Empieng Breueh, Kuliner Tradisional Pidie yang Sudah Tergerus Zaman

TAK bisa dimungkiri bahwa Pidie merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang semakin banyak dieksplore sehingga makin banyak melahirkan kekaguman. Tidak hanya bagi orang yang lahir dan bermastautin (bermukim) di Pidie, tapi juga bagi orang luar Pidie.

Diakui atau tidak, wilayah bekas Kerajaan Pedir ini menyimpan banyak sekali warisan sosial atau khazanah kebudayaan, seperti di bidang olahraga tradisi ada geudeu-geudeu, di bidang pertanian ada yok creuh dan langai, serta beragam warisan sosial lainnya.

Dan yang membuat kita semakin kagum pada Pidie ialah tersedianya banyak penganan tradisional yang juga menjadi kuliner khas orang Pidie. Sebut saja apam, siapa yang tidak mengenal apam? Semenjak puncuk kepemimpinan Pidie dipegang oleh Roni Ahmad atau Abusyik, eksistensi penganan tradisional yang satu ini menjadi semakin melangit. Meskipun tak bisa ditolak juga fakta lainnya: apam sering diplesetkan oleh banyak orang dengan sesuatu yang berkonotasi negatif.

Selain apam, di Pidie juga terdapat kuliner tradisional lainnya yang juga khas, yakni empieng breuh (emping beras). Empieng breuh tidaklah sepopuler apam, tapi sampai kini ia masih diproduksi dan dijajakan di pasar-pasar tradisional.

Saya yakin, generasi Pidie sekarang, dan generasi Aceh secara umum yang lahirnya di atas tahun 2000 tidak banyak yang tahu mengenai kuliner bernama empieng breuh. Jikapun hendak dikumpulkan secara acak, misalnya sebanyak 20 orang saja, maka bisa dipastikan 80 persen lebih tidak akan ada yang mengenal empieng breuh.

Empieng breuh  terbuat dari bahan baku, yaitu beras yang kemudian diproses dengan cara ditumbuk. Untuk menikmatinya bisa dilakukan dengan cara menambahkan gula pasir yang dicampur dengan parutan kelapa atau bisa juga langsung dinikmati begitu saja. Rasanya sangat renyah, apalagi yang baru siap diproduksi.

Di berbagai warung kopi yang ada di pelosok Pidie, misalnya di kampung-kampung yang agak pedalaman, empieng breuh masih agak mudah dijumpai. Banyak pemilik warung kopi yang menjadikan empieng breuh sebagai bagian dari varian khas minuman di warungnya. Ya, empieng breuh memang sangat nikmat bila disantap dengan pisang thok, yaitu pisang yang sudah dihaluskan dengan cara ditumbuk pakai tulang daun pisang. Selain itu, empieng breuh juga tak kalah nikmatnya bila ditaburkan ke dalam kuphi boh manok.

Punya nilai sejarah

Sedih memang membayangkan eksistensi empieng breuh  yang makin ke sini kian terpinggirkan. Padahal, emping yang satu ini memiliki nilai filosofis dan sarat nilai sejarah.

Konon, saat Aceh masih dalam masa perjuangan ketika melawan kolonial Belanda yang saat itu mereka sangat bernafsu untuk menguasai hasil alam Aceh, orang-orang Aceh yang terlibat dalam pergerakan perjuangan tersebut selalu membawa bekal makanan yang salah satunya adalah empieng breuh. Sama seperti kebiasaan para pejuang Aceh membawa lauk berupa keumamah (ikan kayu) ke hutan saat bergerilya.

Empieng breuh menjadi sumber amunisi energi mereka, saat lapar dalam pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Mereka, para pejuang mengganjal perutnya dengan empieng breuh saat bersembunyi dalam hutan dari kejaran marsose Belanda.

Lalu, kenapa empieng breuh jadi pilihan? Ini karena empieng breuh yang berbahan baku beras memiliki kandungan nutrisi tinggi dan ringan untuk dibawa-bawa. Tak hanya itu, empieng breuh itu awet, bisa disimpan dalam waktu yang lama meski tanpa pengawet.

Makanya, sebagai orang Pidie dan orang Aceh tentunya, kita patut menjaga eksistensi emping  yang legendaris ini. Hanya dengan cara itulah, secara tidak langsung, kita sudah merawat ingatan akan perjuangan para pendahulu kita dalam melawan para penjajah.

Kita patut bangga sekaligus bersyukur atas kegigihan pejuang Aceh dulu. Berkat dedikasi mereka, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak berhasil dikuasai dan dijajah Belanda. Bahkan, salah satu panglima angkatan perang Belanda yang sangat terkenal dengan kepiawaiannya dalam menyusun taktik dan strategi perang, Johan Herman Rudolf Kohler, menemui ajalnya di Aceh.  Dalam satu kesaksian, menjelang napas terakhirnya, Kohler sempat berucap; “O, God, ik ben getroffen!” (Ya, Tuhan, aku tertembak.)

Upaya melestarikannya

Sangat disayangkan bila menilik fakta hari ini di mana empieng breuh semakin dilupakan seiring dengan masuknya penganan-penganan dari luar yang berdimensi global. Generasi sekarang malah terkesan turun derajatnya atau kuno bila mereka terlihat doyan dan menikmati empieng breuh. Sedangkan bila terlihat doyan dalam menikmati penganan semisal pizza dan spaghety, seolah derajatnya terangkat atau dicap manusia modern.

Menyalahkan masuknya penganan luar sebagai penyebab terpinggirkannya empieng breuh tentu bukan sebuah alasan yang logis. Hal ini karena era globalisasi merupakan sebuah kemestian sebagai bagian dari perubahan sosial yang tidak bisa dihindari.

Namun demikian, kini yang perlu kita cari adalah upaya untuk melestarikan empieng breuh, sebagai kuliner tradisional Pidie agar eksis lagi. Saya sebagai orang Pidie memiliki pandangan bahwa Abusyik merupakan bupati yang punya ambisi dalam menyelamatkan kuliner tradisional. Seperti halnya apam, di bawah kemudi Abusyiklah namanya kian terangkat seiring dengan adanya acara kenduri apam yang diselenggarakan tiap tahun.

Nah, untuk ke depan, saya kira, di Pidie perlu dibuat semacam pameran kuliner tradisional Pidie yang dalam acara tersebut memuat informasi seputar kuliner tradisional Pidie seperti empieng breuh, beureune, haluwa bluek, meuseukat, dan lainnya. Jadi, tidak hanya melulu dengan acara kenduri apam, atau dalam istilah lain, hanya apam yang terus dipromosikan. Yang sangat penting adalah setiap jenis makanan atau kuliner tradisional Pidie tersebut ditampilkan ke khalayak, bila perlu disertai juga dengan atraksi atau proses pembuatannya.

Acara seperti ini secara tak langsung sudah memotivasi ibu-ibu atau bapak-bapak yang selama ini masih setia dalam membuat kuliner tradisional. Di samping itu, melalui acara semacam ini para generasi sekarang bertambah wawasannya dan sekaligus akan bangga terhadap produk daerah asalnya, Pidie.

Kemudian, bagi pembuat empieng breuh sudah saatnya mengemas produknya  agar lebih memiliki daya tarik, sehingga bisa dijual ke luar daerah. Banyak penganan luar yang karena kemasannya menarik menjadi rebutan di pasar, padahal isinya tidak semenarik di kemasan. Pemerintah tingkat gampong yang warganya punya usaha empieng breuh, layak juga mengalokasikan secuil dana APBG-nya untuk menggalakkan produksi empieng breuh. Bisa berupa pemberian modal atau insentif kepada mereka atas upayanya merawat warisan sosial Pidie, yaitu makanan tradisional yang bernam empieng breuh. Nyan ban!


**

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul ‘Empieng Breuh’, Kuliner Pidie yang Kian Terpinggirkan, 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »