Menyemai (kembali) Nilai-Nilai Multikulturalisme


INDONESIA ialah negara yang penuh dengan kemajemukan dari segi etnik, bahasa, dan agama. Keberagaman ini seperti pisau dengan dua sisi yang sama tajamnya. Di satu sisi, kemajemukan dapat dilihat sebagai berkah karena dalam pandangan agama ialah bagian dari sunnatullah, fitrah makhluk, terutama manusia, yang tidak mungkin seragam. Di sisi lain, keberagaman juga dapat menjadi sumber konflik sosial.
 
Keberagaman bisa menjadi bahaya dan malapetaka besar bagi keutuhan bangsa yang multietnik jika penduduknya memiliki pandangan bahwa kemajemukan ialah suatu hal yang harus dihindari, bahkan harus 'diseragamkan'. Jadi, kemajemukan ialah anugerah sekaligus musibah. Anugerah, bila kita mampu mengelola dengan baik, dan menjadi musibah apabila tidak mampu mengelola kemajemukan ini dengan baik. 
 
Kemajemukan di Indonesia Data sensus BPS (2010) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki populasi penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Jumlah suku bangsa di Indonesia ini secara keseluruhan mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa, dan memiliki bahasa daerah mencapai 2.500 jenis bahasa, serta menganut agama dan kepercayaan beragam, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Kenyataan tersebut membuka peluang terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa. Bagi masyarakat Indonesia, kemajemukan bukanlah hal yang baru. Berkaca pada masa lalu, ketika sila pertama dalam Pancasila yang berisi kalimat 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' diubah dengan kalimat 'Ketuhanan yang Maha Esa', maka saat itu pula wacana kemajemukan sudah diterima masyarakat Indonesia.
 
Pancasila, sebagai ideologi bangsa mengakomodasi keberagaman masyarakatnya dari segi etnik, agama, dan bahasa. Selain sila pertama memberikan ruang kehidupan keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa ada ancaman dari kelompok agama tertentu. Sila kedua dan sila ketiga juga berisi petunjuk untuk hidup bersama yang saling menghargai dan menjalin persaudaraan yang erat. Akan tetapi, belakangan ini kemajemukan di Indonesia mulai terganggu. Hal ini ditandai dengan maraknya paham-paham radikalisme dan juga rasialisme yang mulai merebak. Tak hanya itu, berbagai bukti empiris menunjukkan intoleransi dan ketidakharmonisan antarsuku, agama, dan etnik pada masyarakat Indonesia masih berulang, seperti konflik antarsuku dan kasus intoleransi agama. Persoalan radikalisme di Indonesia mulai meningkat 10 tahun terakhir. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah, tetapi juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan (Merdeka.com, Sabtu (26/10/2019). Di tengah pandemi covid-19 ini, isu-isu yang mengarah kepada gerakan radikalisme tidak mereda dan tetap mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandemi menjadi peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah (Media Indonesia, Senin (30/3/2020).


Pendidikan multikultural 

Menurut Robert Longley (2020), multikulturalisme adalah cara suatu masyarakat menghadapai dan bersikap terhadap keragaman ras, etnik, bahasa, dan agama. Suatu masyarakat dikatakan masyarakat yang multikultural ketika masyarakat tersebut dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lain dari berbagai ras, etnik, agama, dan kebangsaan, mereka akan mempertahankan, mewariskan, merayakan, dan berbagi cara hidup, bahasa, seni, tradisi, dan perilaku budaya mereka yang unik secara bersama-sama (https://www.thoughtco.com/whatismulticulturalism-4689285). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan nilai-nilai multikulturalisme ialah melalui pendidikan. Itu karena pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, dan perbuatan. 

Pendidikan multikultural secara etimologis memiliki arti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai dan merayakan pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnik, suku, dan aliran (agama). Studi yang dilakukan Tilaar (2003) menunjukkan bahwa pendidikan multikultural sangat penting bagi masyarakat, terutama dengan tingkat polarisasi yang tajam dan diferensiasi yang luas, seperti di Indonesia. Pandangan ini diperkuat oleh Masunah (2004) yang melihat keunikan dalam keragaman penduduk Indonesia sehingga pendidikan multikultural menjadi sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia untuk mempromosikan pemahaman tentang nilai-nilai pluralisme secara bertahap, mulai menumbuhkan sikap toleran, menumbuhkan sikap tidak merasa terganggu dengan perbedaan, menumbuhkan sikap ingin mengetahui dan mempelajari, menumbuhkan sikap mengakui dan menghargai perbedaan, dan terakhir menumbuhkan sikap pluralis, yaitu sikap seseorang bukan hanya toleran, tidak merasa terganggu, sudah mengetahui, mengakui, dan menghargai, tapi juga ikut memperjuangkan keberadaan mereka yang berbeda secara etnik, budaya, agama, dan sebagainya untuk hidup secara berdampingan dan merayakan perbedaan tersebut. 

Guru sebagai pendidik yang merupakan bagian dari anggota lingkungan sekolah sangat dibutuhkan perannya untuk menerapkan pendidikan multikultural. Pendekatan-pendekatan dan model pembelajaran perlu dirancang agar siswa mampu berdiskusi, berdialog, bahkan melakukan simulasi tentang bagaimana cara hidup saling menghormati dengan tulus dan toleran terhadap kemajemukan, keberagaman agama, dan budaya yang ada di tengah masyarakat. 

Guru mesti mengambil peran penting dalam menanamkan, menumbuhkan, dan melestarikan keragaman itu dengan selalu menunjukkan sikap antidiskriminasi. Semangat loyalitas dari guru sebagai role model terhadap nilai-nilai multikulturalisme juga perlu disuguhkan kepada para siswa, mulai cara pandangnya terhadap kemajemukan dan tindak-tanduknya di tengah masyarakat yang majemuk. 

Di samping itu, stakeholders di sekolah perlu merumuskan konsep pendidikan multikultural untuk kemudian memasukkannya ke dalam kurikulum dan menjadikan materi pendidikan multikultural sebagai tanggung jawab guru semua mata pelajaran. Hal ini penting untuk dilakukan karena saat ini masih ada pandangan bahwa pendidikan multikultural menjadi tanggung jawab mata pelajaran tertentu saja, baik sosiologi, PPKn, maupun pendidikan agama. Pemahaman tersebut bisa dimengerti karena memang mata pelajaran-mata pelajaran tersebut fundamental untuk menumbuhkembangkan karakter siswa, terutama untuk sikap spiritual dan sosial, seperti yang diamanatkan Kurikulum 2013. Keragaman kebudayaan sebagai bagian dari materi pelajaran harus diperhatikan secara serius oleh para pengembang kurikulum. Semangat pluralitas dengan penghargaan yang besar terhadap kemajemukan dan keberagaman wajib tersemai dengan baik pada tiap individu generasi Indonesia yang juga bakal menjadi pengendali arah kemudi bangsa ini 10 atau 20 tahun ke depan.

***

 Artikel ini sudah tayang di Media Indonesia. (https://mediaindonesia.com/opini/446891/menyemai-kembali-nilai-nilai-multikulturalisme)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »