JUDUL tulisan yang tersebut di atas merupakan pertanyaan yang keluar dari mulut seorang laki-laki dalam sebuah potongan video ketika ia diminta pendapatnya oleh wartawan.
Ya, dalam video yang beredar dan viral beberapa pekan lalu di kalangan masyarakat Aceh, menampilkan seorang laki-laki, kisaran umur 60 tahun ke atas, dimana ia ditengarai sedang diwawancarai secara langsung oleh seorang wartawan. Wartawan tersebut menanyakan pendapatnya tentang musibah banjir dengan menggunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia). Dan jawaban laki-laki tersebut adalah di luar dugaan kita semua. Bukanlah pernyataan-pernyataan sebagai jawaban untuk pertanyaan dari wartawan itu, malah ia menanyakan wartawan itu dengan bahasa Acehnya yang khas; "Bahasa Aceh jeut droen?"
Satu sisi, dan bagi sebagian orang mungkin menggangap, apa yang terlihat dari seorang kakek itu menunjukkan bahwa rendahnya skill berbahasa dari kakek tersebut. Dan dengan gayanya itu cukup memberikan kita hiburan. Meskipun besar juga keyakinan saya bahwa beliau mampu berbicara dan memahami bahasa nasional dengan baik.
Mari kita merenung sejenak, bila pertanyaan serupa itu ditanyakan pada kita, "Bahasa Aceh jeut droen?" Kira-kira apa yang akan kita jawab.
Sekilas pertanyaan itu memang sederhana, karena jawabannya pasti bermuara pada tiga sudut; jeut (bisa), kureung jeut (kurang bisa), hanajeut (tidak bisa). Namun demikian, bila direnung pertanyaan itu (meski tidak kasar) cukup untuk "menggampar" kita masyarakat Aceh, yang dewasa ini sudah kadung nyaman meletakkan bahasa nasional sebagai alat komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan bahasa daerah, bahasa kita sendiri, sudah kita nomorduakan.
Yang menyedihkan lagi, hari ini muncul semacam isme bahwa yang menggunakan bahasa Aceh itu kampungan, kuno, kulot atau istilah-istilah peminggiran lainnya. Padahal, bahasa Aceh merupakan bagian dari identitas yang tidak boleh disepelekan, yang terhubung dengan latar belakang kelompok, etnis, suku, dan budaya kita Aceh. Kenapa Aceh menarik dimata wisatawan asing? Salah satu sebabnya ialah karena Aceh kaya akan nilai budayanya, yang didalamnya termasuk karena memiliki bahasa yang khas. Sehingga itu pula yang menjadi cermin dan memantulkan ke dunia luar, tentang kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa.
Lalu pertanyaannya, apa yang menyebabkan eksistensi bahasa Aceh kian meredup?
Penulis melihat, setidaknya ada tiga faktor penyebabnya. Pertama, dikarenakan kurangnya peran para orang tua di Aceh dalam menggunakan bahasa Aceh di lingkungan keluarganya. Orang tua dirumah, mestinya mengajarkan bahasa pertama untuk anaknya yaitu bahasa Aceh, baru kemudian dituntut untuk bisa berbicara bahasa nasional, dan tidak boleh lupa juga mengajaknya untuk belajar bahasa Asing --bahasa yang seyogyanya nanti mampu menjembatani ia dalam aktivitas kehidupan dengan manusia di berbagai belahan dunia.
Apalagi sekarang, kita sudah masuk dalam era globalisasi, bahasa yang digunakan oleh komunitas internasional adalah suatu kemestian untuk dipelajari. Dan bahasa daerah, bahasa Aceh, harus menjadi prioritas, karena itu yang akan menjadi karakter khas atau identitas kita.
Kedua, tingkat sosialisasi bahasa Aceh yang rendah di institusi pendidikan kita. Sejatinya, sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi harus memiliki sebuah mata pelajaran atau mata kuliah Bahasa Aceh yang arahnya adalah untuk melestarikan bahasa itu sendiri.
Kemudian disamping itu, perlu juga dibuat sebuah kebijakan khusus agar tersedianya satu hari dalam setiap pekannya untuk para warga sekolah atau perguruan tinggi menggunakan bahasa Aceh. Dengan kebijakan demikian, kita yakin, kalau pun tidak sukses membumikan kembali bahasa Aceh sebagai bahasa keseharian masyarakat Aceh yang bermastautin di Aceh, maka setidaknya sudah membantu memperlambat kepunahannya.
Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat Aceh akan pentingnya berbahasa Aceh. Ya, masyarakat kita sebahagiannya sudah terbelenggu oleh isme, sebagaimana saya sebutkan di atas, berbicara dalam bahasa daerah terkesan kampungan. Bahkan, kita malu kalau diketahui menggunakan bahasa nasional dengan logat dan dialek Aceh yang medok.
Bersebab itu pula, dengan anggapan bahwa berbicara dan mengajarkan anaknya sebagai individu baru dalam masyarakat dengan bahasa nasional, itu bagai sudah menempatkan mereka pada kelas sosial modern, alias tidak kampungan. Stigma-stigma semacam itulah yang semakin menjauhkan bahasa Aceh dengan penggunanya.
Maka sebagai penutup, kembali ke pertanyaan tadi, bila pertanyaan itu ditanyakan kepada kita, dan bila pertanyaan itu ditanyakan pula pada anak-anak kita di 50 tahun kedepan. "Bahasa Aceh jeut droen?" mudah-mudahan jawabannya adalah, "mantong jeut!".
Mari kita lestarikan lagi bahasa Aceh, sebagai bahasa keseharian yang akan kita gunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari dengan rasa yang bangga. Nyanban.
***
Artikel ini sudah tayang di media Gemarnews (https://www.gemarnews.com/2021/01/droen-jeut-bahasa-aceh.html)
EmoticonEmoticon