Menumbuhkan Empati pada Anak {Teras Emsyawall}

BELAKANGAN ini sering kita jumpai fenomena di mana hilangnya empati pada generasi muda kita.

Mengeluarkan sumpah serapah di ruang publik, berkata kotor atau kasar terhadap temannya, membuang sampah sembarangan, marah ketika ditegur, apatis terhadap orang sekitarnya, dan beragam macam perilaku lainnya yang mengganggu kenyamanan dan merugikan orang lain.

Perilaku-perilaku tersebut merupakan gambaran sikap generasi muda kita yang jauh dari empati.



Apa itu empati?

Empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga kita mampu mengolah rasa untuk memahami apa yang dirasakan orang lain dan menyelaraskan dengan perilaku.

Mengajarkan empati pada pada generasi muda, yakni anak-anak kita, merupakan sebuah kemestian yang penting adanya.

Karena, hal tersebut dapat membantu mereka dalam bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

Hal ini terlihat dari hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari berbunyi, “Kal bunyanin yasuddu ba’dhuhu ba’dhan”. Mencermati isi hadis ini maka dapat kita pahami bahwa kita dengan orang sekitar adalah satu dan tak terpisah laiknya bangunan; satu sama lain saling mengokohkan.

Nah, beragam penelitian yang mengkaji tentang perilaku anak menyimpulkan bahwa empati merupakan salah satu sikap yang mesti dimiliki anak, karena membantu mereka dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat dan damai dengan anak-anak seumurannya.

Anak yang memiliki sikap empati akan jauh dari emosi negatif yang biasanya kompleks, seperti muak, sombong, dan marah, karena ia mampu merefleksikan diri dan memahami situasi dan kondisi orang lain.
Hal yang demikian akan membuat anak cenderung lebih disukai oleh teman-teman sejawatnya dan orang lain di sekitarnya.

Kita sungguh tak sanggup membayangkan jika anak tumbuh tanpa ada rasa empati, karena hal itu menyulitkan mereka dalam berteman, seperti dijauhi atau tidak disukai oleh teman-temannya.

Bila hal demikian dirasakan oleh seorang anak, tentu yang terjadi kemudian adalah munculnya perasaan teralienasi (terasing) dari lingkungan sekitarnya.

Sehingga kelak, ketika ia dewasa, selain menjadi manusia yang apatis, ia juga menjadi manusia yang lebih mudah stres, depresi, dan mudah putus asa.

Oleh karena itu, mengajarkan empati pada anak sama halnya dengan memberikan modal sosial yang berharga bagi mereka yang dapat dipakai hingga umurnya menua, yang juga dapat mengantarkan mereka menjadi manusia yang saleh dari segi individualnya dan saleh dari segi sosialnya.

Lalu, bagaimana menumbuhkan empati pada anak?

Rasa empati tidaklah muncul atau bawaan dari lahir.
Empati muncul seiring proses perkembangan dan perjalanan manusia dalam bersosialisasi di lingkungan sekitarnya.

Oleh sebab itu, menumbuhkan empati pada diri individu manusia membutuhkan waktu yang lama.

Ini karena, empati merupakan sikap yang dibentuk dan dipelajari lalu diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian anak manusia. Terdapat segudang cara dalam menumbuhkembangkan empati pada anak.

Namun demikian, saya menyarikan dari ragam cara itu terdapat dua cara yang efektif.

Pertama, memberikan buku bacaan atau cerita yang membangun nilai empati.

Diakui atau tidak, melalui bacaan buku, cerita yang memungkinkan anak masuk dan memahami karakter ikon dalam ceritanya.

Juga dengan menonton film yang mengandung nilai sosial kemanusiaan dapat mendorong dan menumbuhkan sikap empati pada anak.

Berkaca dari pengalaman saya ketika mengajar, sering kali sebagai ‘reward’ pada mereka yang sudah mengikuti penilaian ulangan misalnya, saya ajak mereka untuk menonton film yang sudah saya seleksi sedari awal dan khusus di dalamnya mengajarkan tentang pentingnya berempati.

Setelah menonton film tersebut, saya berikan tugas sebagai bagian refleksi dari kegiatan menonton tersebut. Ternyata, ada perubahan pada mereka tentang bagaimana berempati terhadap sesamanya.
 

    Baca juga: Remaja dan Kecantikan Semu


Sehingga, kelas yang dulunya diisi oleh ocehan dan celotehan tidak beraturan –yang kemungkinan menyinggung perasaan sesama mereka seperti yang arahnya bullying--secara berangsur-angsur berubah menjadi kelas yang aman, damai, dan harmonis.

Kedua, bertamasya ke kampung sekitar. Cara yang kedua ini lebih efektif ketimbang yang pertama.

Cara inilah yang dilakukan secara berpola oleh Sekolah Sukma Bangsa Pidie dalam  menumbuhkembangkan rasa empati pada anak baik yang sedang belajar di level SD, SMP, maupun SMA.
Cara ini dapat Anda teladani dan selanjutnya Anda aplikasikan pada keluarga --khususnya yang sudah berkeluarga dan memiliki anak--ataupun pada komunitas Anda yang di dalamnya berhubungan dengan anak-anak seperti PAUD, TK, hingga SMA.

Ya, sebagai perpanjangan tangan dari orang tua anak, kita yang sudah mendedikasikan diri sebagai pendidik penting mengajak anak didik kita untuk berwisata pada kampung-kampung di lingkungan sekolah, yang di kampung tersebut terdapat keluarga-keluarga yang hidupnya masuk dalam kategori ekonomi kelas bawah atau termarginalkan.

Saat mendapati keluarga miskin tersebut--melalui arahan guru--mereka memberikan paket sembako yang dibeli sendiri oleh mereka dari hasil uang yang dikumpulkannya pada hari Jumat di setiap pekannya.

Acap kali, para orang tua yang mengerti kegiatan ini memberikan sumbangan yang lebih melalui anaknya.
Nah, dalam kegiatan tamasya tersebut, anak akan melihat sendiri realitas kehidupan di lingkungan sekolahnya, yang jauh berbeda dengan mereka.

Sehingga, dari kegiatan tersebut, terpatri sikap empati pada anak untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Program ini ternyata manjur bagi pertumbuhan rasa empati pada anak.

Hal ini terbukti, tanpa dipaksa si anak dengan sendirinya menyisihkan uang jajannya untuk bersedekah dan menyumbang pada setiap kegiatan amal, seperti ketika terjadi banjir di Tangse, gempa Pidie Jaya, erupsi Gunung Semeru, dan beragam bencana atau musibah lainnya, baik di daerah sendiri maupun di luar Aceh.

Pun kami sebagai guru yakin melalui kegiatan ini–tamasya ke kampung--dan melihat langsung orang-orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, hati anak akan lebih mudah tersentuh sehingga ia menjadi lebih peduli baik kepada anggota keluarganya dan juga orang di sekitarnya.

Melalui reportase sederhana ini, saya berpesan dan mengajak kita semua, mari dedikasikan diri untuk lebih giat dalam menumbuhkembangkan empati pada generasi muda kita, anak-anak kita, guna tumbuh dan kuatnya karakter anak bangsa yang tidak hanya berintelektual tinggi, tapi juga berhati mulia. Nyan ban.



**
Tulisan ini sudah tayang di media Serambi Indonesia

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »