Memahami Kekecewaan Pahlawan Tanpa Jasa

 
Ketika saya memilih untuk bergelut pada bidang profesi guru atau mengajar, banyak dari kawan-kawan saya yang menertawakannya. Bahkan karena keinginan saya ini, mereka menyodorkan pertanyaan-pertanyaaan yang tak lazim. Apakah kamu serius mau jadi guru? Kamu yakin gak mau cari kerjaan lain? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bernada miring.

Saya hanya tersenyum simpul dan sesekali menanggapi. Saya katakan pada mereka dengan sedikit guyonan. Kalian tahu gak? bahwa profesi yang paling mulia dan bersih didunia ini adalah profesi guru. Profesi guru berbeda dengan profesi lain. Setidaknya kalau dilihat untuk peluang korupsi, maka bidang profesi guru tidak ada. Makanya, guru tak pernah tersandung masalah korupsi, kecuali korupsi waktu mengajar yang dimilki oleh guru yang lain. 


Ada satu hal yang saya tangkap dari tertawanya kawan-kawan saya tadi dan ini berkenaan dengan image guru yang mereka simpulkan. Bahwa profesi guru merupakan profesi yang tidak begitu dibanggakan dalam masyarakat, profesi guru itu kurang hebat dan secara finansial (gajinya) pun tidak begitu menggairahkan. Apalagi saat berstatus honorer alias masih dalam tahap berbakti. Keadaan guru memang jauh dari kata sejahtera. 

Kalau dipikir-pikir, apa yang disimpulkan kawan-kawan saya ini sangatlah beralasan. Ini jika dilihat dari kondisi yang dialami oleh guru. Dewasa ini guru memilliki tuntutan yang besar, namun pemerintah tidak membarenginya dengan peningkatan kesejahteraan yang sesuai dengan tuntutan yang dibebankan. Saat ini guru diberikan tugas dikelas untuk tidak hanya mengajar saja, namun harus lebih dari itu, yaitu membentuk moral peserta didiknya. Artinya, guru sekarang disamping menjadi pengajar juga harus menjadi pendidik. Oleh sebab itu, makanya guru diidentikkan dengan sebutan pahlawan tanpa jasa.

Memang sebenarnya sudah ada juga upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejateraan guru, seperti yang didapatkan oleh guru yang PNS, dimana selain gaji pkoknya guru PNS juga mendapatkan gaji-gaji dalam bentuk lain behubungan profesinya. Namun, secara sosial ekonomi terdapat juga kesenjangan yang begitu besar. Guru PNS yang penetapan tugasnya dikota-kota, atau didaerah yang tidak terpencil atau tertinggal, kehidupannya lebih sejahtera dibandingkan dengan guru yang tinggal dan mengajar didaerah tertinggal, terpencil atau didaerah-daerah kepulauan. 

Seperti yang disiarkan oleh media massa yang terjadi beberapa hari lalu di Kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di Kecamatan Pulau Banyak, Kecamatan Pulau Banyak Barat, dan Kecamatan Kuala Baru, dimana sejumlah guru melakukan aksi mogok mengajar. Ihwal aksi mogok mengajar yang mereka lakukan ini dilatarbelakangi oleh rasa kecemberuan sosial antar sesama guru terhadap perolehan tunjangan guru terpencil. 

Kabarnya, proses pemberian tunjangan guru terpencil tersebut mengalami ketidakadilan. Meskipun berprofesi sama, tidak semua guru yang mengajar disanan mendapat tunjangan tersebut. Oleh karena itu, mereka melakukan aksi mogok guna menuntuk kejelasan dari pemerintah terhadap ketidakadilan yang mereka dapatkan.

Nah, melihat dan mencermati aksi mogok yang dilakukan oleh guru-guru di Kabupaten Aceh Singkil ini dapatlah kita pahami bersama, bahwa aksi pemogokan yang mereka lakukan merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah. Ini merupakan sebuah hal wajar yang mereka lakukan mengingat tugas mereka yang begitu berat, meskipun meninggalkan aktivitas mengajar juga bukan merupakan hal yang dibenarkan. Tapi saya yakin, mereka melakukannya karena tidak ada cara lain untuk “mengambil perhatian” pemerintah yang tak menggubris keadaan sosial ekonomi mereka. Disaat mereka sudah tulus ikhlas dalam mencerdaskan anak bangsa didaerah terpencil, dengan mengorbankan segenap jiwa raga, menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diprediksi. Pemerintah tidak hadir bersama mereka. Pemerintah seakan tak menghargai pengorbanan yang telah mereka lakukan.

Semestinya untuk bidang profesi guru, pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih dibandingkan profesi lain. Baik dari segi sarana maupun prasarana yang harus dimiliki oleh guru. Apalagi guru yang mengajar di daerah terpencil atau tertinggal. Bayangkan kalau tidak ada lagi yang mau berprofesi sebagai guru, bisa dipastikan amanah undang-undang untuk mencerdaskan anak bangsa tentunya tidak akan terlaksanakan.

Pemerintah seharusnya dapat mencontoh apa yang telah perlihatkan oleh bangsa Jepang dalam memandang peran guru. Ketika negerinya telah porak poranda karena bom nuklir di Nagasaki dan Hiroshima, yang terjadi pada tahun 1942. Hal yang pertama ditanyakan oleh pemerintah setempat mereka saat itu adalah: bagaimana keadaan guru? Masih adakah guru  yang selamat? Mereka sadar, bahwa guru merupakan “makhluk” yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dan negeri mereka yang sudah hancur saat itu.

Maka dari  itu, salah satu hal yang perlu kita pahami bersama dari aksi mogok mengajar di Singkil beberapa hari lalu adalah pemerintah belum bekerja maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan para guru, khususnya yang berprofesi didaerah tertinggal, terpencil atau terluar. Sementara tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru semakin besar. Dan, pemerintah sudah saatnya memberikan perhatian yang lebih untuk “kelas” pahlawan tanpa jasa ini. Pemerintah harus sadar bahwa dengan menghargai guru maka cita-cita untuk menjadikan bangsa yang maju dan berperadaban akan mudah tercapai.

Tulisan ini telah dimuat di Media: LintasNasional
http://www.lintasnasional.com/2017/04/14/memahami-kekecewaan-pahlawan-tanpa-jasa/


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »