007) perasaan negatif yang tidak ditanggulangi sedini mungkin, dapat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Hal ini membuat anak tidak cakap untuk bersosialisasi maupun mengaktualisasikan segenap kemampuannya, minim inisiatif, tidak punya keberanian menghadapi tantangan baru dan hidup yang serba tergantung pada orang lain hingga usianya dewasa.
Oleh karena demikian, problem insecure pada anak dan remaja harus ditangani sedini mungkin oleh orangtua. Sebelum berefek yang lebih panjang pada perkembangan si anak, mengingat rasa minder akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia anak.
Satu lagi yang perlu dipahami oleh orangtua dan guru di sekolah. Bahwa minder pada anak bisa diminimalisir dan hilang bila orangtua dan guru sering memuji anak. Dengan demikian, janganlah sungkan dalam memberikan apresiasi kelebihan si anak atau keberhasilan anak. Karena melalui cara yang demikian anak merasa bangga dengan dirinya dan kemudian (harapannya) tersemai mental yang sehat dalam menilai dirinya.
Akhirnya, kita semua tidak akan mampu membendung “serangan” industri, yang setiap hari menggempur remaja kita dengan produk-produk yang menjanjikan kecantikan instan sesuai dengan konsep kapitalisme pasar bebas.
Seperti yang saya sampaikan di atas, hal-hal kecil, dan berdampak besar dapat kita lakukan demi menyelamatkan para remaja, agar mereka dapat bertahan dari gempuran pasar, dan menjadi sosok berkualitas di masa depan.
EmoticonEmoticon