Terhitung sejak Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, usia kemerdekaan Indonesia saat ini sudah mencapai usia 73 Tahun. Blan ini (Agustus 2018) rakyat Indonesia sedang dalam semarak merayakan hari bersejarah tersebut. Mulai dari Pulau Sabang sampai Meurake, dari Miangas sampai Rote, semuanya beriang gembira dalam merayakan peristiwa revolusi sosial kemerdekaan Indonesia.
Namun, di tengah suasana hati gembira itu, ada satu hal menurut penulis terasa sangat miris diusia kemerdekaan Indonesia yang hampir seabad ini. Dimana kemerdekaan yang puluhan tahun sudah digaungkan oleh nenek moyang kita belum mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi kita rakyat Indonesia. Bahkan, dalam catatan PBB, Indonesia menempati urutan ketiga tingkat kemiskinannya dari 120 negara. Sedangkan persentase penduduk miskin yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik mencapat 12,10%, (www.bps.go.id).
Apa sih yang menyebabkan Indonesia berkutat dalam “kubangan” problema ketidakmakmuran dan ketidaksejahteraan ini?
Nah, jika ditelisik dan mau direnungi, adalah korupsi yang menjadi problema utama dan menjadi salah satu penyebab penghambat kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, sejak era Pemerintah Soekarno, pola perilaku yang mengarah pada korupsi sudah mulai muncul, dan aroma tercium pada kalangan pejabat-pejabat negara saat itu. Puncaknya ialah pada era Presiden Soeharto, di mana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) begitu menggurita. Ditambah lagi dengan sikap Soeharto dalam mengendalikan sistem pemerintahan yang terkesan otoriter dan “kejam”.
Angin segar untuk terlepas dari problema korupsi baru muncul seiring dengan masuknya Indonesia dalam era reformasi, tepatnya pasca tergulingnya Presiden Soeharto. Namun ternyata, sampai dengan hari ini –mungkin sampai esok, lusa dan seterusnya—korupsi masih saja membudaya dan sulit diberantas.
Mereka-mereka yang dulunya meneriaki pelaku korupsi dengan sikap anti korupsinya yang begitu luar biasa. Kini tak sedikit yang bermasalah dan mendekam di penjara karena tersangkut dengan masalah yang mereka teriaki dulu, yaitu korupsi.
Ironisnya, pelaku korupsi bukanlah berasal dari golongan awam, melainkan berasal dari golongan kerah putih. Yang dari segi intelektualnya dan pendidikannya tinggi. Sejatinya mereka yang golongan kerah putih menjadi role model bagi rakyat banyak, baik dari segi intelektualnya maupaun dari segi sikapnya. Akan tetapi, yang terjadi bukanlah demikian.
Baru-baru ini yang masih hangat dalam perbincangan kita, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf bersama dengan dua orang lainnya ditangkap oleh pihak KPK juga karena dugaan korupsi. Padahal Irwandi menjadi tumpuan impian semua rakyat Aceh untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi. Tersebab itu pula, Irwandi dipilih kembali untuk menjabat sebagai kepala pemerintahan Aceh untuk kedua kalinya.
Nah, menyikapi hal tersebut, penulis melihat ada sesuatu yang kurang –menghindari penyebutan tidak ada—dalam menghadapi perilaku korupsi di Indonesia. Pemerintah selama ini (dalam amatan penulis) terlihat hanya fokus pada serangkaian aktivitas penangkapan terhadap oknum-oknum yang terindikasi korup saja. Sedangkan untuk pencegahannya, pemerintah terkesan masih kurang maksimal. Pemerintah dalam melakukan aktivitas pencegahan korupsi hanya melalui seminar-seminar atau sosialisasi saja –yang kesannya serimonial belaka.
Padahal jika Pemerintah serius untuk mengentaskan perilaku korupsi di Indonesia, kiranya perlu melirik sektor lain yang memang sangat sentral dalam upaya mengentaskan atau mencegah perilaku korupsi tersebut. Sektor yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah institusi pendidikan.
Institusi Pendidikan untuk Mencegah Korupsi
Ya, hanya institusi pendidikan saat ini yang dapat dipercaya dalam upaya mengentaskan perilaku korupsi di Indonesia. Berbagai negara didunia sudah membuktikan, institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) menjadi sosok penyelamat ditengah keadaan negaranya yang krisis.
Sebut saja Jepang, bagaimana luluh lantaknya Jepang pasca dijatuhkan bom nuklir oleh sekutunya, Amerika Serikat. Saat itu, tidak ada yang membayangkan bahwa Jepang akan menjadi “seadidaya” hari ini dibidang pembangunannya. Namun, pemerintah Jepang percaya pada institusi pendidikan, akhirnya melalui bidang tersebut Jepang merangkak, bangkit dan bergerak menjadi sebuah negara yang maju.
Berkaca pada kesuksesan Jepang, menghilangkan atau (setidaknya) mengurangi problema korupsi di Indonesia melalu institusi pendidikan bukanlah sebuah hal yang mustahil. Bahwa di Indonesia perlu dibuat sebuah regulasi hukum yang mengadopsi norma-norma dalam mewujudkan nilai-nilai kejujuran. Dalam artian lain, institusi pendidikan harus menjadi pilar utama –tentunya dengan perhatian yang lebih besar—untuk menindaklanjuti setiap pelanggar nilai-nilai kejujuran.
Selain itu, institusi pendidikan baik tingkat sekolah atau perguruan tinggi harus membuat regulasi hukum yang memiliki sanksi tegas agar siswa atau mahasiswanya berlaku jujur dalam proses pembelajarannya; tidak mencontek atau plagiat. Karena mencontek atau plagiat merupakan bentuk penyimpangan yang paling sering dilakukan di institusi pendidikan.
Ahmad Faizin Karimi dalam bukunya berjudul Think Different; Jejak Reflektif Seputar Intelektualitas, Humanitas dan Intelektualitas, mengatakan bahwa mencotek merupakan benih lahirnya korupsi karena keduanya sama-sama mengambil yang bukan haknya. Jadi mencontek atau plagiat memang menjadi pembuka jalan bagi terciptanya mental korupsi.
Menurut hemat penulis, perilaku mencontek yang kerap didapatkan di sekolah atau di perguruan tinggi, baik dilakukan oleh siswa atau mahasiswa, dilakukan oleh guru maupun dosen, merupakan sebuah bentuk internalisasi terhadap tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit korupsi.
Karena itu, perilaku mencontek tidaklah boleh dianggap sepele. Sebab, kadar berbahayanya sebangun dengan korupsi. Antara mencontek dan korupsi jelas sekali memiliki kesamaan, yaitu ketidakjujuran. Membiarkan perilaku mencontek sama halnya memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mental korupsi pada pihak yang melakukan tindakan mencontek tersebut.
Dengan demikian, dalam upaya memberantas korupsi, Pemerintah tidaklah cukup dengan menangkap pelakunya saja, lalu memasukkannya dalam penjara. Namun, Pemerintah harus melihat dan memberantasnya dari faktor yang dapat menstimulan perilaku korupsi tersebut. Ibaratnya; jika ingin memusnahkan sebuah pohon, maka jangan membabat dahan dan rantingnya, tapi potonglah akarnya, maka pohon tersebut akan mati. Wallahu’alam.
***
Artikel ini sudah dimuat di media berita online: Acehtrend
EmoticonEmoticon