Adat dan Filosofi Pidie: Rumah Untuk Anak Perempuan Pasca Nikah

 
Pada esensinya, ada banyak hal mengenai Pidie yang sangat penting untuk kita dokumentasikan dalam bentuk tulisan, mulai dari adat istiadatnya (seperti peusijuek dan acara kenduri), budaya merantaunya, stigma yang melekat pada masyarakatnya (seperti pidie kriet dan cina hitam) dan beragam hal lainnya. Dan, sudah barang pasti semua hal itu akan menjadi informasi serta pengetahuan tentang Pidie agar tersebar luas dan diketahui oleh masyarakat banyak.



Maka dari itu, dalam tulisan ini saya ingin menulis mengenai adat istiadat masyarakat Pidie, yaitu terkait dengan pola menetap setelah pernikahan. 

Nah, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa di Pidie terdapat adat dimana masyarakatnya memberikan rumah untuk anak perempuan pasca pernikahan. Atau setidaknya memberikan sebuah kamar yang lengkap dengan peralatan masak –jika orang tua perempuan kurang mampu. Adat semacam ini sering dipertanyakan oleh masyarakat luar Pidie, khususnya mengenai alasan atau filosofi dibalik adat memberikan rumah untuk perempuan tersebut. Karena pada masyarakat luar Pidie kebanyakan perempuan setelah menikah ikut suaminya.

Merujuk pada buku Adat dan Budaya Pidie Raya yang ditulis oleh Iskandar Norman, pada masyarakat Pidie setelah melakukan serangkaian “ritual” yang terkait perkawinan mulai dari; boh gaca/andam (membentuk lukisan di tangan dan kaki mempelai wanita), peusijuek linto baro dan dara baro (menepungtawari mempelai pria dan mempelai wanita), prosesi pernikahan, dan proses intat linto baro ke rumah dara baro, serta intat dara baro ke rumah linto baro. Kemudian linto baro dipersilahkan pulang dan seterusnya menetap di rumah dara baro.

Linto baro dipersilahkan menetap di rumah dara baro sampai mempunyai anak satu atau dua orang, baru kemudian membuat dan pindah ke rumah sendiri. Bahkan ada yang lebih dari dua anak, namun tidak juga berpindah atau membangun rumah sendiri.

Kondisi ini lazim terjadi, karena pihak mertua linto baro atau orang tuanya dara baro, memang menganjurkan dan mempersilahkan linto baro dan dara baro menetap di rumahnya sampai tua nanti. Artinya, linto baro dan dara baro tersebut tidak perlu putar kepala berupaya untuk membangun rumah sendiri.

Bagi orang tua dara baro, ada semacam gengsi jika berhasil membuat linto baro betah tinggal di rumahnya. Soalnya jika si linto baro berusaha untuk keluar dan membuat rumah sendiri, maka orang tua dara baro mendapat pembicaraan yang tidak enak dari masyarakat sekitar. Misal, dikatakan bahwa rumah orang tua dara baro macam-macam, atau tentang sikap orang tua dara baro yang berlainan, dan lain sebagainya.

Walau demikian, di Pidie ada juga linto baro dan dara baro yang memilih membangun rumah sendiri. Dengan alasan agar lebih leluasa dan mandiri dalam berumah tangga. Pola pindah rumah seperti ini –meskipun jarang terjadi—dinamakan dalam istilah Aceh dengan “Meukleh”. 

Kalau zaman dulu, seperti kata Iskandar Norman, saat meukleh atau peumeukleh dilakukan acara kenduri dengan mengundang seluruh perangkat gampong seperti Teungku Imum dan Pak Geuchik. Kemudian diperlihatkan pula barang-barang atau peralatan masak yang akan dibawa oleh pihak linto baro dan dara baro ke rumah yang dibangunnya.

Tentang adat Pidie yang memberikan tempat menetap bagi linto baro di rumah orang tua dara baro, jika kita telisik, sedikit banyak memiliki kesamaan dengan adat masyarakat Minang di Sumatera Barat. Dimana pada  masyarakat Minang, sebagaimana tercatat dalam buku; Rahasia Sukses Orang Minang di Perantauan, karya Muarrif, bahwa rumah Gadang –rumah adat Minang-- diperuntukkan khusus bagi anak perempuan. Jadi, setiap rumah Gadang didalamnya terdapat bilik atau kamar yang jumlahnya sama dengan jumlah anak perempuan dalam keluarga tersebut. Saat anak perempuan tersebut menikah, maka suaminya tinggal dan menetap di rumah perempuan itu; dibiliknya masing-masing.

Namun demikian, ini bukan mengartikan bahwa adat pada masyarakat Pidie merupakan hasil ciplakan dari masyarakat Minang. Tentu saja bukan! Soalnya masyarakat Minang mengadopsi konsep matrilineal (melihat garis keturunan dari Ibu), dimana perempuan memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam struktur kehidupan keluarganya. Sedangkan masyarakat Pidie, memegang utuh konsep Patrilineal, dimana peran laki-laki lebih strategis dan dominan dibandingkan perempuan.

Kemudian, jika kita menanyakan kepada tetua gampong, mengapa masyarakat Pidie berbeda dengan masyarakat daerah lain (khususnya di Aceh) dalam menetap setelah pernikahan. Dimana pada masyarakat Pidie, linto baro menetap dirumah dara baro, sedangkan pada daerah lain dara baro lah yang menetap di rumah linto baro. Bahkan, ada juga linto baro dan dara baro sama-sama tidak menetap pada orang tuanya, melainkan berusaha mencari rumah baru untuk tinggal bersama.

Nah, dalam hal ini, tetua gampong di Pidie memiliki filosofinya tersendiri. Bahwa perempuan merupakan kelompok yang mesti dilindungi, bahkan karena lemah dari segi kekuatannya perempuan sarat sekali mendapati hal-hal yang tidak mengenakkan atau bersifat amoral dari anggota masyarakat. Sehingga mengantisipasi hal tersebut, jika seandainya terjadi sesuatu (konflik) dalam keluarganya, maka perempuan masih terlindungi. Karena dia punya kuasa dan wewenang yang lebih untuk tetap tinggal dirumahnya. Sehingga laki-laki lah yang harus meninggalkan rumah. Dan urusan makan atau tidurnya, laki-laki dipersilahkan berusaha sendiri. Peu pileh eh di Meunasah, eh bak Pos jaga, atau eh bak warong kupi gob.  #nyanban

Note:
•    Linto baro: mempelai laki-laki
•    Dara baro: mempelai perempuan

Artikel ini merupakan postingan penulis di akun steemit bernama @emsyawall.


***
 Silahkan Baca juga;

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »