BELAKANGAN ini, disejumlah media heboh dengan pemberitaan mengenai wacana dari Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggodok peraturan daerah atau qanun terbaru untuk melegalkan poligami --maksudnya regulasi tentang poligami. Salah satu alasan yang mendasari munculnya wacana ini adalah banyaknya praktik pernikahan siri di Aceh.
Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Alidar, fenomena pernikahan siri makin sering dilakukan di tengah masyarakat. Kondisi ini berdampak buruk pada kehidupan berumah tangga karena banyak laki-laki yang tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. (Cnn.indonesia.com, 6/7/2019)
Selain itu, Ketua Komisi VII DRPA Aceh Musannif menyebut alasan lainnya merujuk pada fakta yang, berdasarkan data yang mereka peroleh dari Mahkamah Syariah Aceh, di mana beberapa tahun terakhir angka perceraian di Aceh lebih tinggi dari angka nasional serta banyaknya pernikahan siri. (Kompas.com, 6/7/2019)
Nah, munculnya wacana ini, juga tak jauh dari pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian masyarakat sangat menyetujuinya. Bahkan sejumlah ulama dari salah satu kabupaten di Aceh menyambut positif adanya wacana ini.
Menurut para ulama di daerah tersebut, pengesahan peraturan daerah (qanun) poligami merupakan solusi terbaik dan akan berdampak baik pula terhadap kehidupan rumah tangga, karena perempuan akan mendapat status yang jelas dalam perkawinan dan diakui oleh negara maupun agama. Misalnya, jika ada pihak yang melakukan poligami dan tidak tercatat secara administrasi negara, maka yang dirugikan kaum perempuan. Jika ada satu pihak yang meninggal dunia atau misalnya berpisah, maka akan menimbulkan persoalan baru seperti status pengakuan anak, pembagian harta warisan dan persoalan lainnya. Begitu pendapat ulama yang mendukung wacana ini yang disiarkan di salah satu media.
Menurut para ulama di daerah tersebut, pengesahan peraturan daerah (qanun) poligami merupakan solusi terbaik dan akan berdampak baik pula terhadap kehidupan rumah tangga, karena perempuan akan mendapat status yang jelas dalam perkawinan dan diakui oleh negara maupun agama. Misalnya, jika ada pihak yang melakukan poligami dan tidak tercatat secara administrasi negara, maka yang dirugikan kaum perempuan. Jika ada satu pihak yang meninggal dunia atau misalnya berpisah, maka akan menimbulkan persoalan baru seperti status pengakuan anak, pembagian harta warisan dan persoalan lainnya. Begitu pendapat ulama yang mendukung wacana ini yang disiarkan di salah satu media.
Sedangkan sebagian masyarakat lainnya atau kalangan yang kontra, memandang wacana legalisasi poligami merupakan bentuk dari tidak becusnya para pemimpin di Aceh dalam mengelola pemerintahan. Di tengah problema sosial masyarakat seperti banyaknya pengangguran, terbatasnya sarana irigasi yang menghambat masyarakat yang menggantung hidupnya di bidang pertanian, semakin langkanya pupuk bersubsidi, BBM yang semakin terbatas, dan lain sebagainya. Pemerintah semestinya menawarkan wacana yang mampu mengatasi problema tersebut. Bukan malah menggulirkan wacana (yang kesannya) hanya untuk cari sensasi dan popularitas di media. Karena itu pula, pihak yang kontra ini, semakin berani menyimpulkan dan mengatakan jika pemimpin Aceh hanya memikirkan urusan perut dan (maaf) bawah perut.
Namun demikian, diluar dua kelompok ini ada juga kelompok lainnya yang menaruh curiga kepada pemerintah. Bahwa wacana legalisasi poligami ini sengaja digulirkan ke publik, supaya publik lupa akan kinerja pemerintahan selama ini yang mendapat pandangan negatif dan sorotan dari banyak kalangan. Terlebih mengingat, rangking Aceh sebagai provinsi ke-2 termiskin di Sumatera.
Nyanban
EmoticonEmoticon