Fenomena Ijazah dan Gelar Palsu dalam Perspektif Sosiologis


FENOMENA ijazah dan gelar palsu di Indonesia, sesungguhnya bukanlah cerita baru. Bisa dikatakan fenomena tersebut sudah ada dan cukup lama praktiknya berlangsung yang mewarnai jagat pendidikan di negara "plus enam dua" Ini.

Kasus terbaru yang menyeret seorang komedian senior, yang juga politisi bernama Nurul Qomar hingga diciduk oleh jajaran kepolisian Resor Brebes, Jawa Tengah, Selasa (25/6) lalu, merupakan potret dari maraknya praktek beli ijazah dan gelar palsu.

Seperti yang disiarkan di media-media, Nurul Qomar diduga telah menggunakan ijazah palsu S-2 dan S-3 demi kepentingan pencalonannya sebagai Rektor Universitas Muhadi Setiabudi (Umus) Brebes. Namun apa hendak dikata, ibarat Durian yang meskipun disembunyikan tetap juga tercium baunya. Maknanya, perbuatan yang buruk semisal berbohong (mungkin) selamat hanya pada awalnya saja, dan nanti lama kelamaan, pasti akan menimbulkan masalah juga. Ya jika bukan fisik yang ditimpa masalahnya  sudah pasti psikisnya.

Dalam istilah sosiologi, apa yang dilakukan Nurul Qomar --jika benar memalsukan ijazah-- dapat dikatagorikan sebagai perilaku penyimpangan yang disebabkan oleh sosialisasi tidak sempurna; yang mementingkan hasil ketimbang prosesnya. Dan sudah barang tentu perilaku tersebut didapatkan dan dipelajari oleh seorang individu manusia dari lingkungan sekitarnya.

Sosialisasi tidak sempurna bisa dipahami sebagai proses sosialisasi yang dianggap tidak berhasil karena individu tidak mampu menyerap norma yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga ia mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk mengadopsi nilai-nilai yang baik dalam versi masyarakat. 

Adanya realitas --ijazah dan gelar palsu-- tentunya tidak boleh dibiarkan. Terlebih mengingat wajah pendidikan kita yang sudah banyak sekali tercoreng oleh hal-hal negatif lainnya.

Pemerintah harus segera merealisasikan regulasi hukum yang jelas dan tegas kepada pelaku, agar perilaku penyimpangan seperti ini dapat (setidaknya) diminimalisir, jikapun tidak mampu dihilangkan.

Dan harapannya, wajah pendidikan kita --mulai dari tingkatan paling rendah sampai tingkatan paling tinggi-- yang memiliki goal jelas dan sangat mulia itu, yakni menumbuhkembangkan potensi dan kreativitas pada individu manusia dengan karakter yang mulia, dapat terselamatkan dan tidak lagi ternodai oleh perilaku "licik" seperti yang menimpa sang Komedian tersebut. Nyanban


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »