Mentari pagi masih belum tampak wujudnya, yang membawa sinar untuk menerangi seluk beluk bumi. Akan tetapi ayahku dengan seragamnya; celana kain warna kecoklatan, baju kaos oblong berkerah warna kelabu dengan sedikit warna hitam di punggungnya dengan sandal jepitnya sudah siap untuk pergi menjalani aktivitas sehari-harinya.
Padahal, semalam baru saja terjadi letusan senjata api dari desa tetangga. Maklum, saat itu Aceh sedang berstatus daerah perang (konflik). Aceh sedang beradu urat saraf dengan “pihak Jakarta” --pihak yang mengangkangi dan memperkosa sumber daya alam Aceh.
Dan, begitulah suasana sekaligus menjadi pemandangan yang maenstream dilingkungan kami.Patut saya akui, bahwa ayahku orangnya sangat berani. Meskipun umurnya memang sudah tak muda lagi, tapi sendi-sendi tulangnya masih seperti anak muda. Aku berani mengatakannya seperti itu.
Tak pernah satu hari pun ayahku mengeluh sakit atau lelah karena pekerjaannya. Apalagi mengeluh dengan keadaan konflik, dimana setiap ruang geraknya dimata-matai, yang, kapan saja bisa berurusan dengan aparat keamanan Republik Indonesia (RI) dan kapan saja nyawanya bisa melayang. Ini karena ada anggapan keliru dari pihak aparat keamanan RI yang bertugas di Aceh.
Setiap laki-laki seakan dibatasi geraknya, diawasi dan dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jikapun benar bukan anggota GAM, maka dianggap pembantu GAM, Kalaupun tidak diasumsikan kepada dua kelompok itu, maka disalahkan dengan cara lain, semisal anggapa “berbau” dengan GAM –mungkin pula dalam benaknya memang sudah ada anggapan dan rencana bahwa orang Aceh yang laki-laki semuanya, dan patut di habisi.
Saat itu memang GAM merupakan kelompok yang paling aktif dalam menyuarakan kemerdekaan bagi Aceh. Oleh karena itu pula, GAM dianggap sebagai kelompok separatis oleh pihak pemerintah Pusat di Jakarta. Buntut dari itu, pihak Jakarta mengirimkan ribuan tentara nasional Indonesia, untuk membersihkan eksistensi kelompok GAM. Dalam pandangan pihak Jakarta, GAM harus di musnahkan, bila perlu dengan cara yang ekstrem, dalam bahasan lain adanya semacam tindakan untuk “menyekolahkan semua orang Aceh”.
Proses “menyekolahkan” inilah yang berbuntut terjadinya beragam masalah-masalah lain di Aceh: penganiayaan masyarakat sipil, penculikan, pemerkosaan, perampasan harta masyarakat sipil, terpuruknya ekonomi, dan lain-lainnya.
Jika melihat alasan GAM melakukan perlawanan dengan pihak Jakarta, memang sangatlah mendasar. Salah satunya adalah didasari oleh ketimpangan standar hidup baik dari segi agama, politik, dan sosial ekonominya. Pernah suatu hari ayahku berkata:
“Hudep jameuen nyoe, nyawoeng bak ujoeng budee tentara, (Hidup di zaman ini, nyawanya diujung senjata para Tentara)”.
Ayahku cukup beralasan mengatakan seperti itu, karena hampir tiap hari ada saja kabar tentang orang yang meninggal dan hilang. Terkadang hanya karena nama yang dikantongi sebagai anggota GAM oleh aparat RI memiliki kesamaan dengan masyarakat biasa, maka masalahpun timbul, dan seringnya berujung dengan kematian bagi pemilik nama yang sama.
Sementara bagi yang memiliki pekerjaan diluar, misalnya bekerja dikota seperti berjualan--profesi ayahku-- maka seringkali bermasalah dan berhadapan dengan aparat RI. Ini karena ada razia rutin yang selalu tidak terduga di persimpangan jalan. Mereka tak segan-segan menghadiahkan bogem mentah kepada warga malang yang mereka jumpai.
Pekerjaan ayahku adalah berjualan rempah-rempah di Kota Sigli, pusat pemerintahan kabupaten Pidie. Untuk pergi ke Kota, biasanya ayahku melintasi beberapa kampong. Jaraknya pun lumayan jauh, sekitar 20 km.
Profesi jualan rempah-rempah sudah digeluti oleh ayahku semenjak dari waktu mudanya dulu. Maklum ayahku, adalah seorang pengangguran yang tak berpendidikan. Pun begitu, dia merasa bersyukur pernah mengenyam sekolah rakyat atau sekolah dasar waktu dulu masih awal-awal kemerdekaan. Sehingga ilmu berhitungnya -Matematika- yang sangat tipis itu menjadi modal berharga untuk menggeluti profesi berjualan rempah-rempah.
Ayahku punya cita-cita yang mulia, dia tidak ingin kami sebagai anaknya bernasib sama seperti hal dia, yaitu menjadi pengangguran. Ayahku berjuang keras untuk menafkahi kami (aku dan adikku) sekeluarga, dan mendorong kami untuk sekolah yang tinggi.
Katanya, agar tidak menjadi pengangguran seperti dia. Pengangguran itu pahit. Kerja serabutan pun tidak memungkinkan untuk menggapai yang namanya kesuksesan. Kemudian, masih kata ayahku, dengan sekolah kami dapat membantu bangsa agar maju. Meskipun suasana saat itu sangat mengancam.
Bayangkan jika bangsa ini suatu saat merdeka dari kolonialisasi pijak Jakarta, sedangkan rakyatnya banyak yang tidak sekolah. Maka dipastikan struktur pemerintahannya kan diisi oleh orang-orang yang tidak sekolah.
Tentang konflik Aceh, dalam ingatan ayahku, semenjak dulu Aceh memang selalu hidup dalam konflik yang berkepanjangan. Seperti sudah ditakdirkan. Begitulah ibaratnya. Aceh menjadi daerah konflik semenjak sebelum Indonesia ini ada, atau sebelum Aceh bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam setiap perang atau konflik Aceh punya catatan sendiri: tak pernah menang dan tak pernah kalah.
“Ureueng Aceh wate gemeuprang hantom na meunang, dan hantom na taloek. Menyoe tapike ureung Aceh hayeu cit, jeut takheun meunang. (Orang Aceh tak pernah menang dalam berperang dan tak perah kalah. Kalau dipikir-pikir hebat orang Aceh, bisa dianggap pemenang)”. Kata ayahku.
Bayangkan saja, ketika terjadi agresi Belanda ke-II pesca Indonesia merdeka, dan semua daerah di Indonesia dikuasai Belanda. Hanya Aceh yang masih berdiri dan berjuang tanpa lelah menghadapi Belanda dan tak bisa dikuasai. Bahkan salah satu Jenderal Militer Belanda pun, John Kohler, menemukan ajalnya ditangan pejuang Aceh.
Kemudian, setelah beberapa dekade, Indonesia sudah mengalami fase yang lebih stabil. Roda pemerintahan negara pun sudah berjalan dengan baik. Setiap daerah sudah hidup dalam nuansa kedamaian dan sejahtera, sebagai bangsa dan daerah yang merdeka.
Namun, hal berbeda dialami Aceh, rasa aman dan hidup damai seakan tak pernah menyapa Aceh. Aceh dituntut untuk terus berdiri dan berperang lagi. Jika dulu, rakyat Aceh harus berperang melawan penjajah Belanda. Maka hari ini, Aceh harus berperang melawan penjajah baru, yang tak lain adalah suku bangsanya sendiri.
Dalam pengetahuan ayahku, kisah konflik Aceh memang berawal dari tindakan semena-mena dari pemerintah pusat tanpa memberikan perhatian yang baik terhadap Aceh. Padahal Aceh adalah daerah modal bagi kemerdekaan Indonesia. Aneh memang. Layaknya peribahasa, air susu dibalas dengan air tuba. Sadis memang!
Mengenai adanya perlakuan yang semena-mena dari pemerintah Pusat, ayahku mengakuinya dan menceritakan, bahwa Aceh dulu adalah daerah modal, yang memberikan sumbangan dalam bentuk apa saja dengan ikhlas untuk kemerdekaan Indonesia.
“Nyan kapai yang teudong di Blang Padang, sumbangan ureung Aceh yang dipakek le Soekarno jak u luwa nannggroe (Pesawat yang ada di Blang Padang itu adalah hasil sumbangan orang Aceh yang dipakai oleh Soekarno ke luar negeri)”.
Itulah jasa orang Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia, yang seakan tak pernah dianggap. Buktinya, tak pernah dicatat dan ditemukan dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia, baik di SD, SMP, atau SMA.
Namun, walaupun begitu ketegaran ayahku saat konflik perlu diacungi jempol. Ayahku pemberani. Pernah suatu pagi minggu, ketika ayahku pergi aktivitas biasa dan membawa aku. Ketika melewati desa tetangga, ada aparat keamanan yang menyuruhnya untuk berhenti sambil menodong senjata.
Langsung saja ayahku mematikan kereta astutnya (HONDA ASTREA 800 70cc), sambil sedikit gemetar, ayahku memperlihatkan KTP MP (merah putih) yang diminta oleh aparat sambil mengatakan:
“Loen neuk jak mita Raseuki pak, u Sigli loen jak. (saya mau cara nafkah pak, saya perginya ke sigli)”.
Kemudian, ayahku diizinkan untuk melanjutkan perjalanannya. Sambil mengendarai kereta, ayahku mengelus dada: “Untung KTP MP hana dicok (Untung KTPnya tidak diambil)”.
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut ayahku. Seandainya saja KTP nya diambil, maka urusannya akan panjang, dan bisa saja ketika mengurus KTP itu nafas terakhir pun akan didapat. Ini karena saat itu ada kebijakan baru dari pihak aparat kemanan, dimana yang tidak memiliki KTP MP dianggap GAM. Dan, GAM semuanya sudah tau, yang akan dilakukan oleh aparat keamanan adalah ditangkap. Maka ketika sudah diatngkap, jika tidak ditembak atau menyerah, makan serangkaian penyiksaan pun akan dialami. Wallahu alam.
Silahkan baca juga:
Memahami Kekecewaan Pahlawan Tanpa Jasa
Runtuhnya Moral Masyarakat di Aceh
Belajar dari Syaikh Barshisa Ulama yang Meninggal Sebagai Kafir
LGBT dan Kegilaan Generasi Z
EmoticonEmoticon