Pidie dulunya lebih dikenal dengan sebutan
Pedir. Semasa konflik, daerah ini dikenal sebagai ‘daerah rawan’ oleh
pemerintah Indonesia, karena merupakan basis pendukung pemberontakan DI TII-nya
Daud Bereueh dan Hasan Tiro dengan GAM-nya (keduanya putra asli Pidie). Namun,
banyak yang lupa bahwa sebenarnya masyarakat Pidie juga dikenal dengan warisan
budaya turun-temurun yang sampai kini masih dianut kuat oleh
masyarakatnya, yaitu semangat merantau.
Oral diskursus tentang merantau dalam masyarakat Pidie, pada
dasarnya bukan hanya merupakan simbol independesi dan kedewasaan, akan tetapi
juga dorongan untuk sukses, membangun jaringan berdakwah dan pengakuan akan
eksistensi identitas (bagian penting dalam riwayat hidup). Oleh karena demikian
kentalnya tradisi merantau di Pidie, banyak yang menyebut mereka dengan istilah
‘Cina Hitam’ (The Black Chinese). Ini barangkali merujuk kepada prestasi
mereka yang dianggap menyamai prestasi kesuksesan ekonomi dan perdagangan
bangsa Cina yang sebenarnya. Putera kelahiran Pidie dikenal luas sebagai orang
yang sukses di perantauan, tidak hanya sebagai pedagang atau pengusaha maupun
politisi yang mendapat kedudukan penting di birokrasi pemerintahan.
Mengapa Cina Hitam? Meskipun klaim Cina Hitam juga ditasbihkan ke warga Bugis
di Sulawesi Selatan, tradisi migrasi di Pidie sudah dikenal sejak lama. Kendati
sektor utama penggerak perekonomian Pidie adalah pertanian, namun ini bukan
berarti pola pikir, semangat dan cara pandang mereka sangat tertutup dan
terbelakang, sebagaimana lazimnya masyarakat agraris. Mereka bahkan berpikir
lebih maju, visioner, dan bercita-cita tinggi atau outward looking (Haris
1997:117-118). Sikap berpangku tangan bukanlah ciri khas masyarakat di sana.
Bahkan
sebaliknya, adalah pantang berpangku tangan duduk di rumah dan menganggur.
Sudah lumrah jika seseorang telah dewasa (khususnya anak laki-laki) untuk
merantau ke kota, baik mencari ilmu ataupun berdagang. Lalu, mengapa orang
lebih familiar dengan sebutan Cina Hitam bagi orang Pidie? Bukan Minang atau
Padangnya Aceh? Menurut keterangan Drs. H. Abdul Rahman Kaoy (Wakil Ketua
Majelis Adat Aceh), spesialis dalam bidang adat, budaya dan dakwah, label Cina
Hitam lebih mendunia bila dibandingkan dengan istilah Padangnya Aceh atau yang
lainnya. Ini membuktikan visi orang Pidie yang memang berkeinginan untuk
memperluas jaringan, tidak hanya di dalam level lokal di Aceh, namun juga
secara regional di Pulau Sumatera, Indonesia dan bahkan internasional.
Kebiasaan merantau masyarakat Pidie kabarnya juga sama dengan kebiasaan masyarakat Bireuen. Masyarakat Pidie dikaitkan pula dengan urang awak di Padang - Sumatera Barat, karena merantau selalu diasosiasikan dengan berdagang. Alasan lain mengapa diindetikkan dengan bangsa Cina (dulu disebut Tionghoa) adalah karena mereka dikenal senang bermigrasi ke seluruh dunia dan akhirnya sukses dan mandiri secara ekonomi. Tibalah kemudian pada kesimpulan bahwa kegigihan orang Pidie itu sama dengan persistensi, dan kegigihan bangsa Cina. Lalu, budaya Cina yang beragama Budha juga hampir serupa dengan budaya masyarakat Pidie yang beragama Hindu (dari India) sebelum datangnya Islam.
Kebiasaan merantau masyarakat Pidie kabarnya juga sama dengan kebiasaan masyarakat Bireuen. Masyarakat Pidie dikaitkan pula dengan urang awak di Padang - Sumatera Barat, karena merantau selalu diasosiasikan dengan berdagang. Alasan lain mengapa diindetikkan dengan bangsa Cina (dulu disebut Tionghoa) adalah karena mereka dikenal senang bermigrasi ke seluruh dunia dan akhirnya sukses dan mandiri secara ekonomi. Tibalah kemudian pada kesimpulan bahwa kegigihan orang Pidie itu sama dengan persistensi, dan kegigihan bangsa Cina. Lalu, budaya Cina yang beragama Budha juga hampir serupa dengan budaya masyarakat Pidie yang beragama Hindu (dari India) sebelum datangnya Islam.
Kebiasaan
masyarakat Cina salah satunya adalah gemar menyabung ayam, kebiasaan yang juga
dapat dijumpai di masyarakat Pidie. Sama halnya dengan adat peusijuek yang
masih ada sampai sekarang juga disinyalir berasal dari budaya Hindu. Upacara
tepung tawar bertujuan mendoakan keselamatan dan kesuksesan yang
bersangkutan. Jika diperhatikan, ritual ini mirip dengan prosesi pernikahan
orang India. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa orang Pidie itu rajin
menabung bahkan cenderung pelit layaknya orang Cina karena ingin berinvestasi
di masa depan. Sehingga kemudian berkembang istilah kriet lagee Pidie atau
pelit seperti orang Pidie. Sedangkan kosakata itam (bahasa Aceh untuk hitam)
yang dilekatkan setelah kata Cina lebih dikarenakan wajah dan postur fisik
kebanyakan masyarakat Pidie mirip dengan perawakan orang keturunan India atau
dulunya disebut dengan Hindustan di Asia Selatan.
Di Pidie
sendiri, menurut kesaksian Rosihan Anwar (1986: 30) ‘kebiasaan masyarakatnya
mirip di India, dimana sapi berkeliaran dengan bebas di jalanan. Perawakan
orangnya umumnya juga tampan, berhidung mancung, berkumis lebat dan berkulit
hitam manis’. Kebanyakan masyarakat Pidie bermata sipit seperti Cina tapi
berkulit hitam seperti Hindia. Perkawinan silang dua budaya bahkan
termasuk percampuran ras inilah yang kemudian membuat masyarakat Pidie
dipanggil dengan sebutan Cina Itam.
Dari filosofi ke praktek
Dari filosofi ke praktek
Salah satu spirit yang memicu kesuksesan perantauan masyarakat Pidie adalah beberapa prinsip yang mereka anut, khususnya dalam dunia dagang. Falsafah inilah yang menjadi sumber inspirasi mereka. Dalam hal ini kabarnya orang Pidie menerapkan apa yang disebut politik dagang. Falsafah yang paling sering didengar adalah ‘modal siploh-dipeubloe sikureung, lam tiep-tiep rueung na laba’. Artinya, modal sepuluh-dijual sembilan, dalam setiap ruang (transaksi pembelian) ada keuntungan. Politik dagang semacam ini membuat para saingan dagang, seperti orang Bireuen dan Padang khawatir. Bahkan mereka ini kemudian mengeluhkan kebijakan tersebut.
Pada
kenyataannya dengan menurunkan harga barang, mereka tetap bisa mendapatkan
keuntungan. Sebuah strategi dagang yang cukup membuat mereka cepat sukses
dimana saja. Selain itu pelayanannya bisa jadi berbeda dan spesial. Untuk
membuka toko saja misalnya, pada hari pertama mereka menyediakan makanan khas
Aceh atau tumpeng kuning. Selain itu bagi orang-orang non-Pidie di Aceh ada
semacam anekdot yang berkembang bahwa kita disarankan berhati-hati dalam
berteman dengan orang Pidie. Ini karena jika seseorang punya toko atau kedai,
awalnya pada tahun-tahun pertama merantau, mereka hanya meminta berjualan dan
membuka lapak di emperan depan toko. Kemudian setelah dua hingga lima tahun
berlalu, maka orang Pidie itu yang akan menjadi pemilik toko (toke) dan
kemudian malah sang pemilik toko yang dulu gantian berjualan di emperan toko
yang dulu miliknya.
Kebanyakan orang Pidie yang merantau berprofesi sebagai pedagang baik kecil ataupun besar. Di kota-kota besar di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta atau Bandung para pedagang makanan khas mi Aceh berasal dari Pidie. Dalam keterangan lain disebutkan bahwa ada yang menjadi pedagang, pengembara, dan bahkan nasionalis - menjadi tokoh publik, orang penting atau politisi ulung (Graf, et.all 2010:162). Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan politisi asal Aceh yang duduk di kementerian adalah orang Pidie, kebanyakan anggota dewan DPR-MPR RI di Senayan termasuk mereka yang vokal juga dari Pidie. Ibrahim Hasan menteri zaman Soeharto, Hasballah MS Menteri Hukum-HAM zaman Gus Dur, dan kini Menteri BUMN, Mustafa Abu Bakar, kesemuanya orang Pidie.
Kebanyakan orang Pidie yang merantau berprofesi sebagai pedagang baik kecil ataupun besar. Di kota-kota besar di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta atau Bandung para pedagang makanan khas mi Aceh berasal dari Pidie. Dalam keterangan lain disebutkan bahwa ada yang menjadi pedagang, pengembara, dan bahkan nasionalis - menjadi tokoh publik, orang penting atau politisi ulung (Graf, et.all 2010:162). Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan politisi asal Aceh yang duduk di kementerian adalah orang Pidie, kebanyakan anggota dewan DPR-MPR RI di Senayan termasuk mereka yang vokal juga dari Pidie. Ibrahim Hasan menteri zaman Soeharto, Hasballah MS Menteri Hukum-HAM zaman Gus Dur, dan kini Menteri BUMN, Mustafa Abu Bakar, kesemuanya orang Pidie.
Mr. Teuku
Muhammmad Hasan salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan RI juga
orang Pidie. Pimpinan partai kharismatik seperti Tgk H.Ismail Hasan Meutareum
di Partai Persatuan Pembangunan juga asal Pidie. Konglomerat terkenal yang
kemudian menjadi pengusaha bonafid di Jakarta Indonesia adalah Ibrahim
Risyad juga putra asli Reubee, Pidie. Dan ulama kondang di Aceh dan
Indonesia juga ada yang berasal dari Kabupaten Pidie, sebut saja seperti
Abdullah Ujong Rimba dan Tgk Panglima Polem.
Tidaklah aneh jika lalu sebutan ‘Cina Hitam’ melekat kuat dalam perjalanannya kemudian. Memang pernah ada sebutan ‘Minangnya Aceh’, tapi itu tidaklah populer. Label ini menjadi familiar karena dari aspek budaya dan fisik orang Pidie di Aceh adalah perpaduan dua lintas budaya ini. Mekanisme budaya (Widyawati 2008) tersebut kemudian terus berkembang sampai sekarang. Salah satu dasar filosofis konsep merantau bagi warga Pidie adalah keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik (Kell, 2010) dan semangat berdakwah (Hurgronje (1906 II:31).
Tidaklah aneh jika lalu sebutan ‘Cina Hitam’ melekat kuat dalam perjalanannya kemudian. Memang pernah ada sebutan ‘Minangnya Aceh’, tapi itu tidaklah populer. Label ini menjadi familiar karena dari aspek budaya dan fisik orang Pidie di Aceh adalah perpaduan dua lintas budaya ini. Mekanisme budaya (Widyawati 2008) tersebut kemudian terus berkembang sampai sekarang. Salah satu dasar filosofis konsep merantau bagi warga Pidie adalah keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik (Kell, 2010) dan semangat berdakwah (Hurgronje (1906 II:31).
Dalam konteks
aplikatifnya budaya merantau ini lebih sering diasosiasikan dengan berdagang.
Karena memang mereka dikenal sangat ulung, lihai dalam berdagang serta pintar
dalam merebut hati pembeli. Namun sesungguhnya konsep merantau bagi masyarakat
Pidie tidaklah melulu hanya mengembara demi status sosial ekonomi yang lebih
baik. Kehidupan yang lebih baik di sini adalah juga dimaksud agar mereka sukses
dalam dua hal, yaitu sukses dunia-akhirat, ke barat dan ke timur, sukses
berdagang dan juga belajar menuntut ilmu.
Konsep ini
kemudian diterjemahkan dalam dua bentuk: Pertama, Jak u barat (Pergi
ke barat) atau menuntut ilmu agama dan belajar ilmu praktis keduniaan melalui
dayah atau instititusi pendidikan dan Kedua, jak u timu (Pergi ke timur) atau
berdagang. Merantau ini pada prakteknya kemudian juga tidak eksklusif bagi
masyarakat biasa dan monopoli kaum lelaki (Melalatoa 1997), tapi juga berlaku
bagi semua golongan masyarakat, termasuk kaum bangsawan dan juga kaum
perempuan.
Sehingga
merantaunya orang Pidie tidaklah semata demi alasan keuangan, tapi juga
semangat untuk maju dan memperluas jaringan dan saudara. Meskipun sektor
penggerak ekonomi utama adalah bertani, namun masyarakat Pidie punya visi hidup
yang maju dan terbuka, tidak sebagaimana masyarakat agraris lain pada
umumnya. Sehingga adat merantau warga Pidie di Aceh adalah sebuah
khasanah yang perlu terus diwariskan dari generasi ke generasi.
EmoticonEmoticon