Merawat Sejarah Tragedi Rumoh Geudong

RASA-RASANYA tidak ada orang yang darahnya tidak mendidih jika mengingat sejarah kelam masa konflik di Aceh. Yang dengan ragam tragedi mengenaskan terjadi di berbagai pelosok daerah di Aceh. Ada yang pada akhirnya diakui oleh Pemerintah sebagai sebuah pelanggaran HAM, ada juga yang dilupakan begitu saja. Seolah tindakan kekerasan masa konflik itu adalah hal normal.




 

Tragedi Rumoh Geudong merupakan salah satu tragedi masa konflik, yang kini diakui oleh Pemerintah sebagai sebuah pelanggaran HAM di masa lalu. Jokowi dalam siaran konferensi persnya, menyebut Tragedi Rumoh Geudong, dengan bahasa yang gamblang sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 

 

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat," sebut Jokowi, Rabu (11/1), seperti dikutip dari detikNews.

 

Apa itu Tragedi Rumoh Geudong?

 

Tragedi Rumoh Geudong adalah sebuah tragedi penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI (Kopassus) selama masa konflik Aceh (1989-1998). Tragedi ini terjadi di sebuah rumah tradisional Aceh yang dijadikan sebagai markas TNI di desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.

 

Dalam sejarahnya, Rumoh geudong, yang struktur bangunan menyerupai rumah panggung pada umumnya, dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, Hulubalang atau pemimpin yang tinggal di Rumoh Raya. 

 

Sejak masa perang Belanda memang, Rumoh Geudong menjadi tempat sentral yang dijadikan sebagai pos pengatur siasat perang oleh Raja Lamkuta. Setelah Raja Lamkuta wafat, Rumoh Geudong dipakai adiknya, Teuku Cut Ahmad, kemudian Teuku Keujruen Rahmad, Teuku Keujruen Husein, dan Teuku Keujruen Gade.

 

Dan kemudian, ketika pemerintah Indonesia melakukan operasi militer di Aceh, yang dimulai pada April 1990, Rumoh Geudong ditempati oleh tentara atau aparat keamanan RI tanpa sepengetahuan pemiliknya. 

 

Sebenarnya, di banyak pelosok desa di Pidie, setiap ada rumah kosong dan berstruktur bagus kerap digunakan oleh aparat keamanan RI sebagai kamp tempat mengawasi masyarakat. Apalagi di desa itu disinyalir menjadi daerah penyuplai atau basis GAM.

 

Begitu pula dengan Rumoh Geudong, bekas rumah ulee balang ini, dijadikan sebagai kamp konsentrasi militer oleh aparat keamanan RI sekaligus tempat untuk mengawasi masyarakat yang kala itu digunakan secara khusus oleh pasukan Kopassus, yang dimulai dari dimulai dan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM), 1989 hingga 1998.

 

Saat sedang menjalankan operasinya, tidak sedikit aparat keamanan RI yang melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap masyarakat. Tak ayal, siapapun yang berurusan dengan “Rumoh Geudong” masa itu, maka sama halnya ia sudah berurusan dengan “malaikat maut”. Dalam artian ada banyak orang yang setelah diajak pergi ke tempat itu, maka ia tidak pernah pulang lagi, kalau pun pulang, cuman raganya saja. Sudah tidak lagi bernyawa.

 

Akhirnya, pada 20 Agustus 1998, ketika status DOM ini dicabut oleh Presiden BJ Habibie pada Agustus 1998, tak lama setelah Presiden Soeharto lengser. Rumoh Geudong yang oleh warga dianggap sebagai simbol kekejaman militer, warga memilih membakarnya.

 

Merujuk pada data Komnas HAM, dan sebagaimana disiarkan oleh banyak surat kabar, status Darurat Militer yang ditetapkan selama enam bulan, dengan 30.000 tentara dan 12.000 polisi ditempatkan di seluruh Aceh, maka operasi militer tersebut menjadi yajg terbesar Indonesia sejak Timor Timur pada 1975.

 

Dan dalam periode ini, sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch dalam laporannya pada 2004,  ada pelanggaran serius oleh militer Indonesia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan.

 

Kita sepakat, bahwa Konflik yang terjadi di Aceh merupakan sebuah peristiwa kelam yang mudah-mudahan tidak terulang lagi di hari kemudian. Karena itu, apapun yang menjadi catatan kelam sejarah kelam tersebut haruslah dirawat dan dijaga. Karena disana ada hikmah besar bila dijaga. Every cloud has a silver lining. Setiap kesedihan pasti memiliki hikmah atau pelajaran berharga yang dapat diambil.

 

Contoh dari Luar Negeri

 

Mari kita lihat, bagaimana orang luar negeri dalam merawat kisah kelam perang yang dialami oleh pendahulu mereka. Vietnam misalnya, Perang yang dipicu oleh Amerika di negara mereka, yang Amerika memiliki tujuannya kala itu untuk melawan pengaruh komunis di Asia selama hampir 20 tahun, menjadi catatan utama sejarah perjalanan bangsa Vietnam. 

 

Perang panjang ini menyita pengorbanan besar bagi Amerika. Diperkirakan, 59.000 tentara Amerika tewas dan 2 juta lebih rakyat sipil Vietnam menjadi korban.

 

Namun demikian, mereka tidak mengubur sejarah tentang perang besar ini, melainkan tetap menghidupkannya dalam memori generasi mereka, bahkan masyarakat dunia. Mereka mempertahankan setiap bagian sejarah yang berkaitan dengan perang dalam bentuk apapun, misalnya Museum Perang Remnants yang memotret detail setiap tapak sejarah dan peninggalan perang Vietnam, Delta Sungai Mekong, yang menjadi saksi bisu rentetan perang tak berkesudahan itu,  Chu Chi Tunnel, terowongan bawah tanah yang di masa perang dijadikan rakyat tempat berlindung dan berperang, dan lain sebagainya.

 

Vietnam sadar bahwa perang memberikan banyak dampak, meskipun ada juga positifnya, sehingga buah dari kesadaran tersebut mereka merawat perang untuk dijadikan ibrah pendidikan bagi generasi selanjutnya. Di samping itu, mereka paham bahwa jejak perang yang dikemas dalam bentuk wisata konflik menjadi sumber income bagi negara mereka, karena itu, situs-situs perang tersebut kini banyak yang disulap sehingga menjadi daya tarik wisata bagi warga dunia.

 

Begitu juga dengan Belanda, guna merawat sejarah perang mereka dengan negara-negara di belahan dunia, mereka melalui institusi atau yayasan tertentu merawat kisah gigihnya nenek moyang mereka dalam mencari sumber penghidupan untuk bangsa dan negaranya. Mereka sadar dan oleh karenanya selalu berupaya untuk merawat kehormatan korban perang dengan membangun sejumlah makam kehormatan atau 'ereveld', termasuk beberapa di antaranya ada di Indonesia dan juga di Aceh.

 

Bagaimana dengan Kita??

 

Perjanjian damai itu memandatkan sejumlah poin, salah satu di antaranya adalah proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mulanya tidak mendapat sambutan hangat oleh sejumlah aktivis HAM Aceh.

 

Aceh yang punya sejarah perang dan konflik yang panjang, tak ada salahnya mengikuti cara Vietnam dalam merawat kenangan terhadap perang. Kita pertahankan tempat seperti ini agar sejarah buruk tidak terulang. Dari masa lalulah kita belajar bahwa perang selalu membawa kehancuran. Menang jadi arang, kalah jadi debu.

 

Sejumlah manfaat akan didapatkan dari adanya proses merawat sejarah tersebut. Semisal dapat dijadikan wisata sejarah bagi generasi masa akan datang. Karena bukan tidak mungkin jika sejarah yang tidak dirawat menjadi mitos dalam pemahaman generasi kita. Disamping itu, melalui situs sejarah konflik yang terawat (apalagi masih autentik) dapat dijadikan sarana dan media belajar lapangan bagi insan-insan pendidikan, mulai dari level rendah hingga insan pendidikan di level tinggi.

 

Kita berharap di masa mendatang pemerintah Aceh dan juga Pidie tentunya, secara serius dapat membenahi serta merawat situs-situs konflik yang ada seperti sejarah tragedi Rumoh Geudong atau lain sebagainya.Ini bertujuan supaya generasi Aceh mendatang dapat mengambil ibrah pendidikan dari sebuah konflik. 

 

*Tulisan ini sudah ditayangkan di media Komparatif.id

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »