SEBAGAI daerah yang sudah terbentuk sejak sebelum kemerdekaan, Pidie terkenal dengan ragam adat dan budayanya. Mulai dari adat yang berkaitan dengan kepercayaan (seperti khanduri Blang, Khanduri tulak bala, dll), adat yang berkaitan dengan keagamaan (peusijuek, mulod, dll) sampai dengan adat yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari.
Namun siapa yang menyangka, jika daerah penghasil tokoh-tokoh berpengaruh di Aceh dan Indonesia ini seperti Tgk. Chiek di Tiro, Tgk Dauh Beureueh, Hasan di Tiro, Aly Hasjmy, juga memiliki ragam makanan khas yang tentunya berbeda dan tidak sama dengan daerah lainnya.
Sederetan makanan khas Pidie antara lain yaitu Emping melinjo, Apam, Timphan, Beureune dan Halua Bluek. Untuk katagori makanan yang pertama sampai ketiga Emping, Apam dan Timphan mungkin sudah menjadi hal yang sangat familiar di telinga anda semua khususnya ditelinga warga Pidie sendiri. Sebab, ketiga makanan tersebut sudah lazim di promosikan dalam acara-acara besar, semisal ketika menyambut tamu dari luar daerah Pidie.
Sedangkan untuk kedua makanan yang tersebut di akhir –Beureunee dan Halua Bluek—saya yakin masih banyak sekali yang belum mengenalinya. Bahkan, (mungkin) warga Pidie sendiri juga tidak mengetahui bahwa kedua makan tersebut Beureunee dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie.
Beureune (sering juga disebut Sagu Beureune) merupakan makanan tradisional yang dibuat dari hasil olahan pohon sagu, digonseng, kemudian dipilah-pilang dengan bantuan Tampi (Aceh; Jeu-ee) hingga berbentuk butiran-butiran kecil seukuran biji kacang hijau. Sedangkan Halua terbuat dari bahan baku dasar tepung ketan, tepung gandung, gula dan santan. Tekstur mirip dengan kue dodol. Namun dari segi warnanya yang berbeda, Halua berwarna merah pekat dan padat.
Halua Bluek.
Beureune dan Halua Bluek merupakan makanan khas Pidie, yang hari ini gaungnya sudah kurang dikenal oleh masyarakat. Masyarakat hari ini, terlebih (mungkin) karena masuknya nilai-nilai global beserta makanan-makanan yang bersifat global seperti KFC dan Pizza, yang kesannya memiliki prestis yang lebih tinggi jika menyantapnya menjadikan makanan lokal terabaikan. Sehingga makanan daerah seperti Beureune dan Halua Bluek tersebut kian terpinggirkan.
Tentu ini merupakan sesuatu yang ironis, karena jika sikap tersebut dipertahankan bisa saja atau memungkinkan makanan khas daerah itu hilang dari peredaran dan menjadi kenangan di masa depan.
Nah, tersebab itu pula, dalam artikel ini, saya berkeinginan untuk menyebarluaskan suatu pengetahuan mengenai salah satu makanan khas Pidie, yaitu Halua Bluek. Sedangkan untuk Beureune biarkan lain kali saja saya tulis.
Produksi Asli Masyarakat Bluek
Halua Bluek, merupakan salah satu makanan khas Pidie yang hanya diproduksi oleh masyarakat yang bertempat di mukim Bluek, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, Aceh. Mukim Bluek terdiri dari puluhan desa yang terbagi kedalam tiga kemesjidan: kemesjidan Bluek Grong-Grong, kemesjidan Bluek Gle Cut, dan kemesjidan Bluek Ulee Gampong.
Belakangan ini masyarakat yang memiliki skill dalam membuat Halua Bluek terkonsentrasi di desa Bluek Balee Baroh (juga dikenal dengan nama Bluek Halua) dan di desa Bluek Lamreuneung. Kalaupun di berbagai desa lain dijumpai warga yang mampu membuat Halua Bluek, maka dipastikan warga tersebut berasal atau pindahan dari kedua desa tersebut.
Halua Bluek sebagaimana saya sebutkan diawal, terbuat dari tepung terigu, tepun ketan, santan, gula dan air mineral. Halua Bluek hampir sama dan mirip dengan makanan khas Aceh lainnya, yaitu dodol. Hanya saja perbedaannya adalah pada tekstur dan warnanya. Jika dodol tekturnya agak lembut dan agar cair serta bewarna kuning cerah, maka Halua Bluek tekturnya agak lebih keras dan warnanya agak kuning kemerah-merahan.
Dilihat sepintas, antara dodol dan Halua Bluek tidak ada perbedaan sama sekali. Namun ketika mendekatinya (menyentuh atau memakannya) baru diketahui antara dodol dan Halua Bluek memang memiliki perbedaan.
Dari segi pembuatan atau cara memasaknya, Halua Bluek tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Untuk memasak Halua Bluek membutuhkan tehnik khusus dan harus orang yang cukup berpengalaman. Jika tidak, Halua Bluek tersebut akan menjadi sesuatu yang lain, yang tak bisa dimakan.
Ini dikarenakan dalam memasak Halua Bluek, dilakukan dalam bejana yang besar, kemudian harus ada satu orang yang mengaduknya secara berkala. Sembari di aduk, ditambahkan santan atau tepung dengan takaran yang sudah ditentukan.
Tak jarang, karena dimasak oleh bukan ahlinya atau belum berpengalaman, Halua Bluek menjadi makanan yang gagal; tak bisa dimakan. Kemudian ada juga kejadian, meskipun dimasak oleh orang berpengalaman, namun Halua Blueknya tidak sesuai dengan harapan, karena teksturnya lembek seperti dodol.
Untuk itu pula, lazimnya seorang ahli masak Halua Bluek, jauh-jauh hari mereka akan mencari kelapa khusus untuk diparut dan diambil santannya. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘u bungong jeumpa’. Setelah didapati kelapanya akan di simpan dulu, sampai kemudian pada waktu tertentu baru kelapanya di belah dan diparut untuk diambil santannya.
Memasak Halua Bluek memang boleh di sembarang waktu, misalnya tanpa terikat sanksi atau adat tertentu. Namun demikian, bagi masyarakat Pidie memasak Halua Bluek punya hari-hari khusus juga. Seperti pada hari-hari besar dalam Islam, dan pada hari-hari pekan rakyat. Namun demikian, masyarakat Pidie umumnya memasak Halua Bluek saat tibanya hari Megang Puasa dan Megang Lebaran.
Skill Warisan Turun-temurun
Yang uniknya lagi, skill memasak Halua Bluek ini ternyata hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang ada di Pidie saja, yaitu masyarakat yang berada di kemukiman Bluek. Sedangkan masyarakat yang diluar teritorial mukim Bluek sangat jarang didapati yang mampu memasak Halua Bluek. Kecuali memiliki hubungan keluarga dekat dengan warga mukim Bluek.
Konon, menurut beberapa tetua gampong yang ada di Bluek menjelaskan bahwa, skill memasak Halua Bluek yang dimiliki oleh masyarakat di mukim Bluek merupakan sebuah warisan yang didapatkan secara turun temurun. Jauh sebelum Nusantara ini merdeka dari penjajahan bangsa Kolonial, masyarakat di mukim Bluek sudah memiliki aktivitas memasak Halua Bluek. Sehingga kebanyakan masyarakat di Pidie juga menyebut Halua Bluek dengan nama Halua Bluek Bluek ada nama daerah pembuatnya di ujung.
Namun sayangnya, eksistensi Halua Bluek semakin tergerus oleh masa. Disamping tehnik produksi Halua Bluek masih bersifat tradisional dan kecintaan masyarakat terhadap makanan daerah (lokalnya) yang semakin menipis, eksistensi Halua Bluek kini semakin tenggelam. Untuk itu pula, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga salah satu warisan budaya agar terus berkembang dan menjadi kebanggaan daerah.
***
Artikel ini sudah ditayang di media BeulangongTanoh.
EmoticonEmoticon