Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial dan Politik. Tampilkan semua postingan

Merawat Sejarah Tragedi Rumoh Geudong

RASA-RASANYA tidak ada orang yang darahnya tidak mendidih jika mengingat sejarah kelam masa konflik di Aceh. Yang dengan ragam tragedi mengenaskan terjadi di berbagai pelosok daerah di Aceh. Ada yang pada akhirnya diakui oleh Pemerintah sebagai sebuah pelanggaran HAM, ada juga yang dilupakan begitu saja. Seolah tindakan kekerasan masa konflik itu adalah hal normal.




Menyambut Kaukus Pemuda Pidie {Teras Emsyawall}

 Menyambut Kaukus Pemuda Pidie

 



Sudah puluhan tahun tidak melihat pemuda Pidie bersatu dalam sebuah kegiatan yang besar. Terlacak momentum terakhir padunya kesatuan pemuda adalah pada saat referendum Aceh, yang kala itu pemuda Pidie dengan semangat kesatuannya, menjadi yang terdepan bersama dengan pemuda dari beberapa kabupaten lain, guna menyuarakan aspirasi rakyat secara komunal berupa restu untuk menentukan self government untuk Aceh dari Pemerintah Pusat, laiknya restu yang diberikan pada masyarakat Timor Leste —dulu bernama Timor Timur.

Kini, sebuah kegiatan besar, bernuansa sosial-agama dilakukan oleh pemuda Pidie, dengan identitas yang dipanggul bernama Kaukus Pemuda Pidie.

Kaukus Pemuda Pidie merupakan sebuah forum persatuan pemuda yang masih sangat hijau di Pidie, yang lahirnya tepat pada pertengahan Oktober lalu,  di mana dalam Kaukus ini puluhan organisasi kepemudaan dan atau komunitas anak muda di Pidie bersepakat saling menyatukan diri. Hal ini juga didukung oleh hadirnya pemuka agama, tokoh masyarakat, akademisi dan intelektual muda Pidie.

Jika ditelisik, dengan menimbang proses bergabungnya puluhan organisasi kepemudaan di Kabupaten penghasil emping melinjo dalam Kaukus Pemuda Pidie ini, maka sedikit banyak kita dapat melihat akan kesamaan geraknya dengan proses lahirnya ikrar sumpah pemuda, pada oktober tahun 1928.

Kala itu sejumlah organisasi kepemudaan di Indonesia bersatu dalam kongres kepemudaan untuk menyuarakan kegelisahan akan pedihnya kehidupan penjajahan. Semua pemuda yang tergabung dalam perkumpulan yang dinamakan dengan kongres pemuda kala itu bersepakat untuk bersuara dengan visi yang sama, dengan muara pada penegasan perjuangan akan cita-cita; bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia.

Hasil dari duduk-kumpulnya pemuda inilah, yang pada akhirnya melahirkan sebuah semangat dengan dibarengi kalimat sumpah yang sakral; ikrar sumpah pemuda. Dan berangkat semangat itu pula, kita merasakan buah-manisnya berupa persatuan dan kemerdekaan bagi Nusantara dari penjajahan.

Nah, sedikit banyak kita dapat melihat gerak kesamaan pada lahirnya Kaukus Pemuda Pidie. Pertama, organisasi plat merah ini lahir di bulan Oktober dan kemudian kehadirannya berangkat dari fakta pemuda Pidie hari ini yang sudah terpecah konsentrasi sebagai kesatuan pemuda.

Kita harus mengakui jika pemuda di Pidie hari ini sudah tercerai ke dalam beberapa bagian dengan egoismenya masing-masing. Seturut dengan itu, antagonisme pada pemuda Pidie, sudah berimbas pada menurunnya eksistensi pemuda dan terciptanya ruang kontravensi, yang bahkan memuai hingga munculnya embrio konflik di tatanan anak muda Pidie.

Kita harus mengakui jika pemuda di Pidie hari ini sudah tercerai ke dalam beberapa bagian dengan egoismenya masing-masing. Seturut dengan itu, antagonisme pada pemuda Pidie, sudah berimbas pada menurunnya eksistensi pemuda dan terciptanya ruang kontravensi, yang bahkan memuai hingga munculnya embrio konflik di tatanan anak muda Pidie.

Hal yang tak bisa dimungkiri, fakta Komunitas Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pidie yang status keberlanjutan kepengurusannya masih dalam mode jalan di tempat, menjadi faktor pendorong pada terpecahnya pemuda Pidie sebagai sebuah kelompok yang utuh.

Dua tahun berjalan, tentu dengan berbagai dinamika, Pemuda di Pidie menunggu hasil dari kenduri politik di strata anak muda yang tak kunjung nampak hilalnya, dimana sebelumnya sempat tergagap-gagap di proses musyawarah daerah (Musda), dan kemudian berlanjut pula ke proses penetapan kepengurusannya yang turut mengalami hal sama; gelagapan.


Oasis Pemuda Pidie
Maka itu, dengan melihat hadirnya Kaukus Pemuda Pidie, menjadi semacam oasis bagi keruh keringnya eksistensi pemuda Pidie di mata masyarakat —juga di mata para pemuda kabupaten lain.

Berangkat dari itu pula, kita harus berani dan berbesar hati untuk berdiri dan mengangkat topi serta memberikan salam tabik kepada mentor atau aktor di balik latar lahirnya organisasi ini. Racikan ide dan gagasannya patut diacungi dua jempol!

Hari ini, Kaukus Pemuda Pidie sudah (dan tentu telah berhasil) menelurkan sebuah kegiatan berupa maulid akbar. Yang juga bersama dengan itu, kegiatan sosial lainnya berupa bakti sosial, santunan anak yatim, donor darah, diskusi kepemudaan dan doa bersama untuk ulama kharismatik Pidie, Abu Keune, juga dijadikan agenda pelaksanaan.

Tentu kita berharap, Kaukus Pemuda Pidie ini berumur panjang dan ajeg bersama dengan pemuda dan masyarakat Pidie secara umum. Selaras dengan itu, acara-acara yang tidak sebatas seremonial sosial-keagamaan, harus menjadi prioritas untuk dilaksanakan di masa akan datang.

Berbagai isu dan juga masalah sosial yang menyelimuti Pidie hari ini seperti kemiskinan, stunting, degradasi moral pada remaja, serta kualitas pendidikan yang masih rendah, harus menjadi pokok perhatian untuk dicarikan solusinya oleh dan di Kaukus Pemuda Pidie. 

Baca juga: Remaja dan Kecantikan Semu
Dengan demikian, Kaukus Pemuda Pidie, menjadi sebenar-benarnya Kaukus, yang dalam Kaukus itu, solusi terhadap problema sosial masyarakat, juga referensi kebijakan bagi pemerintah lahir mengemuka. Karena sesuai dengan akar katanya, Kaukus, berasal dari bahasa Algonquin —salah satu daerah bagian di Amerika Utara— dengan maknanya yaitu menasehati.

Tentu kita tidak berharap jika Kaukus Pemuda Pidie ini, hadirnya seperti purnama lima belas yang sinarnya makin kedepan makin hilang. Dan hadirnya hanya indah dipandang, tapi cahayanya tidak dapat menyinari untuk tumbuh dan kembangnya tanaman.

Pun, kita tidak mengharapkan juga, bila pemuda Pidie yang sudah berhasil meramupadan sebuah forum ini bersemangat laiknya ekor tikus, yang makin ke ujung, bobot dan ukurannya makin mengerucut. Nyan ban!

 ***

Sudah tayang di Komparatif.id

 Fenomena People In {Teras Emsyawall}

 Fenomena People In 

 


Istilah people in kembali mengemuka, seiring dengan telah dan sedang dibukanya perekrutan penyelenggara hajatan politik lima tahunan, yakni pemilu 2024.

People in merupakan terjemahan kasar dalam bahasa Inggris, yang berangkat dari istilah “orang dalam” tak ubahnya cerita misteri yang dengan nyaring, kini, digunjingkan oleh masyarakat secara terang-terangan.

Jika kita membuat penelitian murahan dengan mendatangi sejumlah warung kopi, lalu kemudian kita menyimak perspektif masyarakat dalam melihat fenomena people in, maka didapat fakta di mana masyarakat terurai ke dalam dua kutub pemikiran; pro dan kontra.

Baca juga: Quo Vadis Kupiah Meukutop
Bagi golongan yang berada pada kutub pro dengan people in, tentu kita dapat menebak, bahwa hadirnya mereka adalah karena diuntungkan oleh fenomena people in. Sementara golongan yang berada pada kutub kontra,sudah dapat ditebak juga, itulah mereka-mereka yang terzalimi oleh fenomena tersebut.

Lalu, siapakah yang disebut sebagai people in?

Jika melihat pada istilah people in yang berangkat dari apa yang disebut dengan ”orang dalam”, maka kita dapat menyandarkan rujukannya pada kitab andalannya masyarakat umum, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI arti orang dalam adalah orang yang berada di dalam suatu lingkungan baik itu pekerjaan, golongan, dan sebagainya.  Dengan demikian, siapa itu people in jawabannya adalah apa yang dimaksud dalam artiannya orang dalam.

Tak dipungkiri memang, people in acapkali memiliki koneksi khusus dengan orang penting dalam suatu pekerjaan atau golongan. Sehingga, dengan “keistimewaannya” itu mereka bisa memberi peluang, mengubah keputusan, dan memudahkan jalan bagi kerabat keluarganya atau kroninya untuk menjadi bagian dari pekerjaan atau golongan tersebut.

People in menjadi hal yang kontradiktif dengan budaya masyarakat kita, yang konon katanya mengikuti budaya timur yang jujur dan berintegritas pada setiap bidang. Namun sayangnya, di era sekarang, menemukan orang jujur sama sulitnya dengan menemukan jarum yang jatuh dalam tumpukan jerami.

Satu sisi, adanya fenomena people in mengingatkan kita akan betapa pentingnya network atau link dalam sistem kerja –sistem dunia. Orang-orang yang memiliki network yang lebih luas, meskipun punya kapasitas yang rata-rata –dan bahkan di bawah rata-rata, seringkali memuncaki beberapa bidang kehidupan.

Sedangkan di lain sisi, pada kutub yang berbeda, ada orang yang kemampuannya di atas rata-rata, dibuktikan oleh legacy pendidikannya yang tinggi dan pengalaman yang mumpuni, serta soft skill lainnya, yang singkat kata, bisa dikatakan ia memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan dalam bidang atau profesi, tapi ia “terhempas”, “meulungkop”, “meugom” oleh pesaingnya yang berhasil mendapat bantuan dari orang dalam.

Dengan demikian, dalam kaitan ini, kita bisa memahami, bahwa ada hukum yang sebenarnya sangat menyakitkan untuk kita akui dan berlaku dalam masyarakat. Mau tidak mau, secara jujur kita harus mengakui, bahwa kepakaran pada satu bidang atau beberapa bidang, tidak akan menjamin posisi seseorang mendapatkan pekerjaannya.

 Ruang People In Harus Dilawan

Nah, di tengah pengaruh lingkungan yang memberi peluang pada tumbuh subur dan menggeliatnya fenomena itu, tidak mengikuti arus sistem seperti hal tersebut di atas, maka kita dipandang sebagai bagian dari tindakan yang mempersulit diri, dan bahkan juga kadang mempersulit orang lain. Konotasi dari hadih maja: jujor meupalet sulet glah, adalah lahir dari hal ini.

Namun demikian, sebagai kaum terpelajar, kita harus mengupayakan agar adanya jalan bagi terciptanya budaya jujur pada lintas sektor masyarakat. Dengan harapannya adalah, meminimalisir gerak untuk para kaum penganut keyakinan hidup sukses harus punya awak dalam. Upaya-upaya dalam memenuhi harapan itu dapat dilakukan oleh kita masyarakat secara bersama. Baik itu oleh orang tua dalam pranata keluarga, para guru di sekolah-sekolah, dan ustad atau teungku melalui balai-balai pengajiannya.

 

 ***

 Sudah tayang di Komparatif.id

 

 

Indonesia dan Semangat Keberagaman

Merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dimungkiri bahwasanya keragaman pada masyarakat Indonesia menjadi warna indah yang patut disyukuri. Secara geografis, Indonesia saat ini terdiri dari kurang lebih 13.000 pulau besar maupun kecil yang dihuni oleh lebih dari 250 juta jiwa, terdiri dari 300 suku, dan 200 bahasa. 

Selain itu, masyarakat Indonesia juga menganut 6 agama yang juga diakui  resmi oleh negara, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Di luar 6 agama itu, terdapat pula masyarakat Indonesia yang menjadi penganut berbagai macam aliran kepercayaan.


Realitas tersebut tentunya menjadi anugerah yang mesti dijaga dan dirawat dengan baik oleh kita sebagai sebuah entitas bangsa Indonesa. Karena padanya tersimpan potensi kemajuan bagi kita bersama. Akan tetapi, jika tidak mampu dirawat atau dikelola dengan baik, maka bukan tak mungkin keragaman ini akan menjelma sebagai musibah yang mengancam bangunan rumah Indonesia. 

Dewasa ini, serangkaian peristiwa besar terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penistaan agama, pengrusakan rumah ibadah, rasisme dan berbagai kasus lainnya ikut mewarnai perjalanan Indonesia.

Melihat fakta ini, mau tidak mau kita harus mengakui, bahwasanya rumah Indonesia sedang terancam; kesadaran dan semangat masyarakat untuk hidup dalam bingkai keberagaman sudah mulai melemah. Dan sudah tentu pula, realitas ini memunculkan keresahan baru yang membutuhkan jalan keluar atau mekanisme yang solutif dan harmonis bagi masyarakat Indonesia.

Tentu kita tidak mengharapkan jika bangunan rumah Indonesia yang sudah berdiri utuh hampir satu abad ini runtuh hanya karena problema keberagaman. Oleh karena demikian, semangat keberagaman atau multikulturalisme merupakan sebuah kemestian untuk dihidupkan kembali saat ini. 

Penulis yakin, ideologi Pancasila  yang oleh para founding father menjadikannya sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bermula dari semangat multikulturalisme –meskipun gagasan multikulturalisme di Indonesia baru muncul ke permukaan pada tahun 2002.

Multikulturalisme adalah sebuah sistem nilai yang ditandai dengan adanya sikap masyarakat dalam mengapresiasi keragaman atau perbedaan yang didasarkan pada kerelaannya dalam menerima eksistensi komunitas lain yang berbeda budaya, suku, ras atau agama.

Gerakan multikulturalisme sendiri, pertama sekali muncul di Kanada dan Australia sekitar 1970-an, kemudian disusul di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lainnya. Di mana persoalan rasisme dan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya yang dialamatkan kepada orang-orang yang berasal dari Afrika (negro) melatarbelakangi munculnya gerakan multikulturalisme pada di negara-negara tersebut.

Sementara itu, Pahrurozi M.Bukhari (2003) mengemukakan beberapa faktor yang  mendorong hidupnya multikulturalisme. Pertama, keterbukaan masyarakat yang memiliki kekayaan budaya, modal dan pengalaman sejarah. Kedua, banyaknya lembaga pendidikan keagamaan yang membuat kehidupan lebih dinamis. 

Ketiga, semakin banyaknya industri di daerah, sehingga menjadi latar belakang budaya yang semakin beragam. Keempat, adanya sejumlah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi muda militan. Dan, kelima, semakin banyaknya daerah yang memiliki pluralitas dari berbagai ras, etnis, agama, budaya dan bangsa.

Mewujudkan Pendidikan multikultural

Menghidupkan semangat multikulturalisme dapat dilakukan melalui salah satu lembaga sosial masyarakat, yakni melalui pendidikan. Di berbagai negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam latar suku, ras dan agama, sudah mengenal dan mulai memberlakukan konsep pendidikan semacam ini, yang dirumuskan dengan nama pendidikan multikultural. 


Pendidikan multikultural dipahami sebagai pendidikan yang menempatkan para peserta didik sebagai individu yang dapat berperan dan bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan menuju kehidupan masyarakat yang aman dan damai.

Hj. Sulalah dalam bukunya berjudul Pendidikan Multikultural; Didaktika Nilai-Nilai Universitas Kebangsaan (2012:48) mengatakan, konsep pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbhinneka ras, etnik, kelas sosial, agama dan kelompok budaya.

Senada dengan itu, Chaerol Mahfud (2010) menyebutkan pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memberikan peserta didik sebuah edukasi yang dapat mengubah perspektif monokulturalnya yang penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikultural yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran, dan terbuka/inklusif.

Sikap inklusif penting bagi terbentuknya pemahaman pada anak didik dalam memahami disparitas kesenjangan sosial dalam masyarakat seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan di sekitarnya, sehingga mampu melakukan aksi-aksi yang nyata yang berbuah pada terciptanya kehidupan yang harmoni.

Jika melihat sistem demokrasi yang sudah berlaku di Indonesia, yang memberikan ruang dan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk dapat bersuara mengeluarkan pendapat, dan hak untuk dipilih dan memilih dengan tidak diskriminatif. Tercermin secara implisit semangat untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam sistem demokrasi.

Di era peradaban manusia yang penuh dengan gempuran nilai-nilai global, sudah sepatutnya nilai-nilai multikultural diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Karena itu, seyogianya pendidikan jangan lagi terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan peserta didik saja, melainkan pendidikan harus mampu memberikan perubahan pada dimensi afektifnya (kesadaran) dan juga psikomotoriknya (perilaku). 

Penyemaian sikap multikulturalisme semisal empati dan toleransi harus dijadikan fokus utama oleh pemerintah dan pelaku pendidikan untuk diwujudkan pada peserta didik dalam aktivitas kesehariannya.

Bagi Indonesia, dengan tingkat keragaman atau perbedaan yang sangat kompleks baik secara kultural dan sosial, gerakan multikulturalisme memang sangat penting untuk direduksi dalam pendidikan. Terutama untuk kelompok masyarakat kelas bawah, yang secara psikologisnya masih sangat rentan atau terpancing pada isu-isu yang bernuansa SARA (Suku Ras Agama dan Antar golongan). 

SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimental mengenai identitas diri yang menyangkut latar belakang seperti keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.

Mengakhiri Stigma atau Pelabelan Negatif

Sampai dengan saat ini, disadari atau tidak, gerakan multikulturalisme belum begitu berjalan dan menyatu dalam sanubari masyarakat kita. Terbukti, dalam aktivitas keseharian, kita sering kali menjumpai adanya stigma atau pelabelan tertentu terhadap suatu kelompok masyarakat, semisal masyarakat Jawa suka berpolitik kotor, masyarakat Padang penuh perhitungan atau pelit, masyarakat Aceh suka berperang, dan beragam macam stigma lainnya.

Ironisnya lagi, stigma ini tumbuh subur tatkala kelompok masyarakat yang satu memiliki sikap ketidaksalingpercayaan atau kecurigaan terhadap kelompok lainnya, yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman bahwa kelompok kita lebih baik dari pada kelompok mereka atau orang lain. 

Asmaul Husna dalam tulisannya di Serambi Indonesia berjudul  Kegagalan Multikulturalisme memberikan ulasan menarik. Bahwa adanya stigma  anggapan “agama ini identik dengan teroris, suku itu tak lebih dari penjajah, dan ras yang lain juga tidak lebih berkelas”, menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan multikultiralisme dalam denyut nadi kehidupan, (Serambi Indonesia, 4/4/2013).

Stigma atau pelabelan terhadap suatu kelompok tidak boleh dibiarkan tumbuh. Implikasi dari adanya stigma dalam masyarakat yang multikultural berisiko pada munculnya ego jiwa, yang tentu saja melahirkan disentegrasi sosial dan rusaknya persatuan dan keutuhan bangsa.

Akhir kata, kita berharap, melalui pendidikan multikultural keberagaman di negara kita Indonesia dapat terawat dengan baik. Dan segala pengaruh negatif yang bermuasal pada perbedaan yang menjadi benih-benih konflik –meski tidak bisa dihilangkan secara total--setidaknya dapat diminimalisir. Semoga saja, kehidupan keberagaman di Indonesia yang harmonis, aman dan damai terjaga dan abadi selama-lamanya.

***

Artikel ini sudah tayang di media: Whatyutink