Mengenang Jiwa Muda Hasan Tiro


Penulis: Muhammad Syawal Djamil

Siapa yang tak kenal dengan sosok yang satu ini ? Sosok yang penuh kharisma, dipuji, dan penuh inspiratif.  Hasan Tiro –sebutan yang populer bagi masyarakat Aceh- merupakan sosok yang selalu menarik untuk di bahas, dan rasanya tak akan pernah bosan untuk “menyisir” setiap sendi kehidupannya.

Hasan Tiro adalah anak kedua dari pasangan teungku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah, yang lahir di kampong Tanjong Bungong, Kabupaten Pidie, tepatnya tanggal 25 September 1925. Hasan Tiro meninggal di Banda Aceh pada tanggal 3 Juni 2010 (dalam umur 84 tahun). Beliau adalah keturunan ketiga dari Tgk Chik Muhammad Saman di Tiro, yang tak lain adalah pahlawan nasional Indonesia.

Melihat aktivitas semasa hidupnya yang lebih suka “kekirian”,  mungkin wajar  apa yang dikatakan oleh orang “diseberang sana” bahwa Hasan Tiro merupakan sosok yang keras, pembangkang, dan penebar benih-benih kebencian  terhadap keutuhan Nusantara atau kesatuan negara Republik Indonesia. Namun siapa yang menyangka, Hasan tiro ketika muda adalah sosok yang mempunyai nasionalisme tinggi terhadap Nusantara.

Sejarah mencatat orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di pulau Sumatra pasca presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah Hasan Tiro. Saat itu dia masih berumur  20 tahun. Merupakan sesuatu yang sangat berani dilakukan oleh seorang pemuda yang berumur 20 tahun, megingat keadaan saat itu Indonesia masih jauh dalam katagori rawan.

Hasan Tiro ketika muda adalah sosok yang aktif dalam organisasi. Beliau termasuk sebagai salah satu pengurus dari organisasi Barisan Pemuda Indonesia. Bahkan tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya bulan November Hasan Tiro terlibat dalam rapat untuk membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Laskar Mujahidin. Dalam rapat itu, bersama dengan pemuda lain , beliau mengikrarkan sumpah setia untuk mempertahankan kemerdekaan dan membentuk barisan perang guna mengusir penjajah.

Hal lainnya dari Hasan Tiro yang begitu menginspiratif adalah ketika mudanya yang sangat berbeda dengan pemuda-pemuda sekarang,  beliau dengan beraninya mengirim sepucuk surat yang berisi kritikan terhadap apa yang dilakukan oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu yaitu Ali Sastroamidjojo. Tak heran perihal surat itu begitu menarik perhatian masyarakat lain didunia. Hal ini terbukti dengan pemberitaannya yang tak hanya di media massa dalam negeri, tapi juga media massa yang ada di luar negeri. Surat itu pula yang menjadi perbincangan hangat baik dikalangan nasional maupun kalangan dunia internasional saat itu. 

Menurut berbagai sumber,  dalam surat itu Hasan Tiro mengutarakan sikap ketidaksetujuannya terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menumpaskan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII).  Menurutnya, kebijakan itu membuat suku bangsa yang ada seperti di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan yang merupakan daerah basis DI/TII, terhimpit kembali dalam lingkungan yang konflik yang bersimbah darah. 

Sebagai implikasi dari kebijakan tersebut banyak rakyat yang tak bersalah pun terbunuh hanya karena dianggap atau terduga sebagai anggota DI/TII. Keadaan itulah yang membuat batin  Hasan Tiro bergolak, dan memberanikan diri untuk menentang Pemerintah. Dan puncak dari rasa pergolakan batinnya terhadap bentuk kesewenang-wenangan pemerintah, Hasan Tiro pulang ke Aceh dan memproklamasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka di perbukitan Hutan Aceh, Gunung Halimun.

Dibalik jiwanya yang kritis itu, Hasan Tiro rupanya menekuni dunia menulis. Hal ini terbukti dari banyaknya buku yang telah dituliskannya, seperti Perang Atjeh 1873-1927, Revolusi Desember ’45 di Atjeh atau Pembasmian Pengchianat Tanah Air , Demokrasi untuk Indonesia, Masa Depan Politik Dunia Melayu, Atjeh bak Mata Donja  (Aceh di Mata Dunia), dan The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro

Tak hanya tekun dalam menulis buku, Hasan Tiro juga pandai dalam menerjemahkan buku asing. Seperti yang kita ketahui bersama, Hasan Tiro telah menerjemahkan buku karya Prof. Abdul Wahab Khalaf  yaitu As-Siyâsah asy-Syar’iyyah atau Dasar-dasar Negara Islam pada umur yang relative sangat muda, yaitu pada usia 22 tahun.

Semoga jiwa Hasan Tiro muda dapat memotivasi dan menginspirasi kita semua.

**
Artikel ini telah dimuat di media: Harian Aceh

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

komentar