Pendidikan Damai


SEBAGAI negara yang multikultural dengan kondisi sosiokultural yang beragam dan geografis yang luas, Indonesia tidak bisa menafikan realitas akan ancaman konflik atau kekerasan yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Sebagaimana dikemukan Alwi Shihab dalam Islam Inklusif (1998: 40), Indonesia saat ini memiliki sebanyak 1.300 pulau besar dan kecil, dengan populasi penduduknya lebih dari 200 juta jiwa, yang terdiri dari 300 suku dan menggunakan hampir 200 bahasa berbeda, serta menganut agama dan kepercayaan berbeda, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan.

Menilik fakta itu, tentu Indonesia membutuhkan strategi dan kemampuan bijak mengelola keberagaman tersebut. Keragaman sejatinya anugerah yang perlu dijaga dan dikelola agar tidak berubah menjadi bencana konflik dengan kekerasan. Upaya yang mengarah pada tindakan asosiatif seperti penyemaian nilai-nilai damai melalui pendidikan merupakan kebutuhan yang harus segera diaktualisasikan.

Jika kita melihat mukadimah UUD 1945, disebutkan tujuan NKRI ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Melihat beban besar itu, tentu kita sepakat, salah satu tujuan itu dapat dipenuhi melalui pendidikan damai. Pendidikan damai bukanlah kebutuhan negara yang plural seperti Indonesia semata, melainkan kebutuhan umat atau bangsa di seluruh dunia.

Achmad Nurcholish (2015) mengatakan, pendidikan damai menjadi kebutuhan vital bagi umat manusia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Hal ini disebabkan dunia belum sepenuhnya belum menikmati rasa aman, hidup damai, dan nirkerasan.

Teladan Rasulullah

Pendidikan damai merupakan sebuah strategi ulung dalam membangun dstnya merawat kondusivitas kehidupan masyarakat Indonesia agar tetap bersatu dan utuh dalam NKRI meskipun diwarnai perbedaan.

Dalam khazanah Islam, pendidikan damai sudah pernah diaktualisasikan Rasulullah SAW, tepatnya saat menyinergikan unsur atau komponen masyarakat Madinah yang berbeda, baik antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Maupun gabungan dua kelompok (Muhajirin dan Anshar) itu dengan penduduk Madinah yang penuh dengan keberagaman.

Melalui pendidikan damai yang diajarkan Rasulullah SAW itu, terjalin sebuah interaksi sosial yang asosiatif antarsemua komponen penduduk Madinah sehingga mereka tidak saling bermusuhan, tidak melakukan kekerasan, tidak saling curiga, tidak saling menebar kebencian, dan hidup di bawah simbol Islam yang rahmatan lil 'alamin. Pendidikan damai yang diupayakan Rasulullah SAW, menjadi inspirasi berbagai kalangan dalam membentuk masyarakat yang berkeadaban dan berkeadilan.

Pendidikan damai, masih menurut Achmad Nurcholish (2015), mulai menunjukkan gaungnya dan menjadi gerakan yang mendunia semenjak 1999. Tepatnya ketika ribuan orang yang mewakili ratusan organisasi menghadiri acara International Peace Conference di The Hague, Belanda. Pada acara itulah dicetuskan ide menghentikan segala peperangan dan menyerukan penyebarluasan budaya perdamaian.

Penyemaian nilai damai

Pendidikan damai dapat diupayakan (setidaknya) melalui dua lembaga masyarakat, yakni lembaga keluarga dan lembaga pendidikan. Keluarga memiliki peran untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai konsep, makna, dan penerapan perdamaian agar terciptanya sebuah fondasi keyakinan terhadap prinsip perdamaian pada anak-anggota keluarga.

Tidak hanya itu, orangtua dalam keluarga dituntut mampu mengedepankan strategi komunikasi yang partisipatif dengan anak. Dengan kata lain, cara-cara komunikasi yang mengarah pada tindakan represif selayaknya dihindarkan.

Dalam keluarga, orangtua ialah role model bagi anak. Anak tidak hanya mengadopsi suatu nilai dari yang disosialisasikan orangtua secara verbal, tetapi juga mencontoh aktivitas dalam keseharian orangtuanya. Karena itu anak akan belajar nilai-nilai damai seperti bertoleransi jika dia tumbuh besar dalam keluarga yang mengedepankan strategi komunikasi partisipatif. Sebaliknya, anak akan belajar untuk bertikai atau bertindak diskriminatif (antitesis damai) jika dia tumbuh besar dalam keluarga yang mengedepankan sikap yang represif.

Selanjutnya, tak kalah penting, pendidikan damai dapat diaktualisasikan melalui lembaga pendidikan, yaitu sekolah atau intitusi pendidikan. Sering kali didapati realitas warga sekolah (guru dan siswa) terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konflik baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Di antara guru, misalnya, terjadi pertikaian yang dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap manajemen sekolah, baik itu berhubungan dengan alokasi jam mengajar, perbedaan cara evaluasi, maupun penilaian kompetensi anak atau hal lainnya.

Kemudian, di antara siswa, acap kali terjadi pertikaian atau kekerasan yang didasari masalah ringan, baik itu karena perbedaan pendapat, dan lain-lain. Karena itu, tidak mengherankan, jika pada 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data 84% siswa di Indonesia yang pernah mengalami kekerasan di sekolah, (Tempo, 2/5/2018).

Sebagai intitusi yang menjadi gerbang bagi seorang anak untuk masuk dan membangun masyarakat, tentunya sekolah harus mampu menanamkan dan menyemai nilai-nilai damai, seperti empati, toleransi dalam persahabatan, dan nasionalisme. Selain itu, sekolah harus mampu menghasilkan lingkungan positif yang menarasikan kehidupan damai, tempat antarwarga sekolah terjalin sebuah interaksi yang harmonis.

Dari sekolah diharapkan muncul kondisi masyarakat yang kondusif bagi upaya menumbuhkembangkan nilai damai.

Ahmad Baedowi dalam tulisannya di Media Indonesia yang berjudul Kekerasan dalam Pendidikan memaparkan ulasan menarik, bagaimana menciptakan lingkungan positif di sekolah,yang menjamin kelangsungan proses belajar yang aman, damai, serta mendukung pencapaian akademis siswa, dan meningkatkan keterampilan sosial siswa.

Salah satu alternatif yang beliau tawarkan ialah mengoptimalkan mekanisme pengambilan keputusan tentang apa pun yang terjadi di sekolah, melalui saluran keputusan bersama yang dilembagakan ke dalam mekanisme pengelolaan konflik berbasis sekolah (MKBS).

Jika MKBS mampu dimaksimalkan dengan sempurna, dapat dipastikan tindakan kekerasan fisik seperti yang menimpa salah seorang siswi SD swasta di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jabar, tidak bakalan dijumpai, (Media Indonesia, 29/1/2019)

Dengan adanya pendidikan damai yang dapat disemai melalui lembaga keluarga dan lembaga pendidikan, kita mengharapkan ada semacam penyadaran kepada masyarakat baik secara individual maupun kolektif mengenai pentingnya perdamaian dan selalu berupaya menyelesaikan berbagai masalah karena pendidikan damai dapat membangun kehidupan masyarakat yang beradab dan berkeadilan.

***
Artikel ini sudah dipublish di Media Indonesia


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »