Menyeimbangkan Hablumminallah Dan Hablumminannas


Hablumminallah secara bahasa dimaknai sebagai hubungan dengan Allah, dan hablum minan-nas di maknai sebagai hubungan dengan manusia. Kedua hal tersebut menjadi ukuran baik atau tidaknya budi seseorang, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai warga masyarakat. Menyepelekan salah satunya maka berujung pada pandangan negatif yang diterima oleh yang bersangkutan.

Untuk itu, salah satu hal penting yang mesti kita agendakan dalam aktivitas keseharian adalah bagaimana caranya agar dapat menyeimbangkan kedua hal pokok tersebut.

Selama ini yang jamak kita dapatkan dalam masyarakat adalah orang yang hanya mementingkan salah satunya saja. Ada yang hanya fokus pada hubungan dengan Allah saja (hablumminallah), sementara hubungan dengan manusianya kurang diperhatikan --bahkan tidak ada sama sekali. (Untuk contohnya silahkan Anda pasang kacamata, dan seterusnya amati sendiri di lingkungan sekitar Anda)

Disebalik itu, ada pula orang yang hanya fokus pada aktivitas yang berkaitan dengan hablumminannas saja, sedangkan dalam kaitan hubungannya dengan Allah tidak pernah digubrisnya. (Untuk contoh yang ini silahkan Anda pantau sendiri di lingkungan sekitar Anda)

Yang anehnya, untuk golongan kedua ini mendapat pengakuan dari sebagian masyarakat sebagai orang yang kadar sosialnya tinggi. Sampai-sampai, untuk orang semacam ini, mendapat segala macam bantuan dari anggota masyarakat lain dalam beragam hal.

Jika kita mau merenung, Islam sendiri bukanlah agama yang memerintahkan untuk untuk hanya beribadah saja kepada Allah tanpa memikirkan kehidupan sosial, begitu pun sebaliknya, tidak juga hanya dianjurkan kehidupan sosial saja. Akan tetapi setiap ibadah itu harus seimbang antara kehidupan sosial (dunia) dan akhirat.

Coba kita pahami, shalat yang saban hari kita tunaikan (kecuali tidak pernah shalat yang tidak tahu hal ini), diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Itu bermakna dalam bacaan shalat pun ada hubungan antara Allah (hablumminallah) dan sesama manusia (Hablumminanas) mendapat porsinya sendiri, yang tentunya tidak boleh diabaikan.

Mari kita simak satu kisah yang terjadi di zaman Rasulullah. Ada seorang kepala keluarga yang meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke suatu tempat yang jauh dari keramaian agar dapat beribadah dengan khusuk kepada Allah, sedangkan istri dan anak-anaknya dititipkan kepada saudaranya yang kaya raya. Semua biaya kehidupan anak dan istrinya ditanggung oleh saudaranya itu.

Berita tersebut sampai pada Rasulullah sehingga Rasulullah mendatangi orang tersebut dan menegurnya. Lalu, Rasulullah mengatakan bahwa jika seandainya orang tersebut meninggal maka sesungguhnya yang akan masuk ke surga terlebih dahulu adalah saudaranya, karena telah menafkahi istri dan anak orang tersebut, yang seharusnya menjadi kewajiban orang tersebut.

Nah, sudahlah jelas bahwa dalam kisah tersebut Rasul melarang kita yang hanya mengejar kehidupan akhirat atau sosial (dunia) saja. Semuanya harus seimbang antara kehidupan sosial dan akhirat.

Bukankah manusia diciptakah Allah sebagai makhluk sosial? Makhluk yang saling berhubungan, saling membutuhkan dan bergaul dengan sesama?

Mari merenung. Nyanban.

**
Artikel ini sudah tayang di blog Steemit saya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »