BANYAK tokoh pemikir di dunia telah mencoba untuk mendefinisikan siapa itu manusia. Kita mulai saja tokoh yang hidup di era Yunani Kuno, Aristoteles, yang berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai daya pikir. Lalu, ada Ernst Cassirer, seorang figur filosofis dari Jerman yang hidup di pertengahan abad ke-20, ia ikut memberikan pendapatnya tentang siapa manusia. Dalam pandangannya Ernst Cassirer, manusia merupakan hewan yang mampu berabstraksi dan menciptakan simbol. Berbekal kemampuan itulah yang membuat manusia berbeda dengan hewan; membuat manusia mampu berkomunikasi, membuat manusia mampu mengapresiasi nilai keindahan dan mampu mengembangkan ilmu teknologi dan pengetahuan
Ali Syari’ati, seorang Sosiolog --juga merupakan tokoh revolusioner Iran-- yang sangat dihormati dan dikenal sebagai salah satu cendekiawan termashur abad ke-20 dari Timur Tengah. Ia mengatakan, bahwa manusia adalah ilustrasi atau simbolisasi dari perwujudan manusia pertama --nenek moyangnya Nabi Adam A.S, yang tercipta dari tanah atau lumpur dan ruh ilahi. Dimana tanah atau lumpur sebagai tanda kerendahan atau manusia pasif, sedangkan ruh ilahi sebagai dimensi gerak manusia yang tidak akan pernah berhenti untuk mencari kesempurnaan.
Itu hanyalah beberapa saja yang saya sebut. Pada intinya, untuk mendefinisikan manusia membutuhkan nalar yang tinggi. Saya tidak berani untuk langsung mengiyakan mengenai salah satu definisi tentang manusia sebagaimana diutarakan oleh tokoh-tokoh pemikir di atas. Namun demikian, saya merasa belum lengkap jika kita tidak mendefinisikan manusia itu tanpa memasukkan rasa semangat. Bagaimana jika kita memasukkan rasa semangat sebagai bagian dari definisi siapa itu manusia? Bukankah rasa semangat itu bisa dijadikan sebagai tolak ukur pembeda antara manusia dengan makhluk lain yang hidup dan beraktivitas permukaan bumi ini?
Ya, harus diakui bahwa rasa semangat merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari seorang individu manusia. Rasa semangat ini pula yang menjadi pembeda, tidak hanya antara manusia dengan makhluk lainnya --yang hidup dan beraktivitas di muka bumi, melainkan juga pembeda antar sesama manusia itu sendiri. Rasa semangat ini pula yang membuat performa manusia itu bisa naik hingga strata yang setinggi-tinginya dan bisa pula turun pada strata yang serendah-rendahnya. Sungguh, tak bisa dibayangkan jika seorang manusia hidup tanpa ada rasa semangat.
Teladan dari Pahlawan Tempo Doeloe
Nah, dalam konteks yang luas, rasa semangat sebuah bangsa itu menentukan perjalanan atau nasib bagi bangsa itu sendiri. Mari kita contohkan perjuangan nenek moyang bangsa kita Indonesia, ketika tempo dulu dalam melawan agresi dari bangsa kolonial, baik Belanda, Spanyol, Portugis, dan Inggris semuanya harus angkat kaki dari bumi Nusantara ini. Bahkan seorang jenderal perang Belanda Pun pernah menemui ajalnya di Indonesia, tepatnya di wilayah yang hari ini sudah jadi komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Aceh.
Jika kita cermati keadaan pada saat itu, perlengkapan dan teknologi perang yang dimiliki pasukan Belanda jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan perlengkapan perang para pejuang Indonesia. Dari segi prajuritnya juga kalah jumlahnya dibandingkan prajurit penjajah. Namun demikian, di saat daerah lain takluk dan menyerah pada penjajah. Indonesia mampu berdiri tegak dan mengusir para penjajah tersebut, yang fakta ini menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Mengapa para nenek moyang kita mampu berbuat demikian? Mampu mengusir penjajah? Tentu ini karena semangat para nenek moyang bangsa kita saat itu yang sangat tinggi untuk meraih kemerdekaan; mengusir penjajah. Para pejuang bangsa kita percaya, dengan semangat yang dimilikinya, bahwa mereka bisa berjuang mengusir para penjajah.
Dari luar negeri kita juga bisa belajar, bagaimana semangat sebuah bangsa menentukan perjalanan mereka di masa akan datang. Mari kita lihat Jepang, yang bagaimana luluh lantaknya negeri mereka setelah dibombardir oleh Amerika. Tidak ada yang bisa dibanggakan pada bangsa Jepang saat itu. Jepang hampir down dari segala bidang. Segala sarana dan banyak infrastrukturnya tidak bisa difungsikan lagi. Namun demikian, lihatlah Jepang saat ini, mereka telah berevolusi menjadi salah satu negara yang tercanggih di dunia. Mengapa Jepang bisa demikian? Jawabannya ialah karena semangat yang dimiliki bangsa Jepang itu tinggi. Mereka percaya bahwa mereka mampu melakukan perubahan menuju penghidupan lebih baik dan lebih maju dibandingkan bangsa lainnya.
Semangat sebagai Guru
Nah, sebagai seorang guru yang oleh negara sudah menitipkan beban berat yaitu mencerdaskan kehidupan anak bangsa, maka kita perlu membentuk rasa semangat itu, seperti yang dimiliki dan telah diperlihatkan oleh orang-orang tempo dulu yang sebelum kita. Kita mesti menjadikan sejarah kegemilangan tempo dulu menjadi bagian pembangkit rasa semangat untuk kita guru dalam berjuang dan memberikan yang terbaik bagi kehidupan anak bangsa di masa akan datang.
Maka oleh sebab itulah, sudah saatnya para guru memasuki ruangan kelas dengan penuh semangat dan percaya diri. Karena rasa semangat itu, tak ubah bedanya dengan Covid-19 —Pandemik yang mewabah pada tiga tahun lalu, dengan cepat bisa menular dari satu individu ke individu lainnya dalam masyarakat. Yang membuat masyarakat di dunia mengalami “sakit yang berjamaah”.
Semangat yang dimiliki oleh guru juga bisa menular dan ditularkan. Ketika guru mengajar dengan jiwa yang penuh semangat, dimulai dari detik pertama memasuki ruangan kelas, menatap siswa satu persatu dengan aura yang girang, sudah cukup membuat siswa untuk ikut semangat dan antusias dalam menerima pembelajaran. Begitu juga sebaliknya.
Mengajar memang bukan perkara sulit, tapi juga tidak bisa dikatakan gampang. Mengajar itu membutuhkan semangat. Semangat yang mampu kita tularkan untuk membuat para anak didik kita mampu mengikuti semua tahapan proses pembelajaran dengan menyenangkan hingga ia percaya akan apa yang ia impikan, mampu ia raih di masa akan datang –meski tidak semua ya sebagian. Sehingga ia tidak takut untuk memiliki impian dan bercita-cita yang setinggi-tingginya. Mari menjadi guru yang bersemangat.
***
Artikel ini sudah dimuat di media Acehtrend
EmoticonEmoticon