Pendidikan multikultural
Menurut Robert Longley (2020), multikulturalisme adalah cara suatu masyarakat menghadapai dan bersikap terhadap keragaman ras, etnik, bahasa, dan agama. Suatu masyarakat dikatakan masyarakat yang multikultural ketika masyarakat tersebut dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lain dari berbagai ras, etnik, agama, dan kebangsaan, mereka akan mempertahankan, mewariskan, merayakan, dan berbagi cara hidup, bahasa, seni, tradisi, dan perilaku budaya mereka yang unik secara bersama-sama (https://www.thoughtco.com/whatismulticulturalism-4689285). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan nilai-nilai multikulturalisme ialah melalui pendidikan. Itu karena pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, dan perbuatan.
Pendidikan multikultural secara etimologis memiliki arti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai dan merayakan pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnik, suku, dan aliran (agama). Studi yang dilakukan Tilaar (2003) menunjukkan bahwa pendidikan multikultural sangat penting bagi masyarakat, terutama dengan tingkat polarisasi yang tajam dan diferensiasi yang luas, seperti di Indonesia. Pandangan ini diperkuat oleh Masunah (2004) yang melihat keunikan dalam keragaman penduduk Indonesia sehingga pendidikan multikultural menjadi sangat penting diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia untuk mempromosikan pemahaman tentang nilai-nilai pluralisme secara bertahap, mulai menumbuhkan sikap toleran, menumbuhkan sikap tidak merasa terganggu dengan perbedaan, menumbuhkan sikap ingin mengetahui dan mempelajari, menumbuhkan sikap mengakui dan menghargai perbedaan, dan terakhir menumbuhkan sikap pluralis, yaitu sikap seseorang bukan hanya toleran, tidak merasa terganggu, sudah mengetahui, mengakui, dan menghargai, tapi juga ikut memperjuangkan keberadaan mereka yang berbeda secara etnik, budaya, agama, dan sebagainya untuk hidup secara berdampingan dan merayakan perbedaan tersebut.
Guru sebagai pendidik yang merupakan bagian dari anggota lingkungan sekolah sangat dibutuhkan perannya untuk menerapkan pendidikan multikultural. Pendekatan-pendekatan dan model pembelajaran perlu dirancang agar siswa mampu berdiskusi, berdialog, bahkan melakukan simulasi tentang bagaimana cara hidup saling menghormati dengan tulus dan toleran terhadap kemajemukan, keberagaman agama, dan budaya yang ada di tengah masyarakat.
Guru mesti mengambil peran penting dalam menanamkan, menumbuhkan, dan melestarikan keragaman itu dengan selalu menunjukkan sikap antidiskriminasi. Semangat loyalitas dari guru sebagai role model terhadap nilai-nilai multikulturalisme juga perlu disuguhkan kepada para siswa, mulai cara pandangnya terhadap kemajemukan dan tindak-tanduknya di tengah masyarakat yang majemuk.
Di samping itu, stakeholders di sekolah perlu merumuskan konsep pendidikan multikultural untuk kemudian memasukkannya ke dalam kurikulum dan menjadikan materi pendidikan multikultural sebagai tanggung jawab guru semua mata pelajaran. Hal ini penting untuk dilakukan karena saat ini masih ada pandangan bahwa pendidikan multikultural menjadi tanggung jawab mata pelajaran tertentu saja, baik sosiologi, PPKn, maupun pendidikan agama. Pemahaman tersebut bisa dimengerti karena memang mata pelajaran-mata pelajaran tersebut fundamental untuk menumbuhkembangkan karakter siswa, terutama untuk sikap spiritual dan sosial, seperti yang diamanatkan Kurikulum 2013. Keragaman kebudayaan sebagai bagian dari materi pelajaran harus diperhatikan secara serius oleh para pengembang kurikulum. Semangat pluralitas dengan penghargaan yang besar terhadap kemajemukan dan keberagaman wajib tersemai dengan baik pada tiap individu generasi Indonesia yang juga bakal menjadi pengendali arah kemudi bangsa ini 10 atau 20 tahun ke depan.
***
Artikel ini sudah tayang di Media Indonesia. (https://mediaindonesia.com/opini/446891/menyemai-kembali-nilai-nilai-multikulturalisme)
EmoticonEmoticon