KUPIAH meukeutop menemukan momentumnya di tengah pandemik (Covid-19). Kupiah yang juga populer dengan nama kupiah Teuku Umar ini seketika menjadi fenomena di kalangan masyarakat Aceh. Bahkan, masyarakat Aceh yang menetap di tanah perantauan, baik yang berprofesi sebagai politikus, saudagar, atau sebagainya, ramai-ramai memakai kupiah meukeutop. Hal ini terlihat dari foto-foto yang bertebaran dan mereka pamerkan di akun sosial media. Belakangan, tagar #gerakansejutakupiahAceh pun menggema di lapak maya. Sejurus dengan itu, asal-usul kupiah Aceh pun mulai didiskusikan lagi, termasuk asal produsen kupiah meukutop yang hari ini menjadi trending.
Kupiah meukeutop merupakan ikonnya masyarakat Aceh. Pada kupiah meukeutop terdapat beberapa warna, yakni merah, kuning, hijau, putih, dan hitam. Semua warna tersebut terkandung makna tersendiri yang juga menjadi nilai bagi masyarakat Aceh. Merah melambangkan kepahlawanan, kuning melambangkan negara atau kerajaan, hijau melambangkan keagamaan, putih memiliki makna keikhlasan atau kesucian, dan hitam bermakna ketegasan hati.
Bila mengamati lebih detail, maka kita akan mendapati pada kupiah meukeutop ada sebuah lambang atau simbol yang berbentuk dan mirip dengan huruf hijaiah, yaitu huruf lam. Huruf lam tersebut terbentuk karena adanya empat tingkatan warna yang juga memiliki makna dan filosofi tersendiri. Tingkatan pertama bermakna hukum agama, tingkatan kedua bermakna adat, lalu tingkatan ketiga bermakna qanun, sedangkan tingkatan keempat bermakna reusam. Dengan demikian, melihat kupiah meukeutop sama halnya dengan melihat rambu-rambu kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, yang berpondasi pada; agama, adat, qanun dan reusam.
Asal Kupiah Meukeutop
Nah, karena kupiah meukeutop hari ini sedang menemui momentumnya, maka mengulas tentang kupiah meukeutop menjadi semacam kemestian. Terlebih, sebagian orang memiliki pendapat, yang menurut penulis, keliru dalam melihat kupiah meukutop.
Kupiah meukeutop sudah dikenal semenjak zaman kolonial Belanda, dan dipakai oleh banyak tokoh Aceh kala itu. Namun, kupiah meukeutop menjadi populer semenjak dipakai oleh Teuku Umar, hingga kupiah meukutop juga disebut sebagai kupiah Teuku Umar oleh beberapa kalangan.
Karena Teuku Umar lahir di Meulaboh, Aceh Barat, kupiah meukutop pun disimpulkan sebagai kupiah yang berasal dari Meulaboh. Oleh tokoh-tokoh Meulaboh mendirikan beberapa tugu yang berbentuk dan didekor mirip dengan kupiah meukutop, dan ini menjadi semacam penegasan oleh masyarakat di sana bahwa kupiah tersebut berasal dari dan milik masyarakat Meulaboh.
Konon, yang menjadi tanda tanya, ternyata tidak satu pun dari warga Meulaboh yang memiliki skill dalam membuat kupiah Meukeutop. Bahkan, beberapa tahun lalu pengrajin Meulaboh dilatih cara membuat kupiah meukutop oleh dinas terkait di Aceh yang mentornya diundang khusus dari Pidie.
Jika ditelisik asal-usulnya, memang berat dugaan penulis, muasalnya kupiah meukutop tersebut bukanlah dari Meulaboh, Aceh Barat, melainkan dari Pidie tepatnya dari Gampong Rawa Tungkop. Ini terlihat dari keahlian dalam membuat kupiah tersebut hanya dimiliki oleh perempuan-perempuan di Gampong Rawa Tungkop, hingga kupiah-kupiah meukutop dan sejenisnya diproduksi secara handmade oleh mereka.
Salah seorang pengrajin yang juga menjadi tetua di Tungkop, menuturkan kepada penulis, bahwa ketika Aceh berjuang melawan bangsa Kolonial Belanda tempo dulu, saat itu, Teuku Umar yang menjadi pemimpin dari perlawanan tersebut pernah singgah di beberapa daerah di Pidie, dan salah satu daerah yang sempat beliau singgahi ialah Gampong Tungkop.
Saat sedang berada di Tungkop itulah, Teuku Umar berjumpa dengan salah seorang pengrajin kupiah, yang kemudian barangkali karena kagum dan sebagai bentuk dukungannya terhadap aktivitas suci yang dilakukan oleh Teuku Umar, pengrajin tersebut menghadiahkan satu kupiah sebagai penutup kepala kepada Teuku Umar. Kupiah tersebut diyakini oleh banyak kalangan, tak lain dan tak bukan, yaitu kupiah meukeutop.
Baca juga: Empieng Breuh
Perajin yang penulis temui juga mengatakan, awalnya kupiah meukutop diberi nama dengan kupiah Tungkop. Ini merujuk pada seni dan kerajinan tersebut yang lahir dan dimiliki oleh hanya warga Tungkop saja. Namun, sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, kupiah Tungkop mendapat pergeseran dari masyarakat Aceh. Namanya yang dulu kupiah Tungkop belakang berubah menjadi kupiah meukeutop. Melihat narasi yang disampaikan oleh perajin kupiah Meukutop ini, penulis menyakini bahwa asal-usul kupiah meukutop ialah dari Pidie.
Meski demikian, tabir tentang asal-usul kupiah meukutop perlu dikaji lebih dalam guna meluruskan pendapat-pendapat yang berseliweran tentang kupiah tersebut. Hal ini perlu dilakukan supaya generasi Aceh di masa sekarang dan di masa akan datang memiliki benang merah dalam melihat kupiah meukeutop.
Dilema Perajin Tungkop
Beberapa pekan belakangan ini, atau seiring dengan viralnya kupiah meukutop yang dipakai oleh banyak masyarakat Aceh sekarang, para perajin di Tungkop yang membuat kupiah tersebut secara handmade mulai merasakan dampaknya. Kini, pesanan kupiah yang mereka terima tidak lagi sebanyak dulu. Terlebih harga untuk satu kupiah meukutop yang mereka tawarkan terkesan lebih mahal ketimbang kupiah meukutop yang viral akhir-akhir ini.
Padahal, jika melihat proses pembuatan kupiah meukutop secara handmade, yang membutuhkan waktu 4-6 hari untuk satu kupiah, harga yang mereka tawarkan tergolong sangat murah. Ya, mereka menjual kupiah tersebut kisaran harga kurang lebih Rp300-an ribu. Sementara kupiah meukutop yang booming hari ini, dengan mudah bisa didapatkan di pasar dan dibanderol dengan harga cukup murah, yakni Rp50-100an ribu.
Jika melihat realitas pasar yang demikian, tentunya para perajin kupiah meukutop versi handmade cenderung berada pada pihak yang dirugikan. Namun, apa hendak dikata, dalam mekanisme hukum pasar yang memiliki modal dan alat produksi yang canggih serta mampu menghasil produk dengan harga yang murah maka dia yang menang, dan ke situ pula para pembeli bermuara. Ya, kupiah meukeutop yang beredar banyak di kalangan masyarakat Aceh sekarang diproduksi dengan mesin, konon produsennya ada yang berlokasi di Aceh Utara dan ada juga yang berlokasi di Surabaya.
Tentunya, dan penulis memiliki pandangan, bahwa Pemerintah Kabupaten Pidie yang menjadi satu-satunya tumpuan harapan masyarakat Pidie, khususnya perajin Tungkop, tidak boleh abai dalam melihat realita ini. Pemerintah Kabupaten Pidie melalui dinas terkait perlu hadir ke lingkungan para perajin kupiah meukutop di Tungkop. Agaknya, Pemerintah Pidie juga perlu memberikan semacam “penegasan” untuk pasar bahwa nilai seni pada kupiah meukeutop merupakan warisan sosial masyarakat Pidie, tepatnya warisan perajin di Tungkop.
Dengan demikian, sudah sewajarnya untuk kupiah meukeutop ada semacam hak paten yang diperuntukkan kepemilikan pada perajin di Tungkop. Dengan begitu, siapa pun atau produsen mana pun yang memproduksi kupiah meukutop maka para perajin di Tungkop juga mendapat “syufu’atnya”. Dan di samping itu, para perajin juga perlu dimotivasi agar tidak patah hati dalam mengadapi pasar kupiah meukutop. Mereka harus didorong agar tetap konsisten dalam membuat kupiah meukutop, yang tak lain merupakan kupiah warisan raja di raja. Nyanban!
***
Artikel ini sudah tayang di Acehtrend dengan judul 'Quo Vadis Kupiah Meukutop'
EmoticonEmoticon