Do you know, what’s ‘Apam’? ’Apam’ merupakan makanan khas masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Pidie yang berbentuk bulat dan terbuat dari tepung, air putih, garam dan gula pasir serta dicampur santan. Apam mirip dengan dengan kue serabi, namun ukurannya lebih besar.
Ihwal makanan khas ‘Apam’ ini sebenarnya memiliki sejarahnya tersendiri. Ada banyak versi sejarah terkait dengan namanya ‘Apam’. Namun begitu, belum ada yang dapat memastikan sejarah yang pasti tentang makanan khas ‘Apam’ tersebut.
Ihwal makanan khas ‘Apam’ ini sebenarnya memiliki sejarahnya tersendiri. Ada banyak versi sejarah terkait dengan namanya ‘Apam’. Namun begitu, belum ada yang dapat memastikan sejarah yang pasti tentang makanan khas ‘Apam’ tersebut.
Dikutip dari beberapa penuturan tokoh tetua gampong, asal usul nama makanan khas ‘Apam’ berasal dari bahasa Arab yaitu Afwan yang berarti saling memaafkan. Jadi dulu masyarakat Aceh khususnya Pidie memiliki tradisi khusus dibulan Rajab dan berkaitan dengan semangat menyambut bulan suci Ramadhan. Dalam perpektif orang Aceh, bulan Rajab adalah bulan peugleh tuboh (menyucikan jiwa) dan bulan Ramadhan adalah bulan ibadat nyang sunggoh-sunggoh (beribadah dengan sepuasnya).
Nah, dalam hal menyucikan jiwa ini masyarakat dulu bersilaturrahmi ke tetangga-tetangganya, dengan tujuan meminta maaf jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dari segi ucapan, tindakan ataupun sikap dengan tetangganya. Mereka perginya tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa makanan yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan. Oleh karena itu dari kebiasaan membawa makanan dalam bersilaturrahmi tersebut, berkembanglah sebutan untuk makanan itu dengan sebutan kue ‘Afwan’. Lama-kelamaan nama Afwan ini mengalami pergeseran (mungkin karena pengucapannya yang berbeda-beda), sehingga namanya “terplesetkan” dari semulanya bernama ‘afwan’ menjadi ‘Apam’.
Nah, dalam hal menyucikan jiwa ini masyarakat dulu bersilaturrahmi ke tetangga-tetangganya, dengan tujuan meminta maaf jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dari segi ucapan, tindakan ataupun sikap dengan tetangganya. Mereka perginya tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa makanan yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan. Oleh karena itu dari kebiasaan membawa makanan dalam bersilaturrahmi tersebut, berkembanglah sebutan untuk makanan itu dengan sebutan kue ‘Afwan’. Lama-kelamaan nama Afwan ini mengalami pergeseran (mungkin karena pengucapannya yang berbeda-beda), sehingga namanya “terplesetkan” dari semulanya bernama ‘afwan’ menjadi ‘Apam’.
Sedangkan mengenai dasar pelaksanan khanduri Apam (makan Apam secara bersama-sama) ada yang mengatakannya itu bermula dari hukuman yang ditujukan kepada seorang pemuda yang tidak shalat jumat tiga kali berturut-turut. Sehingga diperintahkan membuat apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan akan dimakan bersama sebagai sedekah (Bantara, 2004:60-61).
Ada juga yang mengatakan dasarnya itu bermula dari kematian seorang sufi di Mekkah –Arab Saudi– yang kehidupannya sangat miskin. Sehingga orang dikampungnya bekerja sama membuat makanan Apam untuk disedakahkan sebagai ganti dari acara kenduri kematiannya (Faisal, 2013: 134-135.)
Melihat cara memasak ‘Apam’ juga terbilang sangat unik dan masih sangat tradisional. Dengan menggunakan tungku serta ceuprok tanoh (wadah tanah liat) adonan ‘Apam’ dimasak di atas arang dibantu dengan ubeue (daun kelapa kering). Cara memasak ini dapat membuat bagian bawah ‘Apam’ terasa renyah dan wangi, serta bagian dalamnya empuk, dan bagian atasnya terlihat berpori.
Ada tiga cara menikmati ‘Apam’. Pertama, dimakan dengan dengan kuah santan, dinamakan ‘Apam’ kuah. Kedua, dimakan dengan membubuhkan kelapa parut yang sudah dicampur dengan gula, dinamakan ‘Apam’ U. Dan yang terakhir, menikmati ‘Apam’ dengan air tebu. Namun untuk kategori jenis ini belum ada sebutan atau namanya, karena diyakinkan ini cara menikmati ‘Apam’ yang hanya dilakukan oleh orang Aceh di zaman modern saat ini. Sehingga belum memiliki nama yang khusus.
Terdapat hari-hari tertentu dalam memasak makanan khas satu ini. Dalam budaya masyarakat Pidie, ’Apam’ dimasak ketika tiba bulan Rajab (dalam tahun Hijriah/tahun Islam), ketika, upacara pemakaman, ketika acara tujuhan orang meninggal, bahkan terkadang ketika orang mengadakan pesta pernikahan. Namun, lazimnya ‘Apam’ dimasak khusus di waktu bulan Rajab. Makanya, dalam kalender Aceh bulan Rajab ini disebut dengan bulan ‘Apam’.
Nah, itulah sejarah makanas khas Pidie ‘Apam’.
***
Ada juga yang mengatakan dasarnya itu bermula dari kematian seorang sufi di Mekkah –Arab Saudi– yang kehidupannya sangat miskin. Sehingga orang dikampungnya bekerja sama membuat makanan Apam untuk disedakahkan sebagai ganti dari acara kenduri kematiannya (Faisal, 2013: 134-135.)
Melihat cara memasak ‘Apam’ juga terbilang sangat unik dan masih sangat tradisional. Dengan menggunakan tungku serta ceuprok tanoh (wadah tanah liat) adonan ‘Apam’ dimasak di atas arang dibantu dengan ubeue (daun kelapa kering). Cara memasak ini dapat membuat bagian bawah ‘Apam’ terasa renyah dan wangi, serta bagian dalamnya empuk, dan bagian atasnya terlihat berpori.
Ada tiga cara menikmati ‘Apam’. Pertama, dimakan dengan dengan kuah santan, dinamakan ‘Apam’ kuah. Kedua, dimakan dengan membubuhkan kelapa parut yang sudah dicampur dengan gula, dinamakan ‘Apam’ U. Dan yang terakhir, menikmati ‘Apam’ dengan air tebu. Namun untuk kategori jenis ini belum ada sebutan atau namanya, karena diyakinkan ini cara menikmati ‘Apam’ yang hanya dilakukan oleh orang Aceh di zaman modern saat ini. Sehingga belum memiliki nama yang khusus.
Terdapat hari-hari tertentu dalam memasak makanan khas satu ini. Dalam budaya masyarakat Pidie, ’Apam’ dimasak ketika tiba bulan Rajab (dalam tahun Hijriah/tahun Islam), ketika, upacara pemakaman, ketika acara tujuhan orang meninggal, bahkan terkadang ketika orang mengadakan pesta pernikahan. Namun, lazimnya ‘Apam’ dimasak khusus di waktu bulan Rajab. Makanya, dalam kalender Aceh bulan Rajab ini disebut dengan bulan ‘Apam’.
Nah, itulah sejarah makanas khas Pidie ‘Apam’.
***
EmoticonEmoticon