ADALAH kurang lengkap bila kita bepergian ke suatu tempat, tetapi tidak tidak membawa pulang buah tangan yang menjadi kekhasan dari tempat tersebut. Bila kita bepergian ke Sabang, misalnya, maka wajib bagi kita sepulang dari sana membawa pulang buah tangan berupa Bakpia Sabang atau Dodol Khas Sabang. Lalu kita pergi ke Langsa, mesti pula membungkus pulang barang satu kilogram atau dua kilogram Terasi Langsa.
Semua daerah tentu punya kekhasan sendiri, baik dari segi kuliner, artefak, atau semacamnya yang menjadi simbol untuk dijadikan sebagai buah tangan yang juga memberikan penanda bahwa kita; sudah melintasi tempat tersebut.
Seperti halnya kami yang bepergian ke Aceh Barat beberapa waktu lalu. Sepuluh hari kami di sana, dalam rangka melakukan visitasi terhadap calon siswa penerima beasiswa dari PT. MIFA dan PT. BEL untuk bersekolah di institusi kami, Sekolah Sukma Bangsa Pidie. Kami berkeliling di wilayah Aceh Barat mulai dari kota dengan jalannya yang beraspal, hingga ke pelosok desa dengan jalan yang berkerikil dan menjumpai lobang-lobang bekas genangan air kala hujan seperti tertata di Lintasan. Ironisnya, tidak satupun kami temui jajanan berupa buah Rumbia (Aceh; Boh Meuria) yang sedianya mau kami beli dan cicipi dalam proses kunjungan dari satu desa ke desa lainnya. Meski tak bisa ditampik, kebun Rumbia, tak susah untuk kita temui karena masih terlihat di banyak tempat di Pedalaman Meulaboh.
Melihat realitas yang demikian, tentu tidak salah bila kita berkesimpulan, bahwa Boh Meuria, yang dalam bahasa latinnya dikenal dengan Metroxylon sagu, merupakan satu dari beberapa jenis buah-buahan kian langka di Aceh. Sudah sangat jarang kita temui orang menjajakan Boh Meuria baik di pasar wilayah perkotaan maupun di pasar di perkampungan-perkampungan.
Rumbia merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh dengan bagus di daerah yang memiliki lahan gambut, rawa-rawa, atau lahan yang tergenang di mana tumbuhan lain susah untuk tumbuh. Oleh karena demikian, di beberapa wilayah yang rawa-rawanya banyak, maka Rumbia membentuk kebun atau semacam hutan sagu.
Di Aceh, daerah penghasil buah rumbia yang sudah sangat terkenal tak lain dan tak bukan adalah Meulaboh, Aceh Barat. Karena itu pula, berbicara tentang Boh Meuria maka yang teringat adalah kota meulaboh.
Meulaboh, memang terkenal sebagai wilayah penghasil Boh Meuria. Namun demikian, pasca Tsunami 2004, Boh Meuria mulai disadari oleh orang-orang akan kelangkaannya yang belum teratasi.
Ada banyak pohon Rumbia di Meulaboh, tapi sayangnya yang menghasilkan buah semakin sedikit. Fakta ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelum Tsunami, yang Boh Meuria Meulaboh bisa “diekspor” hingga ke kabupaten-kabupaten tetangga.
“Boh Meuria eksistensinya semakin kesini makin redup saja,” ucap salah satu rekan kami yang ikut menjelajah wilayah Meulaboh.
Cerita dari Penjaja Boh Meuria
Keinginan kami untuk membawa pulang buah tangan, berupa Boh Meuria dari Meulaboh, hampir saja terwujud. Kami menemukan penjaja Boh Meuria di Pasar Tradisional pinggir jalan Nasional, dan masih dalam kawasan wilayah Aceh Barat. Tepatnya di Desa Peuribu, Kecamatan Arongan Lambalek.
Namun demikian, sayangnya, kami tidak dapat membawa pulang buah tangan tersebut. Karena belum “di peujruek” dan khawatir bila tidak langsung memakannya, maka Boh Meuria tersebut keburu busuk dalam perjalanan pulang kami ke Pidie, yang harus singgah di Kabupaten Aceh Jaya untuk beberapa malam.
Cerita dari pedagang yang kami datangi, Boh Meuria merupakan bagian dari “buah tangan” yang sangat diminati dan dicari oleh setiap orang yang singgah di kios buah yang ia buka. Selalu saja ada orang yang singgah membelinya. Hingga Boh Meuria yang ia impor dari Sinabang laris manis saban harinya.
Ia menambahkan, Boh Meuria yang ia jajakan itu dijual dengan harga kisaran 50 ribu per kilogram. Katanya, harga itu masih murah, karena kalau sudah diasinkan bisa lebih mahal lagi. Tidak perlu menunggu hingga satu pekan Boh Meuria itu sudah habis dibeli oleh setiap pelancong atau orang yang melintasi wilayah pantai barat selatan. Bahkan salah satu dari rombongan kami mengeluarkan celetukan, “Sudah mahal boh meuria ketimbang buah salak, ya!”
Buah rumbia agak mirip dengan buah salak, dan dulu harga buah salak lebih mahal ketimbang buah rumbia, bedanya sekarang kalau buah rumbia sisik buahnya agak besar, dan rasanya kelat, tapi kalau sudah tua rasa kelatnya sedikit hilang dan mulai rasa yang manis.
Sementara cara menikmatinya mudah sekali bisa dimakan langsung, seperti kita menyantap buah pada umumnya, yang hanya membersihkan kulitnya lalu makan buahnya, atau bila ingin lebih nikmat Boh Meuria diasinkan dan juga “di peujruek” agar rasa kelatnya hilang.
Makan Menggunakan Pacuk Bambu
Teringat dulu masa kami kecil dalam menikmati Boh Meuria. Kami tinggal salah satu desa di Pidie, kebetulan sekitaran desa kami juga memiliki kebun Rumbia. Oleh karena demikian, masa kecil kami juga punya cerita yang unik dengan Boh Meuria.
Jadi, singkat saja, kami makan Boh Meuria adalah dengan cara menumbukkannya. Tempat tumbuknya bukan di Ceprek, melainkan dalam pacuk --terbuat dari bambu, di dalamnya kami bubuhkan bumbu semacam asam sunti, gula, dan juga pucuk daun kedondong agar rasa manis dari saripati daun Kedondong dapat mengalahkan rasa kelat pada Boh Meuria. Daun kedondong, pucuknya, emang diyakini bermanfaat dan punya nilai guna dalam menetralkan rasa yang tidak stabil pada sebuah objek makanan.
Di Pidie, memang, dulu mudah juga dijumpai buah rumbia, meski tidak semelimpah di Meulaboh. Namun entah apa penyebabnya buah rumbia di Pidie sudah jarang sekali didapatkan di Pasar, bahkan tidak ada lagi.
Punya Segudang Manfaat
Pohon Rumbia sudah dimanfaatkan oleh masyarakat terutama daunnya sebagai atap, buahnya sebagai antidiare dan batangnya sebagai sumber karbohidrat (Hasyim, 2016).
Di Indonesia, khususnya masyarakat Aceh, sebelum masuknya obat-obat modern, masyarakat menggunakan Boh Meuria sebagai bagian dari pengobatan tradisional. Sehingga di Aceh dikenal obat diare paling ampuh dan manjur itu, tak lain dan tak bukan, adalah Boh Meuria.
Berbagai penelitian membuktikan, bahwa boh meuria memiliki segudang manfaat bagi kesehatan. Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian Dewi Isnaini, dkk dan dimuat di majalah Farmasi Universitas Indonesia Timur Makassar , bahwa ekstrak daging buah rumbia ternyata dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Buah rumbia merupakan salah satu tanaman yang mengandung tanin. Tanin memiliki rasa sepat dan bersifat sebagai astringent dimana zat ini dapat meredakan diare dengan menciutkan selaput lendir sehingga menghambat sekresi jaringan.
Sayangnya buah ini sudah sangat langka untuk dimanfaatkan kandungannya, meski kita pergi mencari ke lumbung penghasilnya, yakni Aceh Barat. Tentu kita berharap, agar para sarjana pertanian yang ada di wilayah setempat atau Aceh secara umum meneliti ihwal penyebab pohon Rumbia yang semakin susah berbuah, hingga menjadikannya langka. Dengan demikian, diharapkan, nantinya kalau sudah ada penelitian, akan ada sebuah formula untuk memberdayakan Pohon Rumbia agar terus menghasil buahnya yang memiliki banyak manfaat itu.
Mudah-mudahan saja, Boh Meuria ini tidak menjadi buah mitos di masa akan datang, dan masih bisa dinikmati kekhasan rasanya sama anak-anak dan generasi kita. Meskipun, “buah-buahan kota” sudah masuk dan menggempuri pasar-pasar tradisional kita. Nyanban
*
Artikel ini sudah tayang di Serambi Indonesia
EmoticonEmoticon